Alexander Berzin November 2001, diperbaiki Desember 2006
Geografi
Beragam aliran Buddha Hinayana hadir di Afghanistan sejak
masa-masa paling awal, di sepanjang kerajaan-kerajaan yang terletak di jalur
dagang ke Asia Tengah. Dua kerajaan besar di sana adalah Gandhara dan Baktria.
Gandhara mencakup wilayah-wilayah baik di Punjab Pakistan dan Celah Khyber sisi
Afghanistan. Potongan wilayah bagian Afghanistan ini, dari Celah Khyber ke
Lembah Kabul, kemudian akhirnya bernama Nagarahara; sementara sisi
Punjab tetap bernama Gandhara. Baktria membentang dari Lembah Kabul ke arah
utara dan mencakup Uzbekistan sebelah selatan dan Tajikistan. Ke arah utaranya,
di Uzbekistan tengah dan Tajikistan sebelah barat laut, adalah Sogdiana.
Bagian sebelah selatan Baktria, persis di utara Lembah Kabul, bertempat Kapisha;
sementara bagian sebelah utara kelak bernama Tokharistan.
Menurut catatan-catatan Hinayana mengenai hikayat Buddha,
seperti naskah Sarvastivada The Sutra of Extensive Play ( Sutra
Lelakon Panjang, Skt. Lalitavistara Sutra ), Tapassu dan Bhallika,
dua pedagang bersaudara dari Baktria, menjadi murid pertama yang menerima
sumpah orang awam. Ini terjadi delapan minggu setelah pencerahan Shakyamuni,
yang secara turun-temurun dianggap terjadi pada tahun 537 SM. Bhallika kemudian
menjadi seorang biksu dan membangun sebuah wihara di dekat kota tinggalnya,
Balkh, yang bertempat di dekat Mazar-i-Sharif sekarang. Ia membawa serta delapan
helai rambut sang Buddha sebagai pusaka, yang untuknya sebuah tugu stupa
ia dirikan. Kira-kira di masa ini, Baktria menjadi bagian dari Kekaisaran Iran
Akhaemeniyyah.
Pada tahun 349 SM, beberapa tahun setelah Sidang Dewan
Buddha Kedua, aliran Mahasanghika memisahkan diri dari Theravada. Banyak dari
kaum Mahasanghika pindah ke Gandhara. Di Hadda, kota utama di sisi Afghanistan,
yang bertempat di dekat Jalalabad sekarang, mereka akhirnya mendirikan Wihara
Nagara; dan mereka membawa serta tengkorak dari jasad sang Buddha sebagai
pusaka.
Tak lama, seorang tetua Theravada, Sambhuta Sanavasi, ikut
pindah dan mencoba membangun alirannya di Kapisha. Ia tidak berhasil, dan
Mahasanghika menancapkan akar sebagai aliran Buddha utama di Afghanistan.
Pada akhirnya, kaum Mahasanghika terbelah menjadi lima
cabang-aliran. Salah satu yang besar di Afghanistan adalah Lokottaravada, yang
kemudian memapankan diri di Lembah Bamiyan di Pegunungan Kush Hindu. Di sana,
pada suatu masa antara abad ke-3 dan ke-5 M, para pengikutnya membangun patung
Buddha berdiri terbesar, dalam rangka menjaga keyakinan mereka bahwa Buddha
adalah sosok lintas-fana dan adimanusia. Taliban menghancurkan karya raksasa
ini pada tahun 2001 M.
Pada 330 SM, Alexander Agung dari Makedonia menaklukkan
sebagian besar Kekaisaran Akhaemeniyyah, termasuk Baktria dan Gandhara. Ia
bertepa-selira dengan agama-agama di daerah-daerah ini dan tampak minatnya
hanya terpusat pada penaklukan militer. Para penerusnya membangun Wangsa
Seleukia. Akan tetapi, di tahun 317 SM, Wangsa Maurya India merebut Gandhara
dari Seleukia dan oleh karena itu wilayah tersebut hanya ter-Helenisasi secara
permukaan saja selama kurun yang singkat ini.
Kaisar Maurya Ashoka (memerintah 273 – 232 SM) menyukai
ajaran Buddha Theravada. Pada masa pemerintahannya kelak, ia mengirimkan utusan
Theravada ke Gandhara, yang dipimpin oleh Maharakkhita. Ke selatan sampai
sejauh Kandahar, utusan ini mendirikan “sakaguru Ashoka” dengan maklumat yang
didasarkan pada asas-asas Buddha. Lewat utusan-utusan ini, Theravada menapakkan
jejak kecil kehadirannya di Afghanistan.
Menjelang akhir pemerintahan Ashoka, setelah Sidang Dewan
Buddha Ketiga, Aliran Hinayana Sarvastivada juga memisahkan diri dari Theravada.
Setelah kematian Ashoka, putranya Jaloka memperkenalkan Sarvastivada di
Kashmir.
Pada 239 SM, kaum bangsawan Yunani di Baktria melakukan
pemberontakan melawan pemerintahan Seleukia dan memperoleh kemerdekaannya. Pada
tahun-tahun setelahnya, mereka menaklukkan Sogdiana dan Kashmir, dan membangun
kerajaan Graeko-Baktria. Para biksu Kashmir segera saja menyebarkan Aliran
Hinayana Sarvastivada ke Baktria.
Pada 137 SM, kaum Graeko-Baktria merebut Gandhara dari kaum
Maurya. Kemudian, Sarvastivada datang ke bagian sebelah tenggara Afghanistan
pula. Dari persentuhan lekat antara kebudayaan Yunani dan India yang
mengikutinya, gaya Helenistik dengan kuat mempengaruhi seni Buddha, khususnya
dalam hal representasi bentuk manusia dan busana jubah menjuntai.
Walaupun Theravada tidak pernah kuat di kerajaan
Graeko-Baktria, salah satu rajanya, Menandros (Pali: Milinda, memerintah
155 – 130 SM), merupakan seorang pengikut Theravada akibat pengaruh Nagasena,
biksu India yang berkunjung ke sana. Sang Raja melontarkan banyak pertanyaan
pada guru India ini dan percakapan mereka dikenal kemudian sebagai Pertanyaan-Pertanyaan
Milinda (Pali: Milindapanho). Tak lama sesudahnya, negara
Graeko-Baktria membangun hubungan dengan Sri Lanka dan mengirimkan serombongan
perwakilan biksu ke upacara pentahbisan stupa besar yang dibangun di sana oleh
Raja Dutthagamani (memerintah 101 – 77 SM). Dari persentuhan kebudayaan yang
berlangsung itu, para biksu Graeko-Baktria secara lisan menyiarkan Pertanyaan-Pertanyaan
Milinda ke Sri Lanka. Ini yang kemudian menjadi naskah resmi tambahan dalam
aliran Theravada.
Antara tahun 177 dan 165 SM, perluasan Kekaisaran Han Cina
yang mengarah ke barat, Gansu dan Turkistan Timur (Cin. Xinjiang ),
mendesak banyak dari suku-suku bangsa pengembara Asia Tengah pribumi lebih jauh
ke barat. Salah satu dari suku-bangsa ini, Xiongnu, menyerang yang lainnya,
Yuezhi (Wades-Giles: Yüeh-chih) dan mengasimilasi sebagian besar dari mereka.
Orang Yuezhi adalah orang Kaukasia yang berbicara dalam bahasa Indo-Eropa barat
kuno dan mewakili perpindahan ke arah paling timur dari ras Kaukasia. Menurut
beberapa sumber, salah satu dari lima suku-bangsa ningrat Yuezhi, dikenal dalam
sumber-sumber Yunani sebagai kaum Tokharia, berpindah ke wilayah Kazakhstan
sekarang, mendesak ke selatan kaum Shaka (Iran Lama: Saka), suku pengembara
pribumi di sana, yang dikenal oleh orang Yunani sebagai bangsa Skithia. Akan
tetapi, orang Tokharia maupun Shaka berbicara dalam bahasa-bahasa Iran. Karena
perbedaan dalam hal bahasa ini, terjadi selisih-paham dalam menentukan apakah
orang Tokharia yang ini berhubungan dengan para keturunan Yuezhi, yang juga
dikenal sebagai orang “Tokharia”, yang membangun peradaban-peradaban yang
tumbuh subur di Kucha dan Turfan di Turkistan Timur pada abad ke-2 SM. Akan
tetapi, sudah jelas bahwa orang Shaka tidak ada kaitannya dengan suku Shakya di
India utara pusat, yang menjadi tempat lahir Buddha Shakyamuni.
Orang-orang Shaka pertama-tama merebut Sogdiana dari
Graeko-Baktria dan kemudian, pada 139 SM, selama masa pemerintahan Raja
Menandros, merebut Baktria juga. Di sana, orang-orang Shaka beralih menganut
ajaran Buddha. Pada 100 SM, orang-orang Tokharia merebut Sogdiana dan Baktria
dari Shaka. Bermukim di wilayah-wilayah ini, mereka juga mengasimilasi ajaran
Buddha. Inilah permulaan Wangsa Kushan, yang pada akhirnya meluas ke Kashmir,
Pakistan sebelah utara, dan India sebelah barat daya.
Raja Kushan paling terpandang adalah Kanishka (memerintah 78
– 102 M), yang ibukota sebelah baratnya berkedudukan di kapisha. Ia mendukung
Aliran Hinayana Sarvastivada. Vaibhashika, anak-cabang dari Sarvastivada, amat
menonjol di Tokharistan. Ghoshaka, seorang biksu Tokharia, merupakan salah
seorang penyusun tinjauan-tinjauan Vaibhashika atas abhidharma (pokok-pokok
pengetahuan istimewa) diterima di Sidang Dewan Buddha Keempat yang
diselenggarakan di Kanishka. Ketika Ghoshaka kembali ke Tokharistan setelah
sidang dewan tersebut, ia mendirikan Aliran Vaibhashika (Balikha) Barat. Wihara
Nava, wihara utama di Balkh, segera saja menjadi pusat pendidikan ajaran Buddha
tertinggi di Asia Tengah, sebanding dengan Wihara Nalanda di India sebelah
utara pusat. Wihara Nava menekankan pendidikan terutama pada abhidharma
Vaibhashika dan hanya menerima biksu-biksu yang telah menulis naskah-naskah
tentang pokok bahasan itu. Karena juga merupakan tempat penyimpanan gigi
peninggalan dari sang Buddha, wihara itu juga menjadi salah satu dari pusat
peziarahan utama di sepanjang Jalur Sutera dari Cina ke India.
Balkh adalah tempat lahir Zarathustra pada kira-kira tahun
600 SM. Kota itu adalah kota suci agama Zarathustra, agama Iran yang tumbuh
dari ajaran-ajarannya dan yang menekankan pemujaan terhadap api. Kanishka
menerapkan kebijakan tepa-selira keagamaan Grakeo-Baktria. Oleh karena itu,
agama Buddha dan Zarathustra hidup berdampingan dengan damai di Balkh, dimana
mereka saling mempengaruhi perkembangan satu sama lain. Di wihara-wihara gua
dari kurun ini, misalnya, terdapat lukisan-lukisan dinding Buddha dengan aura
lidah api dan prasasti yang menamai lukisan-lukisan itu “ Buddha-Mazda”. Ini
merupakan sebuah perpaduan Buddha dan Ahura Mazda, dewa agung agama
Zarathustra.
Pada 226 M, Kekaisaran Sassaniyyah Persia menggulingkan
kekuasaan Kushan di Afghanistan. Walaupun merupakan pendukung kuat agama
Zarathustra, kaum Sassaniyyah bertepa-selira dengan agama Buddha dan
mengizinkan pembangunan lebih banyak lagi wihara-wihara Buddha. Selama masa
pemerintahan mereka inilah para pengikut Lokottaravada mendirikan dua patung
raksasa Buddha di Bamiyan.
Satu-satunya pengecualian untuk tepa-selira Sassaniyyah
terhadap agama Buddha adalah selama kurun paruh kedua abad ke-3, ketika pendeta
tinggi agama Zarathustra, Kartir, menguasai kebijakan keagamaan negara. Ia
memerintahkan penghancuran beberapa wihara Buddha di Afghanistan, karena
perpaduan agama Buddha dan Zarathustra baginya adalah bentuk ajaran sesat. Akan
tetapi, agama Buddha pulih dengan cepat setelah kematiannya.
Pada awal abad ke-5, kaum Hun Putih – yang oleh bangsa
Yunani dikenal sebagai kaum Heftha dan oleh bangsa India dikenal sebagai kaum
Turushka – merebut sebagian besar bekas wilayah kekuasaan Kushan dari kaum
Sassaniyyah, termasuk Afghanistan. Pertama-tama, kaum Hun Putih mengikuti agama
mereka sendiri, yang mirip dengan agama Zarathustra. Akan tetapi, tak lama
kemudian mereka menjadi pendukung agama Buddha. Peziarah Cina Han, Faxian
(Fa-hsien) bepergian melalui wilayah kekuasaan mereka antara 399 dan 414 M dan
melaporkan perihal mekarnya beberapa aliran Hinayana di sana.
Para Shahi Turki adalah bangsa Turki yang diturunkan dari
kaum Kushan. Setelah kejatuhan Wangsa Kushan ke tangan Sassaniyyah, mereka
mengambil-alih banyak bagian dari kekaisaran tersebut yang terbentang di India
sebelah barat laut dan utara. Mereka memerintah di sana sampai pada saat
berdirinya Wangsa Gupta India di awal abad ke-4, dan kemudian mereka melarikan
diri ke Nagarahara. Mereka merebut berbagai wilayah kekuasaan di sana dari
tangan Hun Putih dan, pada pertengahan abad ke-5, mereka memperluas kekuasaan
sampai ke Lembah Kabul dan Kapisha. Seperti kaum Kushan dan Hun Putih, kaum
Shahi Turki pun mendukung agama Buddha di Afghanistan.
Pada 515, raja Hun Putih, Mihirakula, di bawah pengaruh
faksi-faksi non-Buddha yang iri hati di istananya, menindas agama Buddha. Ia
menghancurkan wihara-wihara dan membunuh banyak biksu di seluruh India sebelah
barat laut, Gandhara, dan khususnya di Kashmir. Penganiayaan ini masih tidak
separah yang terjadi di berbagai bagian Nagarahara yang ia kuasai. Putranya
membalikkan kebijakan ini dan membangun wihara-wihara baru di semua wilayah
tersebut.
Berasal dari Turkistan Barat, Bangsa Turki Barat merebut
bagian sebelah barat dari Jalur Sutera Asia Tengah pada tahun 560.
Perlahan-lahan, mereka meluas ke Baktria, membuat Shahi Turki terdesak lebih
jauh ke Timur di Nagarahara. Banyak dari pemimpin Turki Barat yang menganut
agama Buddha dari masyarakat setempat dan, pada 590, mereka membangun sebuah
wihara Buddha baru di Kapisha. Pada 622, penguasa Turki Barat, Tongshihu Qaghan
secara resmi menganut agama Buddha di bawah bimbingan Prabhakaramitra, seorang
biksu India sebelah utara yang datang berkunjung.
Peziarah Cina Han, Xuanzang (Hsüan-tsang), mengunjungi
bangsa Turki Barat kira-kira pada tahun 630 dalam perjalanannya menuju India.
Ia melaporkan bahwa ajaran Buddha tumbuh-mekar di wilayah Baktria dari
kekaisaran mereka, khususnya di Wihara Nava di Balkh. Ia mengutip perguruan
tinggi kewiharaan itu bukan hanya untuk kesarjanaannya saja, tapi juga atas
patung-patung Buddha-nya yang indah, yang dibalut dengan jubah sutera dan
dihias dengan hiasan permata, sesuai dengan adat Zarathustra di tempat itu.
Wihara tersebut pada saat itu berhubungan erat dengan Khotan, sebuah kerajaan
Buddha yang kuat di Turkistan Timur, dan mengirimkan banyak biksu ke sana untuk
mengajar. Xuanzang juga menggambarkan sebuah wihara di dekat Wihara Nava yang
dimaksudkan sebagai tempat latihan vipashyana (Pali: vipassana ),
sebuah latihan meditasi Hinayana tingkat lanjut – pemahaman istimewa atas
ketidaktetapan dan tiadanya jati-diri mandiri seseorang.
Xuanzang mendapati ajaran Buddha berada dalam keadaan yang
jauh lebih buruk di Nagarahara, di bawah Shahi Turki. Seperti di sisi Punjab
dari Gandhara, wilayah ini tampak belum sepenuhnya pulih dari penganiayaan oleh
Raja Mihirakula lebih dari satu abad sebelumnya. Walaupun Wihara Nagara, dengan
pusaka tengkorak sang Buddha, merupakan salah satu tempat ziarah paling suci di
dunia Buddha, ia melaporkan bahwa para biksunya telah mengalami kemerosotan.
Mereka membebani para peziarah dengan biaya satu keping emas untuk satu kali
melihat pusaka tersebut dan tidak terdapat pusat pendidikan di seluruh wilayah
itu pula.
Lebih lagi, walaupun Mahayana telah meluas dari Kashmir dan
Gandhara Punjab sampai ke Afghanistan selama abad ke-5 dan ke-6, Xuanzang
mencatat aliran itu hadir hanya di Kapisha dan di wilayah-wilayah Kush Hindu di
barat Nagarahara. Sarvastivada tetap menjadi aliran Buddha terkuat di Nagarahara
dan Baktria sebelah utara.
Tiga puluh tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, bangsa Arab
mengalahkan kaum Sassaniyyah Persia dan mendirikan Kekalifahan Ummaiyyah pada
661. Kekalifahan ini menguasai Iran dan sebagian besar wilayah Timur Tengah.
Pada 663, mereka menyerang Baktria, yang direbut Shahi Turki dari Bangsa Turki
Barat pada saat ini. Wilayah di sekitar Balkh, termasuk Wihara Nava, jatuh ke
tangan pasukan-pasukan Ummaiyyah; dan ini memaksa Shahi Turki mundur ke Lembah
Kabul.
Bangsa Arab mengizinkan para pengikut agama-agama non-Muslim
di tanah-tanah taklukan mereka untuk tetap menjaga iman mereka jika mereka
secara menyerah tanpa perlawanan dan bersedia membayar pajak perseorangan (Ar. jizya).
Walau beberapa umat Buddha di Baktria dan bahkan seorang kepala wihara di
Wihara Nava pindah ke agama Islam, sebagian besar umat Buddha di wilayah itu
menerima status dhimmi sebagai seorang kawula non-Muslim yang setia dan
dilindungi di sebuah negara Islam. Wihara Nava tetap buka dan menjalankan
tugasnya. Peziarah Cina han, Yijing (I-ching) mengunjungi Wihara Nava pada
tahun 680an dan melaporkan bahwa wihara tersebut tumbuh-mekar sebagai sebuah
pusat pendidikan Sarvastivada.
Seorang pengarang Arab Ummaiyyah, al-Kermani, menulis sebuah
catatan rinci tentang Wihara Nava di permulaan abad ke-8, yang diabadikan di
dalam karya abad ke-10 Kitab Tanah-Tanah (Ar. Kitab al-Buldan)
oleh al-Hamadhani. Ia menggambarkan wihara itu dengan istilah-istilah yang
sedianya dapat dipahami oleh umat Muslim dengan mengumpamakannya dengan Kabah
di Mekkah, tempat paling suci bagi Islam. Ia menjelaskan bahwa kuil utama
memiliki batu berbentuk kubus di tengah-tengahnya, dibalut dengan kain
menjuntai, dan bahwa para umat mengelilinginya dan membuat sujud-sembah,
seperti halnya Kabah. Kubus batu yang dimaksud adalah mimbar tempat berdirinya
sebuah stupa, seperti halnya adat di kuil-kuil Baktria. Kain yang membungkusnya
itu sesuai dengan adat Iran dalam hal menunjukkan pemujaan, diterapkan sama pada
patung-patung Buddha dan juga stupa-stupa. Penggambaran al-Kermani menunjukkan
suatu sikap terbuka dan hormat oleh orang Arab Ummaiyyah dalam usaha mereka
memahami agama non-Muslim, seperti Buddha, yang mereka temui di wilayah-wilayah
taklukan mereka yang baru.
Pada 680, Husayn memimpin sebuah pemberontakan yang gagal di
Irak melawan kaum Ummaiyyah. Perseteruan ini telah mengalihkan pusat perhatian
bangsa Arab dari Asia tengah dan melunglaikan kendali mereka di sana. Dengan
mengambil keuntungan dari keadaan ini, Tibet membentuk sebuah persekutuan
dengan Shahi Turki pada 705 dan, bersama-sama, mereka mencoba mendesak
pasukan-pasukan Ummaiyyah keluar dari Baktria; namun gagal. Orang-orang Tibet
telah belajar agama Buddha dari Cina dan Nepal sekitar enam puluh tahun
sebelumnya, walau pada masa ini mereka belum memiliki wihara. Pada 708,
pangeran Shahi Turki, Nazaktar Khan, berhasil mengusir Ummaiyyah dan membangun
sebuah pemerintahan Buddha fanatik di Baktria. Ia bahkan memancung mantan
kepala Wihara Nava yang menjadi mualaf itu.
Pada 715, panglima Arab, Qutaiba, merebut kembali Baktria
dari kaum Shahi Turki dan sekutu Tibet mereka. Ia mengakibatkan kerusakan parah
di Wihara Nava sebagai hukuman atas pemberontakan sebelumnya. Banyak biksu yang
melarikan diri ke arah timur ke Khotan dan Kashmir. Dan hal ini merangsang
pertumbuhan ajaran Buddha, khususnya di Kashmir. Tibet kini mengalihkan
keberpihakannya dan, demi keuntungan politis, bersekutu dengan pasukan
Ummaiyyah yang baru saja diperanginya.
Wihara Nava pulih dengan cepat dan segera saja menjalankan
tugasnya seperti sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa penghancuran
wihara-wihara Buddha di Baktria oleh kaum Muslim bukanlah tindakan yang
didorong oleh alasan keagamaan. Kalau memang demikian, mereka pasti tidak akan
mengizinkan wihara-wihara tersebut dibangun kembali. Kaum Ummaiyyah hanya
mengulangi kebijakan terhadap agama Buddha yang mereka terapkan sebelumnya di
abad itu ketika mereka menaklukkan daerah-daerah Sindh dari Pakistan sebelah
selatan sekarang. Mereka hanya menghancurkan wihara-wihara tertentu yang mereka
curigai menentang pengambil-alihan kekuasaan. Namun kemudian mereka mengizinkan
pembangunan kembali wihara yang hancur dan membiarkan wihara yang lain makmur.
Rencana utama mereka adalah penghisapan secara ekonomi dan karena itu mereka
memungut pajak perseorangan pada orang-orang Buddha dan pajak peziarah pada
para pengunjung kuil-kuil suci.
Terlepas dari kecenderungan umum para khalifah Ummaiyyah
sebelumnya yang bertepa-selira terhadap agama lain, Umar II (memerintah tahun
717 – 720) menitahkan bahwa seluruh sekutu Ummaiyyah harus menganut agama
Islam. Akan tetapi, mereka harus secara sukarela menerima Islam. Penerimaan itu
haruslah hasil dari belajar asas-asas agama tersebut. Untuk menyenangkan hati
sekutu-sekutu mereka, orang Tibet mengirimkan seorang utusan ke istana
Ummaiyyah pada 717 untuk mengundang seorang guru Muslim. Sang Khalifah
mengirimkan al-Hanafi. Kenyataan bahwa guru ini tidak mencatatkan keberhasilan dalam
memualafkan umat di Tibet menunjukkan bahwa kaum Ummaiyyah tidak bersikeras
dalam upaya syiar agama mereka. Lebih jauh lagi, penyambutan yang terkesan
dingin yang diterima al-Hanafi di Tibet utamanya disebabkan oleh suasana
anti-orang-asing yang ditebar oleh faksi oposisi di istana Tibet.
Selama dasawarsa-dasawarsa berikutnya, persekutuan politik
dan militer kerap bergonta-ganti saat bangsa Arab, Cina, Tibet, Shahi Turki,
dan berbagai suku-suku bangsa Turki lainnya berebut kendali atas Asia Tengah.
Kaum Shahi Turki merebut Kapisha dari tangan kaum Ummaiyyah dan, pada 739,
orang Tibet membangun kembali persekutuan mereka dengan Shahi Turki lewat
sebuah kunjungan oleh kaisar Tibet ke Kabul untuk merayakan sebuah persekutuan
pernikahan antara Shahi Turki dan Khotan. Kaum Ummaiyyah tetap memerintah
Baktria sebelah utara.
Pada 750, sebuah faksi Arab melengserkan Kekhalifahan
Ummaiyyah dan mendirikan Wangsa Abbasiyyah. Mereka mempertahankan kuasa atas
Baktria sebelah utara. Kaum Abbasiyyah bukan hanya meneruskan penerapan
kebijakan pemberian status dhimmi bagi umat Buddha di sana, tapi mereka juga
menaruh minat yang luar biasa terhadap kebudayaan asing, terutama yang dari
India. Pada 762, Khalifah al-Mansur (memerintah tahun 754 – 775) melibatkan
para arsitek dan insiyur India untuk merancang ibukota Abbasiyyah yang baru,
Baghdad. Ia mengambil nama tersebut dari kata bahasa Sanskerta Bhaga-dada
, yang berarti “Karunia Tuhan”. Sang Khalifah juga membangun sebuah Rumah
Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat ), dengan sebuah biro penerjemahan. Ia
mengundang para cendekiawan dari berbagai latar kebudayaan dan agama untuk
menerjemahkan naskah-naskah ke dalam bahasa Arab, khususnya naskah-naskah yang
berkenaan dengan pokok-pokok kenalaran dan keilmuan.
Para khalifah Abbasiyyah masa awal merupakan pelindung bagi
Perguruan Islam Mu’tazila yang memusatkan kajiannya pada upaya menjelaskan
asas-asas Quran dari sudut pandang nalar. Titik pusat utamanya ada pada
pembelajaran hal-ihwal Yunani kuno, tapi juga memberi perhatian pada
tradisi-tradisi Sanskerta. Akan tetapi, di Rumah Pengetahuan, bukan hanya
naskah-naskah ilmiah saja yang diterjemahkan. Para cendekiawan Buddha juga
menerjemahkan ke bahasa Arab beberapa sutra Mahayana dan Hinayana yang berkenaan
dengan tema-tema kebaktian dan budi-pekerti.
Khalifah berikutnya, al-Mahdi (memerintah tahun 775 – 785),
memerintahkan pasukan Abbasiyyah di Sindh untuk menyerang Saurashtra di sebelah
tenggara. Di hadapan salah satu pesaing di Arabia yang juga mendaku diri
sebagai Mahdi, ratu adil Islam, penyerangan itu merupakan bagian dari
pawai-tempur sang Khalifah untuk membangun pamor dan kedaulatannya sebagai
pemimpin dunia Islam. Tentara Abbasiyyah menghancurkan wihara-wihara Buddha dan
kuil-kul Jain di Valabhi. Akan tetapi, seperti halnya penaklukan Sindh oleh
Ummaiyyah, mereka tampaknya hanya menghancurkan tempat-tempat yang dicurigai
sebagai pusat perlawanan terhadap kekuasaan mereka. Bahkan di bawah Khalifah
al-Mahdi, kaum Abbasiyyah membiarkan wihara-wihara Buddha yang tersisa di
daerah kekuasaan kekaisaran mereka. Mereka lebih suka memanfaatkan
wihara-wihara tersebut sebagai sumber pemasukan. Lebih jauh lagi, al-Mahdi
terus memperluas kegiatan-kegiatan penerjemahan di Rumah Pengetahuan di
Baghdad. Ia tidak berniat menghancurkan budaya India. Alih-alih, ia ingin
mempelajarinya.
Yahya ibn Barmak, cucu laki-laki beragama Islam dari salah
satu kepala tata-usaha (Skt. pramukha, Ar. barmak) Wihara Nava,
merupakan menteri dari khalifah Abbasiyyah berikutnya, al-Rashid (memerintah
tahun 786 – 808). Di bawah pengaruhnya, sang Khalifah mengundang lebih banyak
lagi cendekiawan dan guru dari India, khususnya yang beragama Buddha, ke
Baghdad. Sebuah katalog naskah-naskah Muslim maupun non-Muslim dipersiapkan di
masa ini, Kitab al-Fihrist, yang mencakup sebuah daftar karya-karya
Buddha. Di antaranya adalah sebuah catatan berbahasa Arab tentang
kehidupan-kehidupan lampau sang Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab
al-Budd).
Di masa ini, Islam mulai naik daun di Baktria di kalangan
para pemilik tanah dan masyarakat kota terdidik golongan atas oleh karena daya
tarik kebudayaan dan pendidikan tingkat tingginya. Untuk belajar agama Buddha,
orang perlu masuk ke sebuah wihara. Wihara Nava, meski masih berjalan selama
kurun ini, terbatas dalam hal daya tampungnya dan mensyaratkan pelatihan
panjang sebelum seseorang dapat masuk untuk belajar. Di sisi lain, kebudayaan
dan pendidikan tinggi Islam lebih dapat dan siap dimasuki. Agama Buddha tetap
kuat utamanya di antara golongan petani miskin di pinggir kota, sebagian besar
dalam bentuk laku kebaktian di kuil-kuil keagamaan.
Agama Hindu juga hadir di seluruh wilayah tersebut. Saat
berkunjung di tahun 753, seorang peziarah Cina Han, Wukong (Wu-k’ung)
melaporkan adanya kuil-kuil Hindu dan Buddha khususnya di Lembah Kabul. Ketika
agama Buddha menemui senjakala di antara golongan masyarakat pedagang, agama
Hindu pun tumbuh lebih kuat.
Kaum Abbasiyyah di masa-masa awal dirongrong banyak
pemberontakan. Khalifah al-Rashid wafat pada 808 dalam perjalanan untuk
memadamkan satu pemberontakan di Samarkand, ibukota Sogdiana. Sebelum
kematiannya, ia membagi kekaisarannya untuk dua putranya. al-Ma’mun, yang
menemani ayahnya dalam pawai tempur di Sogdiana, menerima bagian sebelah timur,
termasuk Baktria. Al-Amin, yang lebih kuat dari saudaranya, menerima bagian
sebelah barat yang lebih prestisius, termasuk Baghdad dan Mekah.
Untuk memperoleh dukungan rakyat dalam upayanya mengambil
alih bagian Kekaisaran Abbasiyyah milik al-Amin, al-Ma’mun membagi-bagikan
lahan dan kekayaan di Sogdiana. Ia kemudian menyerang saudaranya. Selama
peperangan yang meruyaki kedua belah pihak Abbasiyyah ini, orang-orang Shahi
Turki dari Kabul, bersama para sekutu Tibet mereka, memadukan kekuatan dengan
para pemberontak anti-Abbasiyyah di Sogdiana dan Baktria untuk memanfaatkan
keadaan dan mencoba menggulingkan kekuasaan Abbasiyah. Menteri dan panglima
al-Ma’mun, al-Fadl, mendorong atasannya untuk menyatakan jihad, perang
suci melawan persekutuan ini untuk mengangkat pamor sang Khalifah lebih tinggi
lagi. Hanya para penguasa yang menjunjung iman murni yang boleh menyatakan
jihad untuk melawan siapapun yang menyerang Islam.
Setelah mengalahkan saudaranya, al-Ma’mun menyatakan perang jihad
ini. Pada 815, ia menaklukkan penguasa Shahi Turki, yang dikenal sebagai Shah
Kabul, dan memaksanya menjadi penganut Islam. Hal yang paling menyinggung
keyakinan Muslim adalah penyembahan berhala. Masyarakat pagan Arab yang sebelum
masa Muhammad menyembah berhala dan menyimpan patung-patung mereka di Mekah dan
tempat suci Kabah. Dalam upayanya membangun Islam, sang Nabi menghancurkan
semua patung ini. Oleh karena itu, sebagai tanda pengabdiannya, al-Ma’mun
memaksa Shah untuk mengirimkan sebuah patung Buddha emas ke Mekah. Tentunya
untuk tujuan-tujuan propaganda untuk mengamankan hak kekuasaannya, al-Ma’mun
membiarkan patung tersebut dapat dilihat oleh khalayak umum di Kabah selama dua
tahun, dengan pengumuman bahwa Allah telah membimbing Raja Tibet masuk Islam.
Orang-orang Arab keliru mengira Shah Turki dari Kabul sebagai Raja Tibet.
Padahal sebetulnya ia adalah bawahannya. Pada 817, kaum Abbasiyyah mencairkan
patung Buddha tersebut untuk dipakai sebagai bahan membuat keping emas.
Setelah keberhasilan mereka melawan kaum Shahi Turki, kaum
Abbasiyyah menyerang wilayah Gilgit, di Pakistan sebelah utara sekarang, yang
dikuasai oleh Tibet. Dalam waktu singkat, mereka pun mencaplok wilayah itu.
Mereka mengirimkan seorang komandan Tibet yang tertangkap untuk dipermalukan di
Baghdad.
Kira-kira pada masa ini, para pemimpin militer setempat di
berbagai bagian wilayah Kekaisaran Abbasiyyah mulai membangun negara-negara
Islam berdaulat, yang hubungan kekuasaannya dengan khalifah di Baghdad hanya
berupa kesetiaan nominal. Daerah pertama yang menyatakan kedaulatannya adalah
Baktria sebelah utara, tempat Panglima Tahir mendirikan Wangsa Tahiriyyah pada
819.
Karena kaum Abbasiyyah mundur dari Kabul dan Gilgit, mengalihkan
perhatian mereka pada perkara-perkara yang lebih berat ini, orang Tibet dan
Shahi Turki memperoleh kembali kendali mereka. Terlepas dari pemualafan paksa
terhadap para pemimpin di wilayah-wilayah ini, kaum Abbasiyyah tidak menindas
agama Buddha di sana. Malah, bangsa Arab memelihara perdagangan dengan Tibet di
sepanjang kurun ini.
Panglima Islam berikutnya yang menyatakan kedaulatan di
bawah Abbasiyyah adalah al-Saffar. Pada 861, penggantinya mendirikan Wangsa
Saffariyyah di Iran sebelah tenggara. Setelah merebut kendali atas wilayah Iran
yang tersisa, kaum Saffariyyah menyerang Lembah Kabul pada 870. Di ambang
kekalahannya, para penguasa Shahi Turki yang beragama Buddha dilengserkan oleh
menteri brahman mereka, Kallar. Setelah membiarkan Kabul dan Nagarahara jatuh
ke tangan Saffariyyah, Kallar membangun Wangsa Shahi Hindu di Gandhara Punjab.
Kaum Saffariyyah secara khusus merupakan para penakluk
pendendam. Mereka menjarah wihara-wihara Lembah Kabul dan Bamiyan, dan
mengirimkan patung-patung “berhala-Buddha” dari wihara-wihara tersebut sebagai
piala perang kepada sang khalifah. Pendudukan militer yang keras ini adalah
hantaman kuat pertama terhadap agama Buddha di wilayah Kabul. Kekalahan
sebelumnya dan pemualafan oleh Shah Kabul pada 815 hanya memberi riak-riak
kecil bagi keadaan umum agama Buddha di daerah itu.
Kaum Saffariyyah meneruskan pawai tempur penaklukan dan
penghancuran mereka ke arah utara, merebut Baktria dari tangan kaum Tahiriyyah
pada 873. Akan tetapi, pada 879, kaum Shahi Hindu merebut Kabul dan Nagarahara.
Mereka melanjutkan kebijakan perlindungan terhadap agama Hindu dan Buddha di
antara rakyat mereka, dan wihara-wihara Buddha di Kabul segera memperoleh
kembali kekayaan masa lampau mereka.
Ismail bin Ahmad, adipati Sogdiana dari Persia, berikutnya
menyatakan kedaulatan dan mendirikan Wangsa Samaniyyah pada 892. Ia merebut
Baktria dari tangan Saffariyyah pada 903. Kaum Samaniyyah mengusung kebijakan
kembali ke kebudayaan Iran, namun tetap bertepa-selira terhadap agama Buddha.
Selama masa pemerintahan Nasr II (memerintah tahun 913 – 942), misalnya,
pahatan patung-patung Buddha masih dibuat dan dijual di ibukota Samaniyyah,
Bukhara. Pembuatan pahatan-pahatan ini tidak dilarang, dan tidak dianggap
sebagai “berhala-Buddha”.
Kaum Samaniyyah memperbudak orang-orang suku Turki di
wilayah mereka dan mewajibkan mereka menjadi tentara. Jika para tentara ini
menjadi mualaf, mereka dimerdekakan dari status budak. Akan tetapi, kaum
Samaniyyah mengalami kesulitan dalam mempertahankan kendali atas orang-orang
ini. Pada 962, Alptigin, salah satu pemimpin militer Turki yang telah menganut
Islam, merebut Ghazna (Ghazni sekarang), selatan Kabul. Di sana, pada 976,
penerusnya, Sabuktigin (memerintah tahun 976 – 997), mendirikan kekaisaran
Ghaznawiyyah sebagai negara bawahan Abbasiyyah. Tak lama kemudian, ia merebut
Lembah Kabul dari tangan kaum Shahi Hindu, mendesak mereka kembali ke Gandhara.
Agama Buddha telah tumbuh-mekar di Lembah Kabul di bawah
kekuasaan Shahi hindu. Asadi Tusi, dalam karyanya Nama Garshasp yang
ditulis pada 1048 menggambarkan kemegahan wihara utamanya, Subahar (Wihara Su),
ketika kaum Ghaznawiyyah menyerbu Kabul. Tidak tampak bahwa kaum Ghaznawiyyah
menghancurkan wihara itu.
Pada 999, penguasa Ghaznawiyyah berikutnya, Mahmud dari
Ghazni (memerintah 998 – 1030) menjungkalkan kaum Samaniyyah, dengan bantuan
para serdadu budak Turki yang bertugas di bawah Samaniyyah. Kekaisaran
Ghaznawiyyah kini mencakup Baktria dan Sogdiana sebelah selatan. Mahmud Ghazni
juga menaklukkan sebagian besar wilayah Iran. Ia tetap memberlakukan kebijakan
Samaniyyah dalam hal mengusung kebudayaan Persia dan bertepa-selira terhadap
agama-agama non-Muslim. Al-Biruni, seorang cendekiawan dan penulis Persia yang
bekerja di istana Ghaznawiyyah, melaporkan bahwa, pada peralihan milenium,
wihara-wihara Buddha di Baktria, termasuk Wihara Nava, masih berfungsi.
Akan tetapi, Mahmud dari Ghazni tidak bertepa-selira
terhadap aliran-aliran Islam selain aliran Sunni ortodoks yang didukungnya.
Penyerangan-penyerangan yang dilakukannya atas Multan di Sindh sebelah utara
pada 1005 dan lagi pada 1010 merupakan pawai tempur melawan aliran Isma’ili
Islam Syiah yang didukung negara, yang juga didukung oleh Samaniyyah. Wangsa
Fatimiyyah Isma’ili (910 – 1171), berpusat di Mesir dari 969, adalah pesaing
utama dari kaum Abbasiyyah Sunni dalam hal kedaulatan kekuasaan atas dunia
Islam. Mahmud juga berniat menyelesaikan penggulingan kekuasaan Shahi Hindu
yang telah dimulai oleh ayahnya. Oleh karena itu, ia menyerang dan mengusir
kaum Shani Hindu dari Gandhara, dan kemudian maju dari Gandhara untuk merebut
Multan.
Selama tahun-tahun berikutnya, Mahmud memperluas
kekaisarannya dengan menaklukkan daerah-daerah ke arah timur sejauh Agra di
India sebelah utara. Penjarahan dan pengerusakan yang dilakukannya atas
kuil-kuil Hindu dan wihara-wihara Buddha kaya di sepanjang perjalanannya
merupakan bagian dari siasat penyerangannya. Sebagaimana layaknya dalam
kebanyakan peperangan, pasukan-pasukan penyerang kerap menyebabkan sebanyak
mungkin kerusakan untuk meyakinkan penduduk setempat agar menyerah, khususnya
jika mereka mengadakan perlawanan. Selama pawai tempurnya di anak-benua India,
Mahmud Ghazni membiarkan wihara-wihara Buddha di bawah kekuasaannya di Kabul
dan Baktria tetap berdiri.
Pada 1040, negara-negara Turki Seljuk, yang merupakan
bawahan Ghaznawiyyah di Sogdiana, memberontak dan membangun Wangsa Seljuk. Tak
lama, mereka merebut Baktria dan sebagian besar wilayah Iran dari tangan kaum
Ghaznawiyyah, yang mundur ke Lembah Kabul. Lambat-laun, Kekaisaran Seljuk
meluas ke Baghdad, Turki, dan Palestina. Orang-orang Seljuk merupakan “kaum
kafir” terkenal yang terhadap merekalah Paus Urbanus II menyatakan Perang Salib
Pertama pada 1096.
Dalam pemerintahannya kaum Seljuk bersifat pragmatis. Mereka
membangun pusat-pusat pendidikan Islami (madrasah) di Baghdad dan Asia
Tengah untuk mendidik pejabat-pejabat sipil untuk menangani masalah
ketata-usahaan di berbagai wilayah kekuasaan kekaisaran mereka. Mereka
bertepa-selira terhadap kehadiran agama-agama non-Islam, seperti Buddha, di
wilayah mereka. Oleh karena itu, al-Shahrastani (1076 – 1153) menerbitkan Kitab
al-Milal wa Nihal karyanya di Baghdad – sebuah naskah yang ditulis dalam
bahasa Arab tentang agama-agama dan aliran-aliran non-Muslim. Naskah itu
mengandung penjelasan sederhana tentang ajaran-ajaran Buddha dan mengulangi
catatan-catatan tangan-pertama milik al-Biruni tentang kisah satu abad
sebelumnya mengenai orang-orang India yang menerima Buddha sebagai seorang
nabi.
Banyaknya rujukan-rujukan Buddha dalam kepustakaan Persia
pada kurun waktu tersebut juga menjadi bukti atas persentuhan kebudayaan
Islam-Buddha ini. Syair-syair Persia, misalnya, kerap menggunakan perumpamaan
kiasan “seindah Nowhahar (Wihara Nava)” untuk melukiskan keindahan
istana-istana. Lagi, di Wihara Nava dan Bamiyan, patung-patung Buddha,
khususnya Maitreya, Buddha masa depan, digambarkan memiliki cakram bulan di
belakang kepala mereka. Pencitraan ini berujung pada pelukisan puitis atas
keindahan murni, yang diumpamakan sebagai seseorang yang memiliki “wajah Buddha
yang berbentuk rembulan”. Oleh karena itu, syair-syair Persia abad ke-11,
seperti Varge dan Golshah karya Ayyuqi, menggunakan kata bot
dengan makna positif untuk “Buddha”, bukan dengan makna kedua “berhala”, yang
terkesan merendahkan. Ungakapan ini menyiratkan keindahan tuna-kelamin yang
sempurna bagi pria maupun wanita. Rujukan-rujukan semacam itu menunjukkan bahwa
baik wihara maupun patung-patung Buddha terdapat di wilayah-wilayah kebudayaan
Iran ini setidaknya sampai kurun Mongol awal di abad ke-13. Atau, sedikitnya
dapat dinyatakan bahwa warisan Buddha yang kuat tetap bertahan selama
berabad-abad di antara umat Buddha di sana yang telah berpindah ke agama Islam.
Wangsa Qaraqitan dan Ghuriyyah
Pada 1141, kaum Qaraqitan, masyarakat berbahasa Mongol yang
menguasai Turkistan Timur dan Turkistan Barat sebelah utara, mengalahkan kaum
Seljuk di Samarkand. Penguasa mereka, Yelu Dashi, mencaplok Sogdiana dan
Baktria ke dalam kekaisarannya. Kaum Ghaznawiyyah masih menguasai wilayah dari
Lembah Kabul ke arah timur. Kaum Qaraqitan menganut perpaduan antara ajaran
Buddha, Tao, Konghucu, dan budaya perdukunan. Akan tetapi, Yelu Dashi amat
sangat bertepa-selira dan melindungi semua agama di wilayahnya, termasuk Islam.
Pada 1148, Ala-ud-Din dari suku-bangsa pengembara Turki Guzz
dari pegunungan Afghanistan tengah merebut Baktria dari kaum Qaraqanitan dan
membangun Wangsa Ghuriyyah. Pada 1161, ia beranjak merebut Ghazna dan Kabul
dari Ghaznawiyyah. Ia menunjuk saudaranya, Muhammad Ghori, menjadi adipati
Ghazna pada 1173 dan mendorongnya untuk menyerbu anak-benua India.
Seperti Mahmud Ghazni sebelum dirinya, Muhammad Ghori
pertama sekali pada 1178 merebut kerajaan Multan Isma’ili di Sindh sebelah
utara, yang telah memperoleh kembali kemerdekaannya dari kekuasaan
Ghaznawiyyah. Ia kemudian maju untuk menaklukkan seluruh daerah Punjab Pakistan
dan India utara dan, setelah itu, Dataran Gangga, sampai sejauh Bihar dan
Benggali Barat sekarang. Selama masa pawai tempurnya ini, ia menjarah dan
menghancurkan banyak wihara-wihara Buddha, termasuk Vikramashila dan Odantapuri
pada 1200. Ini karena Sena, raja daerah itu, mengalih-gunakan kedua wihara
tersebut menjadi garnisun tempur dalam upaya menghadang serangan pasukan musuh.
Para pemimpin Ghuriyyah mungkin telah menyuntikkan paham dan
semangat keagamaan ke dalam diri para serdadu mereka, sama dengan yang
dilakukan negara manapun dengan propaganda politik atau kepahlawanan. Akan
tetapi, tujuan utama mereka, selayaknya hampir semua penakluk, adalah untuk
memperoleh wilayah, kekayaan, dan kekuasaan. Oleh karena itu, kaum Ghuriyyah
hanya menghancurkan wihara-wihara yang terletak di sepanjang garis depan
serangan mereka. Wihara Nalanda dan Bodh Gaya, misalnya, berkedudukan di luar
jalur utama serangan. Maka dari itu, ketika penerjemah Tibet, Chag Lotsawa
berkunjung pada 1235, ia mendapati kedua wihara tersebut rusak dan dijarah,
tapi masih berfungsi dengan sejumlah kecil biksu. Wihara Jagaddala di Benggali
sebelah utara malah tidak tersentuh sama sekali dan tetap berkembang baik.
Lebih jauh lagi, kaum Ghuriyyah tidak berniat menaklukkan
Kashmir dan memualafkan umat Buddha di sana. Kashmir miskin pada saat itu, dan
wihara-wiharanya hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki
kekayaan untuk dirampas. Lebih lagi, kaum Ghuriyyah tidak membayar atau
menyediakan pasokan bagi para panglima dan adipati. Mereka diharapkan dapat
menyokong diri dan serdadu mereka sendiri dari hasil-hasil yang diperoleh di
wilayah taklukan. Kalau para adipati secara paksa memualafkan setiap orang di
bawah kekuasaan mereka, mereka tidak bisa memanfaatkan sebagian besar dari
penduduk setempat sebagai sumber pajak tambahan. Oleh karena itu, seperti di
Afghanistan, kaum Ghuriyyah tetap mempertahankan kebiasaan lampau dalam hal
pemberian status dhimmi bagi umat non-Muslim di India dan memungut pajak
perseorangan dari para jizya tersebut.
Pada 1215, Chinggis (Genghis) Khan, pendiri Kekaisaran
Mongol, merebut Afghanistan dari tangan kaum Ghuriyyah. Seperti kebijakan yang
diberlakukannya di tempat manapun, Chinggis menghancurkan siapa saja yang
menentang penaklukannya dan meluluh-lantakkan tanah-tanah mereka. Tidak jelas
bagaimana sisa-sisa ajaran Buddha masih berlanjut di Afghanistan pada masa ini.
Chinggis bertepa-selira terhadap semua agama, selama para pemimpinnya mendoakan
umur panjang dan keberhasilan tempur baginya. Pada 1219, misalnya, ia memanggil
seorang guru Tao terpandang dari Cina ke Afghanistan untuk mengadakan
upacara-upacara demi umur panjang dan untuk menyiapkan ramuan hidup
abadibaginya.
Setelah kematian Chinggis pada 1227 dan pembagian
kekaisarannya kepada para ahli warisnya, putranya Chagatai mewarisi kekuasaan
di Sogdiana dan Afghanistan dan membangun Kekhaganan Chagatai. Pada 1258,
Hulegu, cucu laki-laki Chinggis, menaklukkan Iran dan melengserkan Kekhalifahan
Abbasiyyah di Baghdad. Ia mendirikan Kerajaan Ilkhan (garis kerajaan ini
disebut juga Wangsa Ilkhaniyyah) dan segera saja mengundang para biksu Buddha
dari Tibet, Kashmir, dan Ladakh ke istananya di Iran sebelah barat laut.
Ilkhaniyyah lebih kuat dari Kekhaganan Chagatai dan, pada awalnya, menguasai
para sepupunya di sana. Karena para biksu Buddha harus melewati Afghanistan
dalam perjalanan mereka ke Iran, mereka tentunya menerima dukungan resmi dalam
perjalanan mereka.
Menurut beberapa cendekiawan, para biksu Tibet yang datang
ke Iran kemungkinan besar berasal dari Aliran Drigung (Drikung) Kagyu dan
alasan Hulegu mengundang mereka boleh jadi merupakan alasan politis. Pada 1260,
sepupunya Khubilai (Kublai) Khan, penguasa Mongol atas Cina sebelah utara,
menyatakan diri sebagai Khan Agung dari semua bangsa Mongol. Khubilai mendukung
agama Buddha Tibet Aliran Sakya dan memberikan para pemimpinnya kekuasaan
mutlak di atas Tibet. Sebelumnya, para pemimpin Drigung Kagyu memiliki
kedudukan politik tinggi di Tibet. Pesaing utama Khubilai adalah sepupunya yang
lain, Khaidu, yang menguasai Turkistan Timur dan mendukung garis Drigung Kagyu.
Hulegu mungkin berniat untuk merapatkan diri ke Khaidu dalam persaingan
kekuasaan ini.
Ada juga yang menduga bahwa alasan Khubilai dan Khaidu
beralih ke aliran Buddha Tibet adalah untuk memperoleh sokongan gaib Mahakala,
pelindung Buddha yang dipraktikkan oleh aliran Sakya dan Kagyu. Mahakala telah
menjadi pelindung kaum Tangut, yang memerintah wilayah di antara Tibet dan
Mongolia. Lagi pula, kakek mereka, Chinggis Khan, terbunuh dalam pertempuran
dengan kaum Tangut, yang pastinya telah menerima pertolongan gaib. Kecil
kemungkinan bahwa para pemimpin Mongol tersebut, termasuk Hulegu, memilih
aliran Buddha Tibet karena ajaran-ajaran filsafatnya yang mendalam.
Setelah kematian Hulegu pada 1266, Kekhaganan Chagatai
menjadi lebih merdeka dari kaum Ilkhan dan membentuk persekutuan langsung
dengan Khaidu dalam perjuangannya melawan Khubilai Khan. Sementara itu, para
penerus Hulegu berganti-gantian mendukung aliran Buddha Tibet dan Islam, yang
rupa-rupanya juga didasari alasan keuntungan politik. Putra Hulegu, Abagha,
melanjutkan dukungan ayahnya terhadap aliran Buddha Tibet. Akan tetapi,
Takudar, saudara laki-laki Abagha, yang menggantikannya pada 1282, menjadi
mualaf untuk memperoleh dukungan rakyat setempat saat ia menyerang dan menaklukkan
Mesir. Putra Abagha, Arghun, mengalahkan pamannya dan menjadi Ilkhan pada 1284.
Ia membuat Buddha menjadi agama negara Iran dan mendirikan beberapa wihara di
sana. Ketika Arghun wafat pada 1291, adiknya Gaihatu menjadi Ilkhan. Para biksu
Tibet memberikan nama Tibet Rinchen Dorje bagi Gaihatu, namun ia merupakan
seorang pemabuk bobrok dan bukan satu contoh baik untuk agama Buddha. Ia
memperkenalkan uang kertas ke Iran dari Cina, yang menyebabkan terjadinya
bencana ekonomi di sana.
Gaihatu meninggal pada 1295, satu tahun setelah wafatnya
Khubilai Khan. Putra Arghun, Ghazan, mewarisi tahta. Ia menyatakan kembali
Islam sebagai agama resmi Wangsa Ilkhaniyyah dan menghancurkan wihara-wihara
Buddha baru di sana. Beberapa cendekiawan menyatakan bahwa berpalingnya Ghazan
Khan dari kebijakan keagamaan ayahnya adalah untuk membatasi diri dari
reformasi dan keyakinan pamannya, dan untuk menyatakan kemerdekaannya dari Cina
Mongol.
Terlepas dari perintahnya untuk menghancurkan wihara-wihara
Buddha, tampaknya Ghazan Khan tidak berniat untuk menghancurkan segala sesuatu
yang berhubungan dengan ajaran Buddha. Contohnya, ia menugaskan Rashid al-Din
untuk menulis Sejarah Semesta (Ar. Jami’ al-Tawarikh ), dengan
corak Persia dan Arab. Di bagian sejarah kebudayaan bangsa-bangsa taklukan
Mongol dari kitab tersebut, Rashid al-Din menyertakan Kisah Hidup dan Ajaran
Buddha . Untuk membantu si sejarawan ini dalam penelitiannya, Ghazan Khan
mengundang seorang biksu Buddha dari Kashmir, Bakshi Kamalshri, ke istananya.
Seperti karya sebelumnya yang ditulis oleh al-Kermani, karya Rashid menyajikan
ajaran Buddha dalam istilah-istilah yang dengan mudah dapat dipahami oleh umat
Muslim; contohnya, dengan menyebut Buddha sebagai Nabi, dewa sebagai
ilah dan malaikat, dan Mara sebagai Setan.
Rashid al-Din melaporkan bahwa di masanya, sebelas naskah
Buddha dalam terjemahan Arabnya beredar di Iran; termasuk naskah-naskah
Mahayana seperti Sutra tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavativyuha
Sutra , mengenai Tanah Suci Murni Amitabha), Sutra tentang Larik Bagai
keranda (Skt. Karandavyuha Sutra , mengenai Avalokiteshvara,
perwujudan welas asih) dan Suatu Karangan tentang Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana
, mengenai Maitreya, Buddha masa depan dan perwujudan kasih). Naskah-naskah ini
tentunya merupakan bagian dari naskah-naskah yang diterjemahkan di bawah
perlindungan para khalifah Abbasiyyah di Rumah Pengetahuan di Baghdad yang
dimulai pada abad ke-8.
Rashid al-Din menyelesaikan buku sejarahnya pada 1305,
selama masa pemerintahan Oljaitu, penerus Ghazan. Akan tetapi, tampaknya
biksu-biksu Buddha masih ada di Iran setidaknya sampai pada kematian Oljaitu
pada 1316, karena para biksu mencoba namun gagal untuk mengajak pemimpin Mongol
kembali ke ajaran Buddha. Oleh karenanya, setidaknya sampai saat itu, para
biksu Buddha masih bolak-balik melewati Afghanistan dan mungkin pula masih
disambut di istana Chagatai.
Pada 1321, Kekaisaran Chagatai terbagi jadi dua. Kekhaganan
Chagatai Barat mencakup Sogdiana dan Afghanistan. Sudah sejak awal, para
khannya berpindah agama menjadi Islam. Wangsa Ilkhaniyyah di Iran pecah dan
runtuh pada 1336. Setelah ini, tidak ada lagi tanda bagi berlanjutnya kehadiran
ajaran Buddha di Afghanistan. Ajaran tersebut telah bertahan di sana selama
hampir seribu sembilan ratus tahun. Akan tetapi, pengetahuan tentang ajaran
Buddha tidak padam. Timur (Tamerlaine) menaklukkan Kekhaganan Chagatai Barat
pada 1364 dan kemudian menaklukkan negara-negara kecil penerus Ilkhaniyyah pada
1385. Putra dan penerus Timur, Shah Rukh, menugaskan sejarawan Hafiz-I Abru
untuk menulis dalam bahasa Persia Kumpulan Sejarah (Ar. Majma’
al-Tawarikh ). Selesai dikerjakan pada 1425 di Herat, ibukota Shahrukh di
Afghanistan, kitab sejarah itu mengandung sebuah catatan tentang ajaran Buddha
yang didasarkan pada karya Rashid al-Din seabad sebelumnya.
Sumber :
history_afghanistan_buddhism.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^