Rabu, 29 Mei 2013

Apa itu Meditasi?


Ketika kita mendengar kata “meditasi”, berbagai bayangan melintas di kepala orang banyak. Bagi beberapa orang, kata itu memunculkan gambaran tentang latihan adikodrati yang membuat kita masuk ke alam yang berbeda di dalam pikiran kita. Bagi yang lain, kata itu mencerminkan sejenis tapa brata yang hanya dilakukan di Asia oleh orang-orang tertentu. Tapi jika kita ingin melihat meditasi lebih dekat lagi, kita perlu bertanya – dan, tentu saja, menjawab – tiga hal: Apa itu meditasi? Mengapa saya ingin bermeditasi? Dan bagaimana sebenarnya cara saya melakukannya?





Pertanyaan pertama: Apa itu meditiasi? Meditasi adalah suatu cara untuk melatih diri kita untuk memiliki keadaan cita atau sikap yang lebih bermanfaat. Ini dilakukan dengan berulang kali membangkitkan suatu keadaan batin tertentu untuk membuat diri kita terbiasa dengannya dan menjadikannya kebiasaan kita. Tentu, terdapat banyak keadaan cita dan sikap yang bermanfaat. Salah satu contohnya ialah keadaan cita yang lebih santai, tidak tegang dan tidak risau; contoh lain ialah keadaan cita yang lebih terpusat, atau keadaan cita yang lebih tenang, tanpa celotehan dan kerisauan batin yang terus-menerus. Begitupun, contoh lain dapat berupa keadaan cita dengan pengertian yang lebih tentang diri kita sendiri, tentang hidup, dan seterusnya; dan contoh lain dapat berupa keadaan cita dengan lebih banyak cinta dan welas asih kepada sesama. Jadi, ada banyak jenis keadaan cita yang bermanfaat yang dapat kita capai lewat meditasi.




Pertanyaan kedua: Mengapa saya ingin membangkitkan keadaan-keadaan cita ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat dua anasir: Pertama, apa yang sedang saya tuju? Kedua, dari sudut pandang perasaan, mengapa saya ingin mencapai tujuan itu?


Contohnya, mengapa saya menginginkan cita yang lebih tenteram dan lebih jernih? Satu alasan yang sudah pasti ialah karena cita kita tidak tenteram, dan hal itu membuat kita kacau; hal tersebut menyebabkan banyak ketakbahagiaan dan menghalangi kita melakukan yang terbaik dalam hidup. Cita kita yang kacau bisa juga berpengaruh buruk terhadap kesehatan; bisa menyebabkan atau memperparah permasalahan di dalam keluarga dan membahayakan hubungan-hubungan kita yang lain; bisa memunculkan kesukaran di tempat kita kerja. Jadi, dalam contoh ini, tujuan kita adalah untuk mengatasi sejenis kekurangan, sejenis masalah yang kita miliki, baik secara batin maupun perasaan. Dan kita memutuskan untuk mengambil tanggung jawab untuk mengatasi masalah itu dengan cara yang teratur lewat latihan meditasi.


Keadaan perasaan apa yang mendorong kita untuk memulai latihan meditasi? Mungkin kita sudah betul-betul muak dan jijik dengan keadaan cita yang kita punya ini. Jadi kita bilang pada diri kita, “Cukup sudah. Aku ingin keluar dari keadaan ini. Aku harus melakukan sesuatu.” Dan jika, misalnya, tujuan kita adalah untuk lebih dapat menolong orang-orang yang kita cintai, maka keadaan emosionalnya, selain keadaan jijik tadi, dapat berupa rasa cinta dan welas asih. Perpaduan semua perasaan ini mendorong kita untuk menemukan cara yang akan memampukan kita untuk dapat membantu mereka dengan lebih baik lagi.


Akan tetapi, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang makul (realistis) tentang meditasi. Tidaklah makul jika kita berpikir bahwa meditasi saja dapat menyelesaikan semua permasalahan kita. Meditasi adalah sebuah alat, sebuah cara. Ketika kita ingin mencapai sebuah hasil dan kita memiliki perasaan yang positif yang mendorong kita menuju tujuan itu, kita perlu menyadari bahwa sebuah hasil tidak dicapai dengan satu sebab saja. Banyak, banyak sebab dan keadaan yang harus bersatu-padu agar dapat memunculkan hasil. Contohnya, jika saya menderita tekanan darah tinggi dan hipertensi, meditasi tentu akan membantu. Meditasi tiap hari dapat membantu saya untuk tidak serisau biasanya. Tapi meditasi saja tidak akan menurunkan tekanan darah saya. Meditasi dapat membantu, tapi saya juga mungkin perlu mengubah pola makan saya, lebih sering latihan gerak badan, dan saya mungkin juga membutuhkan obat-obatan pula. Ketika berbagai anasir tersebut saya kerjakan bersamaan, hasil yang diinginkan, turunnya tekanan darah, akan tercapai.


Cara-cara yang digunakan dalam meditasi tentu juga dapat digunakan untuk membangun keadaan cita negatif. Contohnya, saya bisa bermeditasi tentang betapa buruknya musuh saya. Saya dapat menggunakan meditasi untuk menumbuhkan rasa benci, yang kemudian menyebabkan saya mencari dan membunuh musuh saya. Tapi pada umumnya bukan seperti itu cara menggunakan meditasi. Meditasi pada umumnya digunakan sebagai cara untuk membangun keadaan cita positif yang akan bermanfaat bagi kita dan bermanfaat bagi sesama.




Pertanyaan ketiga: Bagaimana cara kita bermeditasi? Ada berbagai cara yang digunakan, tergantung pada keadaan cita apa yang ingin kita kembangkan. Tapi satu hal yang sama-sama ada pada semua cara ialah bahwa semuanya membutuhkan latihan. “Latihan” berarti mengulang suatu jenis laku latih lagi, dan lagi, dan lagi. Jika kita ingin melatih tubuh kita, kita perlu latihan jasmani secara teratur; demikian pula, kita perlu berlatih dengan cita kita.




Meditasi berkenaan dengan keadaan cita kita, dan maka itu wajarlah jika kita menggunakan suatu cara batin untuk membawa perubahan positif. Kita dapat menggunakan cara-cara jasmani untuk mencoba mengubah keadaan cita kita; misalnya, duduk dalam berbagai sikap yoga atau melakukan berbagai seni beladiri, seperti Tai Chi. Hal-hal tersebut sendiri bukanlah meditasi. Cara-cara jasmani semacam itu dapat membantu membangkitkan suatu keadaan cita tertentu, tapi meditasi adalah sesuatu yang Anda lakukan hanya dengan cita Anda saja. Tentu Anda dapat bermeditasi sembari melakukan beberapa sikap yoga atau sembari melakukan Tai Chi. Tapi kegiatan jasmani dan kegiatan batin adalah dua hal yang berbeda: yang satu kita lakukan dengan tubuh dan yang satu lagi kita lakukan dengan cita kita.


Untuk mencapai hasil yang diinginkan, kita mungkin perlu menggunakan berbagai macam sebab, baik jasmani maupun batin. Kita dapat melatih tubuh jasmani kita, misalnya, dengan mengubah pola makan, yang nantinya dapat mempengaruhi keadaan cita kita. Tapi meditasi itu artinya berlatih dengan cita itu sendiri. Jadi jika kita ingin mencapai suatu tujuan tertentu, kita perlu menyelidiki apa yang perlu kita ubah dalam hidup kita, baik secara jasmani maupun batin, agar dapat meraih tujuan itu. Kita mungkin perlu memulai latihan meditasi, mengubah pola makan, dan meningkatkan latihan gerak badan, atau semuanya sekaligus.


Ketika dilakukan dengan benar, sesi-sesi meditasi akan mulai mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita di tengah-tengah sesi-sesi tersebut. Jika kita melatih suatu keadaan cita tertentu selama sesi meditasi kita, entah itu keadaan lebih tenang, lebih terpusat, atau lebih mengasihi, yang menjadi pokoknya ialah kita mampu membangkitkan keadaan cita itu tidak hanya ketika sedang duduk tenang dalam meditasi. Pokok utamanya ialah untuk membangun keadaan positif ini dengan begitu menyeluruh sehingga menjadi kebiasaan, kebiasaan yang dapat kita terapkan kapanpun kita membutuhkannya, di setiap saat setiap hari. Pada akhirnya, ia menjadi sesuatu yang alami saja; ada di situ setiap waktu: kita jadi lebih mengasihi, lebih memahami, lebih terpusat, dan tenteram.


Jika kita mendapati diri tidak berada pada keadaan cita semacam itu, yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan diri kita sendiri: “Jadilah lebih mengasihi.” Dan karena kita telah begitu akrab dengan keadaan cita ini lewat latihan, secepat kilat kita dapat beranjak ke keadaan cita itu. Contohnya, ketika kita mendapati diri kita kehilangan kesabaran terhadap seseorang, kita dengan segera mengetahuinya dan mengingatkan diri kita, entah secara sadar atau tidak: “Aku tak mau seperti itu!” Kemudian, seperti menjentikkan jari, mirip seperti menghidupkan ulang komputer kita ketika sebuah pesan galat muncul, kita menutup “sesi” marah-marah ini dan membangkitkan kembali sikap mengasihi kita terhadap orang itu.


Membangkitkan keadaan cita ini, seperti kemurah-hatian untuk mengasihi, bukan cuma masalah tata tertib. Misalnya, untuk jadi lebih mengasihi, kita harus punya pemahaman mengapa kita harus jadi lebih mengasihi. Kita bisa ingat bahwa kita semua saling-terhubung satu sama lain, dengan berpikir: “Kau seorang manusia seperti aku; kau punya rasa seperti aku, kau ingin disukai dan tak ingin diabaikan atau tak disukai – sama seperti aku. Kita semua di sini bersama di planet ini dan kita harus akur satu sama lain.”


Contoh berikut ini mungkin bisa membantu menjelaskan. Bayangkan Anda berada di sebuah lift dengan sepuluh orang dan, sekonyong-konyong, lift tersebut macet dan kalian terperangkap di situ selama beberapa hari. Bagaimana cara Anda berhubungan dengan orang-orang lain di lift tersebut? Kalian di sana – sama-sama terjebak. Jika kalian mulai bertengkar di ruang sempit itu, bakal bencana jadinya, kan? Alih-alih, Anda perlu bekerja sama dan bersabar terhadap mereka semua. Anda harus bekerja bersama untuk mencoba keluar dari keadaan itu. Jadi, mungkin akan membantu pemahaman jika kita bayangkan planet ini sebagai sebuah lift yang sangat besar!


Dengan meditasi rinci seperti inilah kita dapat membangkitkan suatu keadaan cita yang memiliki kasih dan tepa-selira terhadap sesama. Sukar sekali untuk membangkitkan rasa yang nyata hanya dengan duduk dalam meditasi dan sekadar berkata pada diri: “Aku akan jadi lebih mengasihi.” Jadi ketika kita bertanya bagaimana caranya bermeditasi, satu cara adalah dengan membangun suatu keadaan cita, seperti contoh menjadi lebih mengasihi dan bertepa-selira tadi. Kita belajar menggunakan jalan-cerita batin seperti cerita lift kita tadi. Kita memikirkannya sampai kita memahaminya dan sampai hal itu masuk akal bagi kita. Dan kemudian, sembari duduk tenang dalam meditasi, sembari membayangkan orang lain di sekitar kita, entah itu orang yang kita kenal atau tidak, kita mencoba membangkitkan keadaan cita cinta dan welas asih tersebut.




Cara lain meditasi adalah dengan menenangkan cita, supaya kita sampai pada keadaan cita yang lebih alami. Ada pokok teramat penting untuk dipahami di sini: Ketika kita mencoba menenangkan cita, tujuannya bukanlah bercita kosong, seperti radio yang dimatikan. Tujuannya bukan itu sama sekali. Anda bisa tinggal tidur saja kalau memang mau seperti itu. Tujuannya adalah untuk menenangkan semua keadaan cita yang gelisah. Perasaan-perasaan tertentu dapat sangat gelisah, seperti misalnya gugup, risau, atau takut. Kita perlu menenangkan perasaan-perasaan yang gusar semacam itu.


Ketika kita menenangkan cita, yang ingin kita capai adalah keadaan cita yang jernih dan awas, suatu keadaan cita yang di dalamnya kita mampu membangkitkan kasih dan pengertian, atau kita mampu mengungkapkan kehangatan alami manusiawi yang kita semua miliki. Hal tersebut membutuhkan pengenduran (relaksasi) yang sangat, sangat mendalam – bukan sekadar pengenduran otot-otot tubuh, yang tentunya perlu, tapi juga pengenduran ketegangan dan kesesakan batin dan perasaan yang menghalangi kita merasakan hal apapun – khususnya, yang menghalangi kita merasakan kehangatan alami dan kejernihan cita. Ini bukan suatu latihan untuk sekadar padam seperti robot tanpa pikiran sama sekali.


Beberapa orang juga berpikir bahwa meditasi berarti berhenti berpikir. Itu salah paham. Bukannya menghentikan semua pikiran, meditasi harus menghentikan pikiran asing dan tak perlu, seperti pikiran-pikiran menganggu tentang masa depan (Makan apa aku malam nanti?), dan pikiran yang negatif dan tidak cakap (Kau jahat padaku kemarin. Kau orang yang mengerikan.). Semua hal itu berada pada golongan pikiran batin yang lasak dan gelisah.


Akan tetapi, memiliki cita yang tenang hanyalah alat; bukan tujuan akhirnya. Tapi jika kita memiliki cita yang lebih tenteram, lebih santai, lebih jernih, dan lebih terbuka, kita dapat menggunakannya secara lebih membangun. Kita dapat menggunakannya untuk membantu kita dalam hidup sehari-hari, tentunya; tapi kita juga dapat menggunakan cita semacam itu sembari duduk dalam meditasi untuk mencoba memperoleh pemahaman lebih tentang keadaan hidup kita. Dengan pikiran yang bebas dari perasaan-perasaan gelisah dan pikiran-pikiran asing, kita mampu berpikir dengan lebih jernih tentang pokok-pokok penting seperti: Apa yang sudah aku kerjakan dalam hidupku? Atau: Apa yang sedang terjadi dengan hubungan ini? Apa hubungan ini sehat? Atau tidak sehat? Kita dapat jadi analitis. Ini disebut mawas diri – menjadi lebih mawas diri tentang apa yang sedang terjadi dalam diri kita, apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Untuk dapat memahami jenis-jenis persoalan itu dan menjadi mawas diri dalam cara yang produktif, kita butuh kejernihan. Kita butuh cita yang tenteram dan tenang. Meditasi adalah alat yang dapat membawa kita ke keadaan itu.




Banyak naskah meditasi mengajarkan kita untuk membersihkan diri dari pikiran-pikiran bersekat (konseptual) dan menetap dalam keadaan nirsekat (nonkonseptual). Pertama-tama, ajaran ini tidak berlaku untuk semua meditasi. Hal tersebut mengacu secara khusus pada suatu meditasi tingkat lanjut untuk memusatkan diri pada kenyataan. Bagaimanapun juga, ada satu bentuk kebersekatan yang perlu dibersihkan dari semua jenis meditasi. Tapi untuk memahami berbagai bentuk kebersekatan yang dibahas dalam naskah-naskah meditasi, kita perlu memahami apa yang kita maksud dengan “bersekat”.


Beberapa orang berpikir bahwa bersekat berarti mengacu pada pikiran normal, pikiran lisan tiap hari yang melintas di cita kita – yang disebut dengan “suara di nalar kita” – dan bahwa nirsekat sekadar berarti menenangkan suara itu. Tapi menenangkan suara di nalar kita hanyalah sebuah permulaan. Kita telah membahas ini dalam lingkung menenangkan cita dari pikiran-pikiran asing yang gelisah agar dapat bercita lebih jernih dan tenteram. Orang lain berpikir bahwa untuk betul-betul memahami sesuatu, kita harus memahaminya secara nirsekat, dan bahwa pikiran bersekat dan pemahaman yang tepat saling tidak berhubungan. Bukan begitu perkaranya.


Untuk mengurai kekusutan mengenai kebersekatan, kita pertama-tama harus membedakan antara melisankan sesuatu di dalam pikiran kita dengan memahami sesuatu itu. Kita dapat melisankan sesuatu dalam pikiran kita dengan atau tanpa memahaminya. Misalnya, dalam hati kita bisa mendaraskan sebuah doa dalam bahasa asing, dengan atau tanpa memahami artinya. Demikian juga, kita dapat memahami sesuatu dengan atau tanpa mampu menjelaskannya secara batin lewat kata-kata, misalnya, bagaimana rasanya jatuh cinta.


Akan tetapi, persoalan pemahaman bersekat dan nirsekat dalam meditasi bukanlah persoalan memahami atau tidak memahami sesuatu. Dalam meditasi dan juga dalam hidup sehari-hari, kita selalu harus menjaga pemahaman kita, entah yang bersekat atau nirsekat, dan entah kita melisankannya secara batin atau tidak. Kadang-kadang pelisanan memang membantu; kadang-kadang tidak membantu sama sekali atau bahkan tidak perlu. Misalnya, mengikat sepatu: kita paham cara mengikat sepatu kita. Apa Anda betul-betul perlu melisankan apa yang Anda lakukan dengan tali yang ini atau yang itu ketika Anda mengikatnya? Tidak. Malahan, saya pikir sebagian besar dari kita bakal kesusahan menggambarkan dengan kata-kata cara mengikat sepatu. Akan tetapi, kita paham. Tanpa pemahaman, Anda takkan dapat melakukan apapun dalam hidup, bukan? Membuka pintu pun Anda tak bisa.


Dari berbagai sudut pandang, pelisanan pada kenyataannya memang membantu; kita membutuhkan pelisanan untuk mampu bersambung-wicara dengan sesama. Akan tetapi, pelisanan dalam pikiran kita tidaklah mutlak perlu; pelisanan itu sendiri bersifat tawar (netral). Ada beberapa meditasi berguna yang melibatkan pelisanan. Misalnya, merapal mantra berulang-ulang di dalam hati merupakan sebuah bentuk pelisanan yang membangkitkan dan memelihara suatu jenis irama atau getaran tertentu dalam cita. Irama mantra yang teratur sangatlah membantu; irama tersebut membantu kita tetap terpusat pada suatu keadaan cita tertentu. Contohnya, ketika membangkitkan welas asih dan cinta; jika Anda melafalkan mantra seperti OM MANI PEME HUNG, sedikit lebih mudah untuk tetap terpusat pada keadaan cinta itu, walau tentu saja kita dapat tetap terpusat pada suatu keadaan cinta tanpa mengatakan apapun secara batin. Jadi pelisanan sendiri bukanlah masalahnya. Di lain sisi, tentu saja, kita pasti perlu menenangkan cita kita ketika cita tersebut berceloteh dengan limpahan kata-kata tak berguna.


Jadi, jika persoalan kebersekatan bukanlah persoalan mengenai pelisanan atau pemahaman, soal apa dia? Apa itu cita bersekat dan apa maksud ajaran meditasi ketika kita diberitahu untuk membersihkan diri darinya? Apakah ajaran ini berkaitan dengan semua tahapan dan tingkatan dalam meditasi, dan juga dengan hidup sehari-hari? Adalah penting untuk menjernihkan pokok-pokok masalah ini.


Cita bersekat berarti berpikir dalam sekat-sekat, yang, dalam istilah sederhana, berarti memikirkan hal-hal dengan cara menaruh hal-hal tersebut ke dalam “kotak-kotak”, seperti “baik” atau “buruk”, “hitam” atau “putih”, “anjing” atau “kucing”. Tentunya saat berbelanja, kita perlu mampu membedakan antara apel dan jeruk, atau antara buah mentah dan buah matang. Dalam perkara harian, berpikir dalam sekat-sekat bukanlah masalah. Tapi ada jenis-jenis sekat yang merupakan masalah. Salah satunya ialah yang kita sebut “purbasangka”.


Satu contoh purbasangka adalah seperti ini: “Aku anggap kau selalu jahat padaku. Kau orang yang buruk karena di masa lampau kau melakukan ini dan itu, dan sekarang aku bisa duga bahwa, entah bagaimanapun juga, kau akan terus menjadi orang yang buruk.” Kita berpraduga bahwa orang tersebut menyebalkan dan akan terus begitu terhadap kita – itu namanya purbasangka. Dalam pikiran kita, kita menaruh orang itu dalam sekat atau kotak “orang menyebalkan”. Dan, tentunya, jika kita berpikir demikian, kita mengarah menjadi seseorang yang berpikir bahwa: “Dia jahat; dia selalu jahat padaku,” kemudian ada dinding tinggi menjulang antara diri kita dan orang itu. Purbasangka kita mempengaruhi cara kita berhubungan dengannya. Maka, purbasangka ialah suatu keadaan cita dalam mana kita menyekat-nyekat; kita menaruh hal-hal ke dalam kotak-kotak batin.


Ada banyak, banyak sekali tingkatan kenirsekatan. Salah satu tingkatannya ialah menjadi terbuka saja terhadap suatu keadaan saat keadaan itu muncul. Itu tidak berarti mengabaikan semua pemahaman bersekat. Misalnya, kalau ada seekor anjing yang telah menggigit banyak orang, kemudian karena kita berpikir tentang anjing itu dalam sekat “anjing yang menggigit”, kita jadi berhati-hati saat berada di sekitarnya. Kita jadi memiliki kewaspadaan yang beralasan ketika berada di sekitar hewan itu, tapi kita tidak memunculkan purbasangka seperti: “Anjing itu pasti akan menggigitku, jadi mendekatinya pun aku tak mau.” Ada keseimbangan yang lembut di sini antara menerima keadaan yang sedang muncul, sekaligus tidak memiliki purbasangka yang akan menghalangi kita untuk mengalami keadaan itu secara penuh.


Maka, dalam semua meditasi, tingkat kenirsekatan yang dibutuhkan adalah suatu cita yang bebas dari purbasangka. Salah satu ajaran yang paling umum diberikan ialah bermeditasi tanpa harapan dan kekhawatiran apapun. Purbasangka dalam sesi meditasi dapat berupa harapan bahwa sesi meditasi kita akan berjalan dengan sangat luar biasa, atau kekhawatiran bahwa kaki kita akan sakit, atau pikiran: “Aku takkan berhasil.” Pikiran-pikiran harapan dan kekhawatiran itu adalah purbasangka, entah kita lisankan secara batin atau tidak. Pikiran-pikiran semacam itu sama saja dengan menaruh sesi meditasi kita ke dalam kotak atau sekat batin “pengalaman menakjubkan” atau “pengalaman menyakitkan”. Sebuah pendekatan nirsekat terhadap meditasi secara sederhana dapat berupa tindakan menerima apapun yang terjadi dan menghadapinya menurut ajaran-ajaran meditasi, tanpa menaruh penilaian apapun terhadap keadaan itu.




Kita juga pastinya membutuhkan suasana yang mendukung untuk meditasi. Beberapa orang berpikir bahwa suasana yang mendukung itu haruslah seperti apa yang saya sebut “latar Hollywood”. Orang pikir mereka butuh sebuah ruangan khusus dengan lilin dan musik dan dupa jenis tertentu; mereka pikir mereka membutuhkan seperangkat latar-panggung film Hollywood. Kalau Anda ingin bermeditasi di lingkungan semacam itu, boleh-boleh saja; tapi yang jelas hal tersebut tidaklah perlu. Kita perlu menghormati diri kita sendiri dan apa yang sedang kita lakukan dengan meditasi; jadi, yang biasanya dianjurkan ialah tempat yang rapi dan bersih. Biasanya, caranya adalah dengan membersihkan ruangan tempat Anda akan bermeditasi. Atur ruangan dengan baik; jangan sampai ada pakaian berserakan di lantai, dsb. Kalau lingkungan di sekitar kita teratur, hal tersebut membantu cita untuk jadi teratur pula. Jika lingkungannya acak-acakan, hal tersebut secara negatif akan mempengaruhi cita.


Akan sangat membantu pula, khususnya di awal-awal, jika lingkungannya tenang. Dalam adat Buddha, kita jelas tidak bermeditasi dengan musik. Musik adalah sumber luar yang kita putar untuk mencoba membuat diri kita lebih tenteram. Namun, daripada bersandar pada sumber ketenteraman luar, kita mau mampu membangkitkan kedamaian dari dalam. Juga, musik bisa jadi bersifat membuai, dan kita tidak ingin berada dalam keadaan linglung. Kita tidak perlu menenangkan diri, seolah-olah kita ini berada di ruang tunggu dokter gigi, dengan musik lembut yang mengalun untuk menenteramkan hati. Itu bukan suasana meditasi yang baik.


Mengenai sikap tubuh saat meditasi, jika kita melihat berbagai aliran di Asia, terdapat banyak cara duduk meditasi. Orang Tibet dan India duduk dengan kaki bersila; orang Jepang berlutut dengan kaki mereka ditekuk ke belakang; orang di Thailand duduk dengan kedua kaki ditekuk ke satu sisi. Yang terpenting ialah duduk dengan sikap yang nyaman. Kalau Anda merasa perlu duduk di kursi, boleh saja. Baru dalam latihan meditasi di tingkat yang amat lanjutlah, dalam mana kita berlatih dengan berbagai tata tenaga di dalam tubuh, sikap tubuh jadi penting. Tapi pada umumnya kita harus mampu bermeditasi dalam jenis suasana apapun. Anda mungkin terbiasa duduk bersila di atas bantal, tapi kalau Anda berada di pesawat atau kereta api dan Anda tak dapat bersila, maka Anda cukup bermeditasi sembari duduk seperti biasa di tempat duduk Anda.


Khususnya untuk para pelaku meditasi yang masih belum berpengalaman, lingkungan yang tenang itu penting. Bagi banyak dari kita, tidaklah mudah untuk menemukan tempat yang tenang, khususnya di kota. Jadi banyak orang yang bermeditasi pagi-pagi sekali atau larut malam ketika suara bising tidak begitu banyak terdengar. Lambat laun, ketika kita sudah cukup lanjut, suara bising tidak lagi mengganggu kita, tapi di awal-awal kita akan lebih mudah terganggu oleh suara bising dari luar.


Pada umumnya, adalah penting bagi kita pribadi untuk menentukan sendiri dalam satu hari kapan waktu yang terbaik bagi kita untuk bermeditasi. Contohnya, banyak orang yang mendapati bahwa tenaga mereka menurun setelah makan; mereka jadi lelah, maka itu bukanlah waktu terbaik untuk bermeditasi. Beberapa orang sangat segar dan sigap ketika mereka bangun di pagi hari, tapi yang lain malah merasa pusing. Beberapa orang lebih awas di malam hari, tapi yang lain bersusah-payah untuk tetap terjaga ketika mereka mencoba bermeditasi sebelum tidur; dan hal tersebut tidaklah produktif. Jadi, penting untuk menentukan sendiri dalam satu hari kapan waktu yang paling sesuai untuk Anda.


Kita juga perlu mencari tahu sikap tubuh yang seperti apa yang terbaik bagi kita. Kalau kita duduk bersila, contohnya, kita selalu dianjurkan untuk menggunakan bantal sebagai alas. Tapi ada juga banyak orang yang tidak menggunakannya. Dan jika Anda menggunakannya, Anda perlu memperhatikan jenis bantal seperti apa yang akan digunakan: tebal atau tipis, keras atau lembut. Anda perlu mencari jenis bantal dan jenis sikap tubuh yang akan memperkecil kemungkinan kaki Anda kesemutan dan yang akan mencegah sesi meditasi Anda menjadi sesi yang menyakitkan dan tak nyaman. Sesi meditasi seharusnya tidak menjadi sesi siksaan dimana kita duduk dengan merasa sesak karena lutut kita sakit dan kita tak sanggup menunggu sampai sesi berakhir. Jadi jenis bantal yang Anda gunakan cukup penting jadi pertimbangan; hasilnya bisa jauh berbeda. Dan ketika kita bertambah tua dan tak bisa lagi duduk bersila, tidak masalah jika kita duduk di kursi, namun punggung kita harus tegak.


Juga, lama waktu meditasi kita akan berbeda-beda sesuai dengan kemajuan yang telah kita buat. Pada awalnya, selalu dianjurkan agar kita bermeditasi dalam waktu yang sangat singkat – tiga sampai lima menit – karena akan sangat sulit bagi kita untuk memusatkan perhatian lebih lama dari itu. Lebih baik kita bermeditasi dalam jangka waktu yang singkat tapi perhatian kita terpusat, daripada kita berlama-lama tapi pikiran kita melayang entah kemana, kita berkhayal, atau tertidur.


Jika kita melakukan sejenis meditasi Zen tertentu, maka mempertahankan sikap tubuh dan tidak bergerak sama sekali adalah hal penting. Dalam jenis-jenis meditasi lainnya, jika kita perlu menggerakkan kaki, kita bisa melakukannya – itu bukan masalah besar. Dalam semua jenis latihan kerohanian ini, yang penting adalah supaya kita santai; jangan terlalu memaksakan diri. Tentu saja, kita harus menghormati apa yang sedang kita lakukan, tapi jangan terlalu heboh, seperti dengan berpikir: “Aku adalah makhluk suci yang duduk di sini dan aku harus sempurna.”


Salah satu asas terpenting untuk diingat adalah bahwa segala sesuatu itu naik turun. Kadang-kadang meditasi kita berlangsung baik; kadang tidak begitu baik. Kadang kita merasa senang bermeditasi; kadang tidak begitu. Tidak akan pernah terjadi bahwa setiap hari meditasi kita semakin baik, dan semakin baik, dan semakin baik terus-menerus. Kemajuan tidak berjalan seperti garis lurus; selalu naik turun. Mungkin, setelah beberapa tahun, Anda akan mampu melihat kecenderungan umum bahwa latihan meditasi Anda berkembang, tapi akan selalu demikian: ada hari-hari ketika meditasi kita lebih baik dibanding hari-hari lainnya. Seperti yang dikatakan oleh salah satu guru saya: “Biasa saja.” Kalau berlangsung baik – biasa saja. Kalau tidak baik – biasa saja. Anda cukup lanjut saja. Yang terpenting ialah tekun. Bermeditasilah setiap hari. Seperti latihan main piano, Anda harus melakukannya setiap hari. Dan kalaupun Anda melakukannya hanya untuk beberapa menit sekali waktu, tak apa. Ambil waktu rehat, lalu bermeditasilah untuk beberapa menit lagi. Rehat sebentar lagi, dan bermeditasilah untuk beberapa menit lagi. Lebih baik berlatih seperti itu daripada duduk selama satu jam dalam satu sesi yang menyiksa.




Banyak orang yang ingin tahu: bagaimana cara saya memulai meditasi? Bagi kebanyakan orang, dalam berbagai aliran, cara kita memulainya adalah dengan meditasi yang memusatkan perhatian pada nafas. Ketika Anda bermeditasi pada nafas, Anda cukup bernafas sebagaimana biasanya: tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, tidak terlalu dalam, tidak terlalu pendek. Bernafaslah seperti biasa saja lewat hidung. Anda tentunya tidak ingin berlebihan; kalau Anda bernafas terlalu dalam, Anda jadi sangat, sangat pusing dan hal tersebut tidak membantu meditasi kita.


Anda dapat memusatkan perhatian pada nafas di dua tempat: pada kesan-rasa ketika nafas mengalir masuk dan keluar lewat hidung, atau kesan-rasa ketika perut mengembang dan mengempis. Bila cita Anda mengembara dan Anda berada di awang-awang – yang dalam bahasa Inggris kita sebut “spaced out” (Ind. mengerawang) – maka memusatkan perhatian pada wilayah perut di sekitar pusar yang mengembang dan mengempis akan membantu Anda “membumi” kembali. Jika, sebaliknya, Anda jadi sangat mengantuk dan bosan, maka pusatkan perhatian pada kesan-rasa nafas yang mengalir masuk dan keluar lewat hidung; itu akan membantu melejitkan tenaga Anda kembali. Jadi, sekali lagi, Anda yang menilai dan memutuskan untuk diri Anda sendiri apa yang Anda butuhkan pada setiap saat. Pokok umumnya adalah untuk terpusat pada nafas dengan kesadaran. Anda tidak memadamkan cita Anda; Anda menyadari kesan-rasa nafas Anda, tanpa perlu menilai-nilainya di dalam cita.


Tugas Anda yang sebenarnya adalah untuk mengenali sesegera mungkin ketika perhatian Anda melayang jauh dan kemudian membawanya turun kembali. Atau, jika Anda mulai bosan dan mengantuk, Anda perlu membangunkan diri Anda. Itulah tugas yang mesti Anda penuhi di sini. Dan jangan membodohi diri sendiri: tugas ini memang tidak gampang, karena kita cenderung sangat melekat dengan pikiran dan kelana batin kita, dan kita lupa bahwa kita harus menjemput perhatian kita pulang. Khususnya, jika ada perasaan yang gelisah yang terlibat dalam pikiran, seperti memikirkan seseorang yang sangat melekat pada kita, seseorang yang kita rindukan, atau seseorang yang membuat kita betul-betul kesal, bahkan lebih sulit lagi untuk mengembalikan perhatian kita. Tapi nafas selalu ada; ia adalah sesuatu yang tetap dan selalu dapat memanggil perhatian kita untuk kembali padanya.


Pemusatan perhatian pada nafas juga punya beberapa manfaat lain. Nafas sangat terhubung dengan tubuh. Dan jika kita adalah jenis orang yang terlalu terpaku pada pikiran-pikiran atau jika kita adalah seseorang yang “kepalanya mengawang-awang”, maka memusatkan perhatian pada nafas, terlepas dari perhatian pada nafas di lubang hidung atau perut, dapat membantu menjejakkan kembali kaki pikiran kita pada bumi, membawa kita kembali kepada tubuh, kepada kenyataan. Memusatkan perhatian pada nafas juga sangat membantu jika kita merasa kesakitan. Malah, meditasi nafas telah dipakai di beberapa rumah sakit, khususnya di Amerika Serikat, untuk mengelola rasa sakit. Coba Anda pikir-pikir, ketika seorang bayi menangis, dan ibunya merebahkan si bayi ke dadanya, bayi itu merasakan nafas si ibu mengalir masuk dan keluar, dan itu sangat menenteramkan. Demikian pula, jika kita memusatkan perhatian pada nafas kita sendiri, hal tersebut dapat membantu menenteramkan kita, khususnya jika kita merasa sangat kesakitan. Dan bernafas juga dapat meredakan bukan hanya rasa sakit jasmani; tapi juga meredakan atau mengurangi rasa sakit perasaan.


Berikutnya, Anda harus tahu apa yang Anda lakukan dengan mata Anda. Dalam beberapa aliran, Anda bermeditasi dengan mata tertutup. Keuntungannya ialah Anda mengalami lebih sedikit gangguan. Kerugian bermeditasi dengan mata tertutup ialah Anda lebih mudah tertidur. Kerugian lainnya bermeditasi dengan mata tertutup adalah bahwa hal tersebut membuat Anda terbiasa: agar bisa tenang atau bermeditasi, Anda harus menutup mata; dan hal ini kerap sukar dilakukan di kehidupan nyata. Orang Tibet bermeditasi dengan mata terbuka, tidak terbuka lebar dan melihat ke sekeliling; tapi hanya melihat dengan tatapan lembut, tidak terpusat, dan terarah ke lantai. Sekali lagi, kita yang menilai dan memutuskan mana yang terbaik.




Begitu kita telah menenangkan cita kita dengan meditasi nafas, kita dapat menggunakan keadaan cita yang tenang dan awas itu. Kita dapat menggunakannya untuk menjadi lebih waspasda terhadap keadaan perasaan kita, tapi kita juga dapat menggunakannya, misalnya, dalam sebuah meditasi untuk membangkitkan rasa kasih terhadap sesama. Untuk membangkitkan kasih, Anda perlu berlatih sampai berada pada tataran kasih. Pada awalnya, Anda tidak bisa hanya berpikir: “Kini aku mengasihi semua orang” dan kemudian benar-benar merasakannya. Tidak ada kekuatan di balik pikiran semacam itu. Jadi, Anda dapat menggunakan sebuah olahan pikiran untuk melatih diri sampai pada perasaan kasih, seperti: “Semua makhluk hidup saling terhubung; kita di sini semua bersama-sama. Setiap orang itu sama: kita semua ingin bahagia, tidak ada yang ingin tidak bahagia; setiap orang ingin disenangi, tidak ada yang ingin tidak disenangi atau diabaikan. Semua makhluk persis seperti aku.”


Dan karena kita semua di sini bersama-sama dan saling terhubung, maka kasih adalah perasaan: “Semoga setiap orang berbahagia dan memiliki sebab untuk bahagia. Betapa menakjubkan jadinya jika setiap orang bahagia, jika tidak ada orang yang memiliki masalah apapun.” Dan dengan membangun diri sampai pada tataran cita ini, dan hati kasih ini, kemudian kita membayangkan seberkas sinar kuning yang nyaman seperti sang surya, bersinar dari kita, dengan kasih, memancar menerpa setiap orang lain. Jika perhatian kita melayang-layang, kita bawa kembali ke perasaan ini: “Semoga setiap orang berbahagia.”




Jika kita membiasakan diri kita dengan jenis-jenis meditasi ini, kita mengembangkan seperangkat alat yang dapat kita gunakan dalam hidup kita sehari-hari. Hanya memusatkan perhatian pada nafas saja bukanlah satu-satunya kegiatan hidup sehari-hari kita. Bukan itu tujuan akhirnya, kan? Akan tetapi, keterampilan yang telah kita kembangkan, kemampuan untuk selalu membawa perhatian kita kembali pada pemusatan – kita pastinya dapat menggunakan itu dalam hidup sehari-hari. Misalnya, jika kita sedang bercakap-cakap dengan seseorang dan cita kita mulai berkelana, dan kita berpikir: “Kapan dia diam?” dan kita membuat segala macam penilaian dan cibiran di dalam cita kita tentang apa yang dia katakan, segera setelah kita menyadari apa yang sedang terjadi, kita harus menenangkan semua itu dan membawa perhatian kita kembali kepada orang tersebut dan kepada apa yang sedang ia katakan. Kita menggunakan keterampilan yang kita latih dalam meditasi untuk membangkitkan pemahaman: “Ini seorang manusia. Dia ingin disukai. Dia ingin disimak ketika bicara denganku. Dia ingin ditanggapi dengan sungguh-sungguh, persis sama seperti aku.”


Jadi tujuannya adalah untuk mampu menerapkan keterampilan yang kita kembangkan dalam meditasi pada pengalaman hidup sehari-hari. Kita tidak bertujuan untuk memperoleh medali emas Olimpiade karena mampu duduk sempurna dalam meditasi; bukan itu tujuannya! Alih-alih, kita ingin meditasi agar latihan meditasi tersebut membantu kita dalam hidup kita, baik secara pribadi maupun dalam hubungan kita dengan sesama. Dan untuk melakukan itu, kita harus membangun kebiasaan-kebiasaan yang lebih bermanfaat. Itulah meditasi.

 Arsip Dr. Alexander Berzin
Transkripsi diedit oleh Kimberly Fitzmorgan dan Alexander Berzin
Sumber : transcript.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon masukannya... ^^