Mari tenang dengan memusatkan perhatian pada nafas. Jika
cita kita amat terusik, kita boleh menghitung nafas – hela, hirup, satu; hela,
hirup; dua – sampai sebelas sebanyak beberapa kali. Jika cita kita cenderung
lebih tenang, tak perlu menghitung. Kita bisa memusatkan perhatian hanya pada
kesan nafas masuk dan keluar dari hidung.
Lalu kita tegaskan kembali dorongan kita. Di Barat, motivasi
tampaknya dipahami dengan makna ‘alasan-alasan kejiwaan dan perasaan untuk
mengerjakan sesuatu’. Tapi bukan itu arti kata bahasa Tibet ‘ dun-pa.
Maknanya lebih ke ‘tujuan’, hal yang ingin kita capai. Sasaran atau tujuan kita
datang ke sini dan mendengarkan ceramah ini adalah untuk memperoleh gambar yang
lebih jernih tentang Bon dan hubungannya dengan ajaran Buddha. Kita
melakukannya supaya kita dapat mengikuti jalan manapun yang telah kita masuki,
baik Bon ataupun Buddha, dengan lebih jernih dan tanpa pandangan picik. Ini
supaya kita dapat mencurahkan perhatian pada jalan kerohanian untuk mencapai
pencerahan agar bermanfaat bagi setiap orang. Kita tegaskan kembali tujuan ini.
Kemudian kita putuskan untuk sungguh-sungguh untuk
mendengarkan dengan penuh perhatian. Persis seperti kita membuat keputusan
serupa sebelum bermeditasi, hal itu penting pula dilakukan sebelum memulai
kuliah, kerja, atau kegiatan apapun. Kita putuskan bahwa kalau perhatian kita
melalak, kita akan bawa ia kembali dan kalau kita mengantuk kita akan mencoba
membangunkan diri, agar kita dapat menyerap sepenuhnya manfaat dari hadir di
sini. Kita putuskan itu dengan sungguh-sungguh.
Malam ini saya telah diminta untuk bicara tentang aliran Bon
dan hubungannya dengan ajaran Buddha. Ketika Yang Mulia Dalai Lama bicara
tentang aliran-aliran Tibet, beliau kerap mengacu pada lima aliran Tibet:
Nyingma, Kagyu, Sakya, Gelug, dan Bon. Dari sudut pandang Yang Mulia, Bon punya
tempat yang setara dengan empat silsilah Buddha Tibet. Yang Mulia berpikiran
begitu lapang. Tidak setiap orang setuju dengan cara berpendirian semacam itu.
Telah dan masih ada begitu banyak pikiran-pikiran aneh tentang Bon di antara
para guru Buddha. Dalam sudut pandang ilmu kejiwaan Barat, ketika orang mencoba
begitu keras untuk menekankan hal-hal positif dalam kepribadian mereka sebelum
mereka betul-betul telah menyelesaikan segala perkara pada tataran yang
mendalam, maka sisi bayangan diarahkan pada sosok musuh. “Kitalah orang baik
yang berada di jalan murni yang benar dan merekalah yang jahat.” Sayangnya,
para Bonpo (penganut Bon – penerj.) sejak dahulu telah menjadi sasaran
pengkambing-hitaman ini dalam sejarah Tibet. Kita akan melihat alasan-alasan
sejarawinya. Hal ini tentunya perlu dipahami dalam lingkung sejarah politis
Tibet.
Sudah jadi kenyataan bahwa Bon telah menerima banyak
pewaraan negatif dan citra buruk di Tibet sendiri. Orang-orang Barat sering
tertarik pada perbalahan, seolah sesuatu yang menerima citra buruk itu lebih
menarik. Aliran-aliran yang lain itu lurus dan membosankan. Gagasan yang sama
saja anehnya: Bon lebih eksotis dibanding Buddha Tibet. Beberapa orang Barat
melihatnya sebagai medan tempat mereka bisa menemukan sihir, hal-hal sejenis
Lobsang Rampa seperti mengebor kening orang untuk membuka mata ketiga mereka.
Tak satupun pandangan itu tepat. Kita perlu mencoba mendapatkan cara pandang
yang lebih seimbang dan melihat Bon dengan rasa hormat, seperti yang dilakukan
Yang Mulia. Penting bagi kita untuk memahami sejarah Tibet untuk melihat
bagaimana pandangan negatif terhadap Bon berkembang dan untuk melihat bagaimana
pendekatannya pada pengembangan kerohanian itu berhubungan dengan Buddha Tibet.
Menurut aliran Bon sendiri, Shenrab Miwo, yang hidup tiga
puluh ribu tahun yang lalu, adalah pendiri aliran tersebut. Angka itu
menempatkannya di suatu masa di Zaman Batu. Saya tidak berpikir bahwa ini
berarti ia adalah manusia gua. Cara umum untuk menunjukkan rasa hormat yang
hebat pada sebuah silsilah adalah dengan mengatakan bahwa silsilah tersebut
kuno (dalam pengertian positif – penerj.). Bagaimanapun juga, tahun
pasti rentang hidupnya tak mungkin dibuktikan. Shenrab Miwo hidup di
Omolungring. Penggambaran tempat ini tampaknya merupakan percampuran berbagai
gagasan tentang Shambhala, Gn. Meru, dan Gn. Kailash -- penggambaran tentang
sebuah tanah kerohanian yang sempurna. Dikatakan bahwa tempat itu berada di
sebuah kawasan yang lebih luas, yang disebut Tazig. Kata “Tazig” dapat dijumpai
baik dalam bahasa Persia maupun Arab; kata itu mengacu pada keduanya: tanah
Persia dan tanah Arab. Dalam lingkung yang lain, kata tersebut mengacu pada
sebuah suku pengelana. Dalam aliran Bon, Tazig digambarkan berada di sebelah
barat kerajaan Zhang-zhung, yang terletak di Tibet Sebelah Barat.
Ini menyarankan bahwa Bon datang dari Asia Tengah, dan
mungkin dari suatu wilayah kebudayaan Iran. Mungkin bahwa Shenrab Miwo tinggal
dalam budaya Iran kuno dan kemudian datang ke Zhang-zhung. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa ia datang ke Zhang-shung di suatu masa antara abad ke-11 dan
ke-7 SM. Itu waktu yang sudah lama sekali dan, sekali lagi, tidak ada cara
untuk membuktikan mana yang benar. Yang jelas adalah bahwa pada masa pendirian
Wangsa Yarlung di Tibet Tengah (127 SM.) sudah ada aliran kepercayaan pribumi.
Kita bahkan tidak tahu apa nama alirannya pada masa itu.
Kaitannya dengan Iran sangat menarik. Ada banyak sekali
terkaan tentang hal ini. Ini harus dilihat tidak hanya dari sudut pandang Bon, tapi
dari sudut pandang Buddha pula. Ada sejumlah besar bahan yang sama antara Bon
dan ajaran Buddha. Para Bonpo berkata bahwa penganut Buddha mendapatkannya dari
mereka dan penganut Buddha berkata bahwa para Bonpo-lah yang memperolehnya dari
mereka. Masing-masing pihak mendaku sebagai sumbernya. Ini sebuah soalan yang
pelik untuk diputuskan. Bagaimana kita bisa tahu?
Ajaran Buddha beranjak dari India ke Afghanistan sejak awal
sekali. Kenyataannya, dua dari murid Buddha sendiri konon berasal dari Afghanistan
dan membawa ajaran Buddha kembali ke sana. Pada abad pertama dan kedua SM,
ajaran Buddha memang menyebar sampai ke Iran dan terus sampai ke Asia Tengah.
Ajaran Buddha dulu ada di sana. Kalau Bon berkata bahwa gagasan-gagasan yang
tampak sangat mirip dengan apa yang Buddha ajarkan itu datang dari sebuah
wilayah Persia ke Tibet Sebelah Barat selama suatu kurun jauh sebelum gagasan
itu datang langsung dari India, agaknya mungkin bahwa itu berasal dari sebuah
percampuran antara ajaran Buddha dan gagasan kebudayaan Iran setempat yang ada
di wilayah tersebut. Wilayah yang tampak sebagai sumber paling nalariah bagi
gagasan-gagasan Buddha Iran adalah Khotan.
Khotan ada di utara Tibet Sebelah Barat. Seperti yang Anda
ketahui, Tibet merupakan dataran yang amat tinggi dengan banyak gunung. Kalau
kita beranjak lebih jauh ke utara, ke ujung dari dataran tinggi itu, ada
bentangan gunung lain, kemudian di balik gunung itu ada sebuah gurun di bawah
permukaan laut di Turkistan timur, yang sekarang disebut provinsi Xinjiang,
Cina. Khotan ada di kaki pegunungan itu, tepat sebelum kita memasuki daerah
gurun. Daerah itu dulu merupakan sebuah wilayah kebudayaan Iran; orang-orangnya
berasal dari Iran. Khotan adalah pusat ajaran Buddha dan pusat niaga yang luar
biasa. Khotan telah mencetak dampak kebudayaan yang berarti bagi Tibet, walau
orang-orang Tibet meremehkan hal ini dan mengatakan bahwa segalanya berasal
dari India entahpun Cina.
Bahkan tata tulis Tibet berasal dari abjad Khotan. Kaisar
Tibet, Songtsen-gampo mengutus seorang menteri ke Khotan untuk mendapatkan satu
tata tulis bagi bahasa Tibet. Jalur niaga ke Khotan terbentang melalui Kashmir,
dan sebagaimana terjadi, guru besar dari Khotan yang mereka harap dapat mereka
temui ternyata ada di sana. Jadi, para utusan itu memperoleh tata tulis darinya
di Kashmir, dan jadilah ceritanya bahwa mereka mendapatkan tata tulis itu dari
Kashmir. Kalau kita telaah tata tulis tersebut, kita dapat lihat bahwa
sebetulnya tata itu berasal dari Khotan. Tentu, tata tulis Khotan aslinya
berasal dari India. Tapi pokok pentingnya adalah bahwa ada banyak persentuhan
budaya dengan Khotan.
Kita dapat lihat bahwa sajian pendapat yang dibuat aliran
Bon ini sangat masuk akal. Tentu saja bisa jadi Bon berasal dari Khotan. Dari
sudut pandang ini, kita dapat katakan bahwa ajaran Buddha datang ke Tibet dari
dua arah: dari Khotan atau wilayah-wilayah kebudayaan Iran ke Tibet Sebelah
Barat dan kemudian lebih belakangan dari India. Dalam hal yang pertama, ajaran
Buddha bisa jadi datang dalam bentuk Bon yang mula. Agaknya mungkin bahwa
ajaran Buddha, dan khususnya dzogchen, berasal dari kedua pihak dan bahwa
masing-masing pihak saling pinjam. Itu yang mungkin lebih dekat dengan
kebenarannya.
Satu unsur Bon yang berasal dari kepercayaan kebudayaan Iran
adalah catatan tentang bagaimana semesta berkembang. Ajaran Buddha punya
ajaran-ajaran abhidharma tentang Gn. Meru dan seterusnya, tapi itu bukan
satu-satunya penjelasan. Ada juga penjelasan Kalacakra, yang berbeda tipis.
Naskah-naskah Bon juga mengandung penjelasan abhidharma, persis seperti dalam
ajaran Buddha, tapi naskah-naskah tersebut memiliki penjelasan khasnya sendiri
dengan segi-segi tertentu yang agaknya tampak seperti berasal dari gagasan
Iran, seperti kosokbali antara terang dan gelap. Beberapa cendekiawan Rusia
telah melihat kemiripan-kemiripan antara nama-nama Tibet dan Persia kuno untuk
berbagai dewa dan sosok. Kaitan dengan Iran inilah yang sedang mereka
tunjukkan.
Yang agak khas dari Bon masa mula adalah penekanan pada
kehidupan setelah mati, khususnya pada tataran dalam-antara. Ketika para raja
wafat, mereka pergi ke alam baka. Karena mereka membutuhkan berbagai hal untuk
perjalanan mereka, ada dibuat pengurbanan hewan, dan mungkin juga bahkan
pengurbanan manusia, walau itu masih bisa diperbantahkan lagi. Yang pasti,
mereka mengubur gambar-gambar, makanan dan semua hal yang akan dibutuhkan
seseorang dalam perjalanannya ke alam kehidupan setelah kematian.
Agaknya menarik untuk dicatat bahwa ajaran Buddha Tibet
mengambil penekanan pada tataran dalam-antara ini. Ada penyebutan tentang bardo
(arus kesadaraan antara kematian dan kelahiran kembali – penerj.) dalam
ajaran Buddha Inida tapi hanya sedikit saja ditekankan di sana, sementara ada
banyak laku upacara bardo dalam ajaran Buddha Tibet. Kita dapat menjumpai
penekanan pada persiapan dari kehidupan setelah mati dalam budaya Persia kuno
juga. Satu-satunya segi dari Bon masa mula yang dapat sungguh-sungguh kita
bicarakan dengan pasti adalah laku upacara penguburan dan hal yang dijumpai di
permakaman menunjukkan kepercayaan atas kehidupan setelah mati itu. Di luar
itu, yang ada hanyalah terkaan. Kita dapat benar-benar menelaah pusara kubur
para raja kuno.
Pengaruh Zhang-zhung beranjak sampai ke wilayah Yarlung dari
Tibet tengah dan berlangsung dari masa-masa paling awal sampai ke pendirian
kekaisaran Tibet pertama oleh Songsten-gampo. Ia membuat persekutuan dengan
menikahi putri-putri dari berbagai negara. Sangat luas diketahui bahwa ia
menikahi seorang putri dari Cina dan seorang lagi dari Nepal. Akan tetapi, ia
juga menikahi seorang putri dari Zhang-zhung. Alhasil, Kaisar Tibet pertama ini
dipengaruhi oleh tiap-tiap budaya ini.
Ajaran-ajaran lengkap Buddha tidak mencapai Tibet selama
kurun paling awal ini dan pengaruhnya sungguh sangat kecil. Akan tetapi, sang
Kaisar memang membangun kuil-kuil Buddha di berbagai ‘ titik-titik tenaga’.
Tibet dipandang sebagai sesosok roh jahat betina yang terbaring telentang dan
ketika itu ada pemikiran bahwa dengan membangun kuil-kuil di berbagai titik
totok-jarum daya-daya jahat si roh jahat akan dapat ditundukkan. Melihat
berbagai hal dalam kerangka titik-titik totok-jarum, menundukkan kuasa roh
jahat dan seterusnya, itu mirip sekali dengan budaya Cina. Inilah bentuk ajaran
Buddha yang hadir di Tibet kala itu. Yang penting di sini adalah bahwa,
meskipun Kaisar Songtsen-gampo mengangkat ajaran Buddha, ia mempertahankan laku
upacara penguburan Bon yang dilaksanakan di Yarlung sebelum dirinya. Ini tentunya
didorong oleh ratunya yang berasal dari Zhang-zhung. Maka, laku upacara
penguburan, dengan pengurbanan dan seterusnya, terus berlanjut sampai kurun
Buddha yang mula ini.
Sekitar tahun 760, Kaisar Songdetsen mengundang Guru
Rinpoche, Padmasambhava, dari India. Mereka membangun wihara pertama, Samyay,
dan memulai tradisi kewiharaan. Mereka punya sebuah jawatan penerjemahan di
Samyay untuk menerjemahkan naskah-naskah bukan hanya dari bahasa-bahasa India
dan Cina, tapi juga dari Zhang-zhung, yang rupa-rupanya telah menjadi sebuah
bahasa tulis di kala itu. Ada dua tata tulis Tibet. Tata cetak adalah tata yang
didapat Kaisar Songtsen-gampo dari Khotan. Menurut penelitian beberapa
cendekiawan besar, seperti Namkhai Norbu Rinpoche, Zhang-zhung memiliki tata
tulis yang lebih awal, yang merupakan landasan bagi bentuk tulis-tangan dari
tata tulis Tibet. Di Samyay, mereka menerjemahkan naskah-naskah Bon, agaknya
tentang penguburan dan seterusnya, dari bahasa Zhang-zhung dalam aksaranya sendiri
ke bahasa Tibet.
Ada sebuah adu pendapat terkenal antara ajaran Buddha India
dan Cina di Samyay, lantas sebuah dewan keagamaan dibentuk dan, pada tahun 779,
ajaran Buddha dinyatakan sebagai agama negara Tibet. Tak diragukan lagi,
terdapat banyak pertimbangan politis yang terlibat. Tak lama berselang, pada
784, terjadi penindasan terhadap golongan Bon. Di sinilah rasa permusuhan
bermula. Ini penting untuk diurai. Apa yang sebetulnya terjadi?
Dalam istana kerajaan ada sebuah golongan pendukung-Cina,
sebuah golongan pendukung-India, dan sebuah golongan pribumi amat-sangat kolot
yang benci pada orang atau budaya asing. Ayah Kaisar Tri Songdetsen telah
menikahi seorang ratu Cina yang memiliki banyak pengaruh dan alhasil ayahnya
itu bersikap mendukung Cina dalam berbagai kebijakannya. Golongan yang kolot
tadi membunuh ayah Kaisar Tri Songdetsen itu. Saya pikir ini adalah salah satu
alasan mengapa Cina kalah dalam adu pendapat tersebut.Mereka sama sekali tak
mungkin memenangkan adu pendapat itu. Cina tak memiliki pengalaman
turun-temurun dalam adu pendapat dan mereka diadu dengan para jago silat-lidah
terbaik di India. Bahasa mereka tidak sama, jadi apa bahasa yang mereka gunakan
saat saling beradu pendapat? Semuanya diterjemahkan. Tentu, adu pendapat itu
merupakan sebuah gerakan politis untuk menyingkirkan golongan Cina. Karena
Cina, ayah dari Kaisar telah dibunuh. Nah, selain itu, sang raja ingin pula
menyingkirkan golongan anti-asing. Golongan India merupakan golongan yang
paling tidak mengancam kekuasaan politis sang Kaisar. Jadi, golongan politis
kolot tadi dibuang ke pengasingan. Mereka itulah para Bonpo.
Yang membingungkan adalah ketika orang berkata bahwa para
Bonpo melakukan laku upacara penguburan di dalam istana. Mereka itu bukanlah
para Bonpo yang dibuang ke pengasingan. Para Bonpo yang diasingkan adalah para
menteri dan tokoh politis kolot yang diusir ini. Menariknya, laku-upacara
penguburan dan pengurbanan terus berlanjut di dalam istana bahkan setelah
pengasingan mereka. Untuk memperingati sebuah perjanjian dengan Cina yang
ditandatangani pada 821, sebuah tonggak yang menggambarkan upacara-upacara itu
didirikan. Mereka mengurbankan hewan. Walau mereka tidak lagi melaksanakan
penguburan kerajaan, masih ada beberapa pengaruh di sana. Saya pikir agaknya
penting untuk menyadari bahwa rasa permusuhan antara umat Buddha dan Bon
sesungguhnya merupakan suatu hal politis; bukan benar-benar karena agama atau
laku-upacara.
Golongan kolot dikirim ke dua wilayah. Yang satu adalah
Yunnan, di wilayah baratdaya Cina sekarang, utara Burma, dan yang lain di
Gilgit di baratlaut Pakistan, sangat dekat dengan tempat asal Guru Rinpoche.
Bisa kita simpulkan bahwa para Bonpo mungkin mendapatkan beberapa ajaran
tentang dzogchen dari wilayah itu, tempat Guru Rinpoche menerima ajaran-ajaran
itu juga, dan bahwa mereka boleh jadi telah membawa ajaran-ajaran itu kembali
ke Tibet kemudian, terlepas dari Guru Rinpoche. Ada banyak kemungkinan
penjelasan untuk ajaran dzogchen yang dilaksanakan Bon terpisah dari ajaran Buddha
yang berasal dari Guru Rinpoche. Ini bukan cuma soal ada yang berkata demikian
dan maka itu benar. Orang harus melihat sejarahnya.
Banyak naskah-naskah Zhang-zhung dikubur pada masa
pengasingan, ditaruh ke dalam dinding-dinding lumpur wihara Samyay oleh seorang
guru besar bernama Drenpa-namka. Guru Rinpoche juga mengubur naskah-naskah pada
saat yang sama, karena ia merasa waktunya belum matang, orang-orang belum cukup
canggih untuk memahami isi naskah-naskah tersebut. Ia hanya mengubur
naskah-naskah dzogchen. Para Bonpo mengubur semua ajaran-ajaran Bon, termasuk
dzogchen. Jadi, walau para Bonpo dan penganut Nyingma mengubur naskah-naskah
pada saat yang sama, alasan atas tindakan tersebut dan naskah-naskah yang
dikubur agak berbeda.
Kaisar Tibet berikutnya, Relpachen, merupakan seorang
fanatik. Ia menitahkan bahwa tujuh rumahtangga masing-masing harus menyokong
hidup satu biksu. Sejumlah besar pajak dialihkan untuk menyokong wihara-wihara.
Para biksu dalam dewan keagamaan punya kuasa politik luar biasa besar. Kaisar
berikutnya, Langdarma, digambarkan sebagai iblis karena ia menindas dewan
keagamaan dan menghentikan aliran pajak masuk ke wihara-wihara. Ia membubarkan
wihara-wihara, tapi ia tidak meratakan perpustakaan-perpustakaannya. Kita
mengetahui hal ini karena ketika Atisha datang ke Tibet pada abad ke-11, ia
berucap tentang betapa menakjubkan perpustakaan-perpustakaan itu. Langdarma
pada dasarnya menghentikan lembaga-lembaga kewiharaan karena mereka menjadi
terlalu kuat secara politis. Jadi, ada masa ketika wihara-wihara ditelantarkan.
Naskah-naskah Bon yang terkubur di Samyay pertama sekali
ditemukan pada 913. Beberapa gembala menginap di wihara itu dan ketika mereka
bersandar ke dinding, dinding itu runtuh, menyingkap beberapa naskah yang
tersimpan di dalamnya. Setumpuk besar naskah-naskah Bon ditemukan sekitar satu
abad kemudian oleh seorang guru besar Bon bernama Shenchen Luga. Pada 1017, ia
menyusun ulang naskah-naskah itu. Naskah-naskah tersebut kebanyakan merupakan
bahan tan-dzogchen, mencakup apa yang akan kita sebut sebagai ajaran-ajaran
yang serupa dengan Buddha Tibet. Baru setelah inilah penganut Nyingma mulai
menemukan naskah-naskah di Samyay dan wihara-wihara lainnya. Sejumlah guru
menemukan baik naskah-naskah Bon maupun Nyingma, dan kerap kali di tempat yang
sama. Naskah-naskah Nyingma kebanyakan tentang dzogchen. Kita berada pada alas
sejarawi yang lebih padu ketika kita menimbang tentang tahap baru Bon, tahap
lama adalah sebelum pengasingan dan penguburan naskah-naskah.
Kita dapati bahwa ada sejumlah besar kesamaan dengan
aliran-aliran Buddha Tibet. Ini mengapa Yang Mulia menyebut Bon salah satu dari
lima aliran. Para Bonpo tidak akan menyukainya, tapi kita bisa menyebutnya
bentuk lain dari ajaran Buddha Tibet. Ini tergantung pada cara kita memahami
arti sebuah aliran Buddha. Sebagian besar peristilahannya sama. Bon bicara
tentang pencerahan, pemerolehan pencerahan, para Buddha, dan seterusnya. Beberapa
istilah tertentu berbeda, seperti halnya nama-nama berbagai dewata, tapi
ajaran-ajaran dasarnya sama. Ada beberapa perbedaan yang sangat remeh seperti
mengelilingi berlawanan arah jarum jam, bukannya searah jarum jam. Jenis topi
upacaranya berbeda. Jubah para biksunya mirip kecuali bagian rompi, yang
berwarna biru, bukan merah atau kuning.
Bon juga punya adat adu-pendapat, tepat persis seperti
aliran-aliran Buddha Tibet. Adat adu-pendapat ini hulunya jauh sekali ke
belakang, jadi lagi-lagi kita mesti bertanya-tanya siapa yang memulainya.
Tentunya adat adu-pendapat sudah ada di wihara-wihara India jauh lebih awal
dibanding kemunculannya di Tibet. Akan tetapi, adat tersebut bisa jadi masuk ke
aliran Buddha Tibet lewat Bon. Di lain pihak, ini tidak harus dipahami dalam
kerangka yang satu meniru yang lain.
Yang menarik ialah bahwa adat adu-pendapat Bonpo mengikuti
dengan amat dekat adat adu-pendapat Gelug. Banyak biksu Bonpo bahkan berlatih
adu-pendapat di wihara-wihara Gelug dan bahkan menerima gelar-gelar Geshe. Itu
mengisyaratkan bahwa walaupun Bon memiliki dzogchen, penafsiran Madhyamaka
lebih dekat pada penafsiran Gelug dibanding Nyingma. Kalau tidak, mereka tidak
dapat bergabung dalam adu-pendapat Gelug. Kemiripan antara Bon dan Buddha Tibet
tidak melulu berhubungan dengan Nyingma. Bon bukanlah kembaran Nyingma dengan
nama berbeda. Ia jauh lebih rumit lagi.
Bon juga menekankan pada berbagai ilmu pengetahuan
turun-temurun India, yang mereka pelajari jauh lebih ketat dibanding
wihara-wihara Buddha -- pengobatan, ilmu perbintangan, rampak puitis, dan
seterusnya. Dalam wihara-wihara Buddha, pokok-pokok bahasan ini ditekankan jauh
lebih kuat di Amdo di Tibet sebelah timur, dibanding di Tibet tengah.
Baik Bon maupun Buddha Tibet memiliki wihara-wihara dan
sumpah-sumpah kewiharaan. Agak menarik melihat bahwa walaupun banyak dari
sumpah tersebut sama dalam kedua ajaran itu, Bon memiliki sumpah-sumpah
tertentu yang orang sangka dimiliki oleh umat Buddha padahal tidak. Misalnya,
para Bonpo punya sumpah menjadi vegetarian. Umat Buddha tidak. Akhlak Bon
sedikit lebih ketat dibanding Buddha.
Bon memiliki tata tulkus, yang sama seperti di dalam
wihara-wihara Buddha. Mereka punya para Geshe. Mereka punya Prajnaparamita,
Madhayamaka, Abhidharma, dan semua bagian-bagian yang kita jumpai dalam
naskah-naskah Buddha. Beberapa dari kosakata dan penyajiannya berbeda tipis,
tapi keragamannya tidak lagi dramatis dibanding antara satu silsilah Buddha
dengan yang lainnya. Contohnya, Bon punya catatannya sendiri tentang penciptaan
dunia, tapi kita mendapati sebuah catatan khas tentang pokok yang sama dalam
Kalacakra juga. Ini adalah sebuah gambaran umum. Bon tidaklah begitu asing.
Saya pikir penting untuk mencoba melihat segi-segi ajaran
Buddha yang dipungut dari Bon, yang mencerminkan pendekatan Tibet pribumi, agar
kita memiliki gagasan yang lebih jernih tentang apa itu kebudayaan Tibet dan
apa itu ajaran Buddha hakiki. Juga penting bagi kita untuk mencoba melihat
segi-segi kebudayaan dari ajaran-ajaran hakiki Bon.
Sebuah jalan penyembuhan lipat-empat telah sepenuhnya
dipungut oleh seluruh aliran Buddha Tibet. Ada orang datang dengan sebuah
penyakit dan hal pertama yang dilakukan adalah melempar sebuah mo, yang
merupakan sebuah cara tenungan. Itu muncul dari Bon. Dahulu kala, mereka tidak
melakukan mo dengan dadu, seperti yang umum mereka lakukan sekarang, tapi
dengan sebuah tali yang diikat ke berbagai simpul. Mo menunjukkan apakah ada
roh berbahaya yang menyebabkan penyakit itu dan jika ada, laku upacara yang
mana yang harus dilaksanakan untuk mengenyahkannya. Kedua, orang merujuk pada
ilmu perbintangan untuk menentukan waktu paling sangkil untuk melaksanakan laku
upacara tersebut. Ilmu perbintangan diperbuat dalam kerangka unsur-unsur Cina –
tanah, air, api, logam, dan kayu. Lalu ketiga, laku upacara tersebut
dilaksanakan untuk membersihkan pengaruh-pengaruh berbahaya yang datang dari
luar. Setelahnya, yang keempat, baru si sakit minum obatnya.
Aturan di balik laku-laku upacara sedikit berbeda dalam
ajaran Buddha dan Bon. Dari sudut pandang Buddha, kita berlaku dengan karma dan
melihat keadaan luaran pada dasarnya sebagai cerminan karma. Sebuah laku
upacara atau puja dapat membantu menggiatkan daya-daya karma positif. Bon menempatkan
penekanan yang setara pada penyelarasan daya-daya luaran dan kemudian keadaan
karma dalaman.
Pada kedua perkara tersebut, puja untuk penyembuhan ini
menggunakan torma, yang direndahkan sebagai sisa-sisa laku upacara pengurbanan
kuno. Torma, terbuat dari tepung jewawut, dicetak ke bentuk hewan-hewan kecil,
dan digunakan sebagai tumbal, sudah pasti berasal dari Bon. Torma diberikan
pada roh-roh berbahaya: “Ambil ini dan pergilah dari si sakit."
Keseluruhan soalan tentang pengurbanan amatlah menarik. Para
Bonpo berkata, “Kami tidak melakukannya, itu laku kebiasaan yang sudah lebih
dulu ada di Tibet." Yang Buddha berkata, “Para Bonpo lah yang
melakukannya, kami tidak.” Tentu saja, semua orang ingin menyangkal, tapi yang
pasti pengurbanan itu ada. Milarepa menyebutkan bahwa pengurbanan terjadi di
masa hidupnya. Bahkan di tahun 1974 saja ketika Yang Mulia Dalai Lama
memberikan pemberdayaan Kalacakra di Bodhgaya untuk pertama kalinya, beliau
bicara sangat lantang pada orang-orang yang datang dari daerah-daerah
perbatasan Tibet tentang penghentian laku-laku pengurbanan hewan. Ini merupakan
sesuatu yang sudah lama ada.
Gambar-gambar berbagai dewa dipakai dalam laku-laku upacara
bardo Bonpo dan dalam berbagai laku upacara bardo Buddha juga. Ini bisa dilacak
sampai ke laku upacara penguburan Iran/Bonpo, dimana berbagai benda ditaruh ke
dalam makam bersama jenazah orang yang dikuburkan.
Hal lain yang dipinjam dari Bon oleh Buddha Tibet adalah
“jaring keselarasan ruang”, sebuah tatarajah tali aneka-warna serupa-jaring
laba-laba yang melambangkan kelima unsur. Hal ini berasal dari gagasan
keharusan untuk menyelaraskan unsur-unsur luar sebelum seseorang dapat
mengerjakan unsur-unsur dalam atau karma. Sebuah jaring dirancang menurut
tenungan dan seterusnya dan digantung di luar. Kadangkala jaring-jaring itu
disebut penangkap roh, tapi agaknya kurang tepat. Jaring-jaring tersebut
dimaksudkan untuk menyelaraskan unsur-unsur dan menyuruh roh-roh pergi
meninggalkan kita. Itu sangat Tibet sekali.
Anggitan roh kehidupan (bla), yang ada dalam Bon dan
Buddha, berasal dari gagasan Turki Asia tengah, qut, roh sebuah gunung.
Barang siapa yang menguasai wilayah di sekitar sebuah gunung suci tertentu
adalah Khan, penguasa bangsa Turki dan kemudian bangsa Mongol. Raja adalah
orang yang menjadi jelmaan qut atau roh kehidupan ini. Ia punya karisma dan
mampu memerintah.
Roh kehidupan seseorang bisa dicuri oleh roh-roh jahat.
Seluruh aliran Buddha Tibet memiliki puja untuk merebut kembali roh kehidupan
yang telah dicuri oleh roh-roh jahat. Puja-puja tersebut menawarkan tebusan:
kembalikan roh kehidupanku, ini sebuah torma sebagai gantinya. Bagaimana kita
tahu bahwa roh kehidupan kita dicuri? Dari sudut pandang Barat, kita dapat
menyebutnya kegalauan atau keambrukan, dimana seseorang tak dapat bergelut
dengan hidupnya. Seseorang yang roh kehidupannya telah dicuri tak mampu
mengatur hidupnya. Roh kehidupan memerintah hidup kita layaknya sang Khan
memerintah sebuah negara. Kata bahasa Tibet untuk roh kehidupan, “la”, digunakan
dalam kata lama. Seorang lama adalah seseorang yang sungguh-sungguh memiliki
roh kehidupan. La juga digunakan dalam beberapa lingkung untuk menerjemahkan
bodhicita putih, jadi ia merupakan sebuah daya atau saripati bendawi yang
sangat kuat di dalam tubuh.
Kemudian, ada pula roh kemakmuran. Kalau roh itu kuat,
segalanya akan berjalan mulus dan kita akan makmur. Kata untuk itu dalam bahasa
Tibet adalah "yang" (g.yang) “Yang" juga merupakan kata
bahasa Cina untuk domba. Pada saat Losar, tahun baru Tibet, orang makan kepala
domba dan mencetak kepala domba dari tsampa, biji jewawut yang dipanggang. Ini
melambangkan roh kemakmuran. Dan jelas sekali berasal dari laku-laku upacara
Bon tua.
Gagasan tentang bendera-bendera doa juga berasal dari Bon.
Bendera-bendera tersebut berwarna lima unsur dan digantung untuk menyelaraskan
unsur-unsur luar supaya segala hal jadi seimbang dan kita bisa melakukan
pekerjaan dalam kita. Banyak bendera-bendera doa tersebut memuat gambar kuda
angin (lungta, rlung-rta), yang dikaitkan dengan kuda keberuntungan.
Cina adalah negara pertama yang mengembangkan tata pengiriman surat, dan para
pengantar suratnya menunggang kuda. Ada tempat-tempat tertentu dimana mereka
berhenti dan berganti kuda. Kuda-kuda pengirim surat itulah kuda-kuda angin.
Istilah-istilah dalam bahasa Cina-nya sama. Maknanya ialah bahwa keberuntungan
akan datang di atas seekor kuda bagai tukang antar surat membawa barang, surat,
uang, dsb. Itu sangat Tibet/Cina sekali.
Segi-segi tertentu dari penyembuhan Bon masuk ke adat
Buddha, seperti memercikkan air suci dengan sehelai bulu. Dalam seluruh laku
upacara pembayatan Buddha, ada sehelai bulu merak dalam sebuah jambangan.
Pembakaran daun dan ranting jintan saru, disebut sang dalam bahasa
Tibet, dilakukan di puncak-puncak gunung untuk menyapa seseorang yang datang.
Mereka melakukannya di sepanjang sisi jalan ketika Yang Mulia kembali ke
Dharamsala. Hal itu dihubungkan dengan persembahan kepada roh-roh setempat.
Penekanan terhadap waskita dalam ajaran Buddha Tibet kerap
dirancukan dengan syamanisme, tapi waskita dan syaman itu cukup berbeda.
Waskita adalah roh yang berbicara melalui perantara. Ia bersifat menyalurkan.
Syaman, yang dijumpai di Siberia, Turki, Afrika, dsb., adalah orang-orang yang
mengalami kerasukan dan masuk ke alam lain dan berbicara dengan berbagai roh,
biasanya roh-roh leluhur. Roh-roh tersebut memberi mereka jawaban atas bermacam
pertanyaan. Tatkala si syaman keluar dari keadaan kerasukannya, ia menyampaikan
pesan dari para leluhur tersebut. Bedanya, seorang perantara biasanya tak ingat
perihal apapun yang dikatakan waskita melaluinya. Waskita jadi dianggap sebagai
pelindung. Waskita Nechung juga merupakan pelindung yang disebut Nechung. Akan
tetapi, jejak syamanisme tampak dalam pembagian segala hal ke dalam kelompok di
muka, di atas, dan di bawah bumi, yang lazim didapati dalam bahan Bon dan
kemudian masuk ke adat Buddha.
Buddha mengajar begitu banyak tentang berbagai pokok.
Kemanapun ajaran Buddha menyebar di Asia, orang menekankan unsur-unsur yang
bergayung-sambut dengan budaya mereka. Ada disebutkan tentang tanah-tanah
murni-suci di ajaran Buddha India namun itu tidak diberi penekanan. Orang Cina,
yang memiliki gagasan Dao (Tao) tentang pergi ke tanah makhluk-makhluk abadi di
Sebelah Barat, begitu menekankan perihal tanah murni-suci ini dan
mengembangkannya dengan luar biasa. Oleh karena itu, ada ajaran Buddha tanah
murni-suci, yang merupakan salah satu aliran Buddha Cina yang paling menonjol.
Demikian pula, dalam ajaran Buddha India, kita memang menjumpai pembahasan
tentang pelindung, tentang bermacam roh, tentang persembahan puja, dan
seterusnya, namun orang Tibet mengembangkan unsur-unsur ini dengan begitu luar
biasa karena hal tersebut ada dalam budaya mereka.
Saya pikir penting sekali bagi kita untuk sungguh
menghormati aliran Bon. Ada banyak hal yang dapat dikenali sebagai budaya Bon
atau Tibet yang tidak sepenuhnya serupa dengan Buddha Tibet. Ada berbagai unsur
dalam ajaran-ajaran Buddha yang juga dijumpai di dalam Bon. Adu-pendapat
tentang siapa meniru siapa itu sia-sia saja. Ajaran Buddha dan Bon telah saling
bersentuhan dan niscaya keduanya saling mempengaruhi.
Penting bagi kita untuk paham bahwa membuat para Bonpo
seolah menjadi orang jahat, di satu sisi, itu bersifat politis – sebuah
remah-sisa dari sikap terlampau kolot yang mereka anut di abad ke-8. Di sisi
lain, itu bersifat kejiwaan – orang-orang yang terlampau menekankan sisi
positifnya akan cenderung melemparkan sisi negatifnya ke arah orang lain.
Gejala ini dijumpai khususnya dalam aliran-aliran Buddha fundamentalis dengan
pengabdian adiguru dan penitik-beratan yang luar biasa pada seorang pelindung.
Sang pelindung menjadi hal penting. Naskah-naskah mengatakan berbagai hal buruk
tentang siapa saja yang menentang Dharma atau menentang aliran yang disebutkan.
Hantam musuh kita, gilas mereka, cungkil matanya, dsb. Saya pikir jauh lebih
patut kita mengikut contoh yang diberikan Yang Mulia, dengan menganggap bahwa
ada lima aliran Tibet, dan masing-masing aliran mengajarkan jalan yang
sepenuhnya sahih menuju pencerahan. Kelimanya memiliki banyak kesamaan dan
kelimanya bicara tentang pencapaian tujuan yang sama, pencerahan.
Di dalam hal yang sama-sama kelimanya miliki, ada hal-hal
teretentu yang dapat dikenali sebagai budaya Tibet dan yang lain lebih ke
budaya Buddha. Terserah pada kita untuk memutuskan apa yang mau kita ikuti.
Kalau kita hendak menerima hal-hal tertentu dari budaya Tibet, baik, mengapa
tidak. Akan tetapi, itu tida semerta penting. Kalau kita dapat membedakan
unsur-unsur Tibet dari ajaran Buddha yang hakiki, maka setidaknya kita bisa
jernih tentang apa yang sedang kita ikuti. Kita tak bisa jadi pemurni dalam
ajaran Buddha. Bahkan ajaran Buddha India melekat erat dengan masyarakat India.
Kita tak dapat menceraikan ajaran Buddha dari masyarakat tempatnya diajarkan,
tapi kita bisa terang-jelas tentang apa yang budayawi dan apa yang merupakan
tentang empat kebenaran mulia, jalan menuju pencerahan, bodhicita, dan
seterusnya.
Tanya:
Satu pasal tentang perbedaan antara Bon dan ajaran Buddha adalah bahwa ajaran
Buddha turun dari Buddha, makhluk yang sepenuhnya tercerahkan, ajaran itu
terekam dengan baik dan ada silsilahnya, sementara Bon tidak turun dari seorang
makhluk yang sepenuhnya tercerahkan.
Alex:
Bagaimana kita tahu bahwa Buddha adalah makhluk yang sepenuhnya tercerahkan?
Tak ada yang dituliskan dan tak ada pita perekam saat itu. Bahkan bagaimana
kita tahu bahwa kitab-kitab suci Buddha sungguh merupakan apa yang Buddha
ajarkan? Tak ada yang muncul dalam bentuk tulisan sampai sekitar empat ratus
tahun setelah Buddha. Semuanya diteruskan secara lisan. Bagaimana kita tahu
bahwa orang-orang yang meneruskan ajaran-ajaran tersebut mengingat segala hal
dengan tepat? Apakah setiap orang dalam silsilah itu punya ingatan tajam dan
tak pernah salah sepatah katapun meski mereka hanya mendengarnya sekali? Itu
agaknya terlalu dibuat-buat.
Saya tidak berpikir bahwa ada suatu alasan sahih untuk
mengatakan bahwa Buddha itu tercerahkan, tapi Shenrab Miwo tidak. Bagaimana
bisa kita mengatakan ia tidak tercerahkan? Saya belum mempelajari riwayat
hidupnya, jadi saya tidak akrab dengan rincian-rinciannya, tapi apa bedanya?
Ini berujung pada pembahasan luas tentang apakah Buddha yang mengajarkan
Sutra-Sutra Mahayana. Itu jenis silang pendapat yang sama saja. Segalanya
bergantung pada cara kita memaknai seorang Buddha. Kalau kita memaknai seorang
Buddha sebagaimana Hinayana memahaminya, sebagai sosok sejarawi, maka jelas
saja Buddha tidak mengajarkan sutra-sutra Mahayana, kecuali kita katakan bahwa
ia mengajarkannya secara rahasia dan bahwa sutra-sutra tersebut tidak
diteruskan secara terbuka untuk umum. Sebetulnya, guru dari sutra-sutra
Mahayana adalah Buddha seperti yang digambarkan oleh sutra-sutra
Mahayana -- ia yang memiliki tiga raga, mengejawantah dalam miliaran bentuk di
sepanjang ruang dan waktu, dan seterusnya. Buddha jenis itu dapat dengan mudah
mengajarkan sutra-sutra Mahayana. Demikian pula, ketika kita bicara tentang
sumber sebuah silsilah, saya pikir kita harus terang-jelas betul tentang
anggitan Buddha apa yang sedang kita acu. Apa kita sedang bicara tentang
seorang sosok sejarawi, seperti Buddha Shakyamuni atau Shenrab Miwo, atau apa
kita sedang bicara tentang cara mereka sendiri menggambarkan makhluk
tercerahkan?
Pada puncaknya, ujiannya terletak pada apakah ajaran-ajaran
orang tersebut sungguh-sungguh berhasil membawa seseorang ke pencerahan. Itu
cara kita mengetahui kesahihan sebuah ajaran. Kecuali kalau kita telah
memperoleh cita mahatahu, kita tak bisa melihat apakah seseorang lain telah
mencapainya. Jadi bagaimana kita tahu bahwa seseorang lain telah mencapainya?
Kita tak tahu. Kita bisa sedikit memahaminya dari kenyataan bahwa tiap aliran
telah menghasilkan beberapa makhluk yang dahsyat. Untuk saya, itu cukup. Saya
bukan seseorang yang memahami segala sesuatu secara harfiah. Saya pikir kita
harus sedikit lebih adil dalam melihat hal-hal ini. Gambaran yang dimiliki
seseorang tentang Buddha sangat mempengaruhi penyajiannya atas asal-usul sebuah
ajaran.
Peserta:
Mereka bicara tentang tiga jenis Bon: Bon lama, sebelum naskah-naskah dikubur;
Bon Yung-drung, mengacu pada jenis yang lebih tradisional dari Bon dengan
dzogchen, madhyamaka, prajnaparamita, dan seterusnya; dan kemudian Bon baru,
dengan silsilah-silsilah umum dengan Guru Rinpoche. Shartse, seorang guru besar
di awal abad yang terakhir ini mencapai raga pelangi melalui cara Bon baru ini.
Alex:
Saya belum pernah mendengar tentang Bon baru. Cukup jelas bahwa ada orang-orang
yang melakukan Bon dan Nyingma bersamaan tanpa masalah. Dan ada pula
cendekiawan-cendekiawan Bon yang belajar di perguruan adu-pendapat Gelug.
Seperti yang saya sebut tadi, banyak orang yang menemukan naskah-naskah
terkubur tersebut menemukan naskah-naskah dari kedua aliran itu. Para
penerjemah bekerja bersama dari kedua bahasa di wihara Samyay. Selalu saja ada
lintas pengaruh. Saya tidak tahu perbedaan khusus apa yang ada di antara
Yung-drung Bon dan Bon baru. Yung-drung juga memiliki silsilah-silsilah
bersamaan Nyingma. Mungkin hanya dalam hal apakah Guru Rinpoche ada dalam
silsilah itu atau tidak. Saya pikir pelajaran yang dapat ditari dari sini
adalah bahwa Bon merupakan sebuah silsilah ajaran-ajaran kerohanian Tibet dan
bukan sesuatu untuk ditakuti seolah-olah mereka adalah orang jahat atau pemuja
setan.
Tanya:
Apakah pengetahuan yang lebih terbuka tentang Bon ini merupakan sebuah
perkembangan yang kini?
Alex:
Saya pikir ya. Tindakan melempar hal negatif ke sebuah kelompok biasanya
dilakukan atas dasar kurangnya pengetahuan tentang kelompok tersebut, seperti
menganggap semua Muslim jahat. Tentu, pengetahuan yang terbuka tentang Bon
lebih kini. Yang Mulia Dalai Lama telah sangat berperan penting dalam hal itu,
dan ia bukanlah satu-satunya. Selama masa Dalai Lama Kelima, bangsa Mongol
mengakhiri perang saudara 150 tahun dan membuat Dalai Lama Kelima sebagai
kepala politik Tibet. Ada banyak alasan untuk hal itu.
Dalai Lama Keempat adalah seorang Mongol. Panchen Lama
Pertama adalah pengajar Dalai Lama Keempat dan Kelima dan orang yang memilih
Dalai Lama Kelima. Cukup beralasan bahwa kemudian bangsa Mongol mendukung
penjelmaan Dalai Lama Keempat yang juga orang Mongol itu. Dalai Lama Kelima
mengeluarkan kebijakan pendamaian seluruh golongan di Tibet untuk mengakhiri
kurun perang saudara yang mengerikan ini. Ia tidak hanya menyatukan seluruh
aliran dan mengatur tempat-tempat untuk mereka di pekan raya Monlam, tapi ia
juga membuat berbagai wihara Nyingma dari dua silsilah besar Nyingma menggelar
laku upacara bersama untuk keberhasilan pemerintah Tibet. Ia juga membuat
wihara-wihara Bon menggelar laku upacara untuk keberhasilan Pemerintah. Dalai
Lama yang sekarang sendiri berkata bahwa ia mencoba meneruskan
kebijakan-kebijakan Yang Mulia Kelima. Kini, karena keadaan pengungsian,
seluruh aliran sama-sama terpapar di mata khalayak. Kita sekarang punya
keterangan tentang semua aliran-aliran tersebut.
Tanya:
Seorang Barat menulis sebuah tesis tentang Bon pada 1927.
Alex:
Ya. Wihara-wihara Bon ada di situ. Snellgrove melihatnya pada tahun lima
puluhan dan enam puluhan.
Tanya:
Apakah ada unsur-unsur dzogchen dalam budaya Iran?
Alex:
Saya pikir tidak. Bahkan hikayat-hikayat penciptaan Bon cukup berbeda dibanding
hikayat-hikayat penciptaan Iran kuno corak Zarathustra. Yang saya maksud adalah
bahwa ajaran Buddha ada cukup awal di wilayah-wilayah kebudayaan Iran. Jika
kita memaknai sebuah ajaran Buddha sebagai sesuatu yang akan membawa seseorang
ke pencerahan, dengan semua mutu seorang makhluk tercerahkan, maka ajaran itu
bersifat Buddha terlepas dari kita menyebutnya Buddha atau tidak. Bon tidak
semerta berasal dari wilayah kebudayaan Iran, walau wilayah ke barat Tibet
merupakan wilayah kebudayaan Iran, dan para Bonpo berkata bahwa aliran mereka
berasal dari sana. Tampaknya bahwa lewat persentuhan yang dimiliki Tibet
Sebelah Barat dengan Khotan lah, yang direkam dengan baik, ada juga persentuhan
budaya antara Tibet Sebelah Barat dengan wilayah-wilayah kebudayaan Iran.
Setidaknya itu mungkin.
Tanya:
Bukankah memang sudah benar bahwa Bon lebih tua dari ajaran Buddha?
Alex:
Bagaimana kita tahu kalau Bon lebih tua? Apa kita akan menerima bahwa Shenrab
Miwo hidup tiga puluh ribu tahun yang lalu di Zaman Batu atau Perunggu?
Seberapa penting itu? Cara saya memahaminya, Bon mempengaruhi ajaran Buddha di
Tibet: Bon mempengaruhi cara umat Buddha Tibet menyajikan ajaran Buddha. Itu
jelas. Itu tidak akan saya bantah. Tapi saya tidak tahu bagaimana mungkin kita
bisa mengetahui dengan pasti yang mana yang lebih dahulu ada.
Tanya:
Laku dzogchen lebih tua dari ajaran Buddha, bukan?
Alex:
Di sini juga, saya tidak melihat ada cara bagi kita untuk tahu. Itu tergantung
pada cara kita memaknai dzogchen. Kalau kita memaknainya sebagai sebuah ajaran
yang membawa kita kepada pencerahan, apa itu ada sebelum Shakyamuni? Umat
Buddha sendiri akan berkata bahwa ada para Buddha sebelum Shakyamuni yang
mengajarkan cara-cara meraih pencerahan. Kalau orang menyebut Shenrab Miwo
sebagai Buddha yang lebih dahulu, boleh. Mengapa tidak? Apa bedanya? Apa Anda
bertanya tentang dzogchen sebagai sebuah tata pembawa pencerahan yang
sepenuhnya berkembang atau tentang cara-cara tertentu yang digunakan dalam
dzogchen, yang berasal dari laku-laku yang lebih awal? Dzogchen tentu tidak
terdapat dalam ajaran Zarathustra. Zarathustra hidup hanya sekitar lima puluh
tahun sebelum Buddha, bukan tiga puluh ribu tahun sebelumnya. Tidak ada agama
yang terekam keberadaannya sampai sejauh itu. Pokok lainnya adalah bahwa jika
sebuah aliran dicap sebagai yang jahat, mereka pasti akan mengimbangi pewartaan
buruk tersebut dengan mendaku sebagai yang lebih tua. Apa itu akan dipahami
secara harfiah? Saya tidak akan memahaminya secara harfiah. Kalau ada yang mau
memahaminya secara harfiah, silakan.
Tanya:
Apakah ada bukti sejarawi atas dzogchen pada Bon kuno?
Alex:
Sejauh yang saya tahu, dan saya bisa salah, tidak ada satu tulisanpun yang
tertinggal tentang itu. Satu-satunya bukti sejarawi adalah ilmu purbakala dan
satu-satunya bukti purbakala itu dari makam-makam kerajaan. Sudah jelas bahwa
para Bonpo melaksanakan laku upacara, tapi tidak ada bukti apapun yang
menyatakan bahwa mereka melakukan meditasi dzogchen. Ada sebuah silsilah dari
keyakinan yang ada karena, "Guruku bilang begitu." “Bagaimana ia
tahu?” “Gurunya memberitahunya.”
Kenyataan bahwa ajaran-ajaran Bon telah memberi manfaat bagi
banyak orang menunjukkan bahwa ia merupakan jalan penuh-guna menuju pencerahan,
atau setidaknya menuju apa yang bisa kita lihat dari pencerahan. Menurut saya,
perkara tanggal dan usia pendirinya tidaklah penting. Saya rasa adu-pendapat
ini seperti percekcokan “guruku lebih baik dari gurumu.” Seseorang memberi
tanggalnya, dan sekarang telah menjadi ajaran silsilahnya. Buat apa khawatir
tentang itu? Terus saja berlatih dan cobalah mendapatkan hasilnya. Baik Bon
maupun ajaran Buddha merupakan silsilah yang ada sedari permulaan milenium yang
lalu. Itu cukup bagi saya. Keduanya telah terbukti mampu bertahan dari waktu.
Lanjut dengan ajarannya. Tak ada artinya menjerumuskan diri ke percekcokan
“ayahku lebih baik dari ayahmu”.
Tanya:
Dalam kelompok-kelompok masyarakat Tibet, ada persaingan dan saling olok satu
sama lain. Apakah ada ruang untuk perbaikan keadaan di sana?
Alex:
Tentu saja. Yang Mulia Dalai Lama selalu mendukung paham niraliran, sebagaimana
yang juga dilakukan oleh para pemimpin dan lama besar dari aliran-aliran lain.
Bagaimanapun, tetap ada golongan-golongan yang berpandangan picik pada
alirannya sendiri. Itu sangat disayangkan, tapi memang ada. Kita tidak harus
mengikutinya.
Tanya:
Dapatkah Anda membahas lebih banyak tentang pandangan Bon terhadap Madhyamaka?
Alex:
Saya belum mempelajari naskah-naskah Bon tentang Madhyamaka. Penafsiran
Madhyamaka beragam dalam masing-masing dari empat aliran Tibet. Dalam bahkan
satu aliran manapun, beragam buku-buku naskah dan pengarang memiliki berbagai
pandangan yang berbeda. Saya akan membayangkan bahwa di dalam Bon juga terdapat
ragam. Saya hanya menarik kesimpulan. Kalau para Bonpo menjalani pelatihan
adu-pendapat di wihara-wihara Gelug – walau beberapa juga beradu-pendapat di
wihara-wihara Sakya juga – mereka harus menerima pandangan dari wihara tempat
mereka berlatih. Akan jadi tidak masuk akal kalau mereka tidak menerima
pandangan itu. Secara setara mereka bisa menjalani pelatihan adu-pendapat di
sebuah wihara Nyingma jika mereka menerima pandangan Nyingma atas Madhyamaka.
Orang butuh pandangan yang tepat atas kehampaan agar
mencapai pencerahan. Akan tetapi, ada banyak cara menjelaskan pandangan yang
tepat. Orang harus hati-hati ketika memandang aliran-aliran Tibet yang berbeda.
Aliran-aliran tersebut memaknai istilah-istilah pusat dengan sangat berbeda.
Jika kita membubuhkan makna-makna Gelug pada istilah-istilah Kagyu, misalnya,
maka istilah-istilah tersebut akan jadi sangat aneh. Tapi kalau kita membaca
penyajian Kagyu dari sudut pandang makna-makna mereka sendiri, artinya jadi
masuk akal sekali.
Kita harus hati-hati untuk membawa masuk tiap teori
pencerapan masing-masing aliran juga. Kalau kita hanya melihat pada penyajian
Madhyamaka dari suatu aliran secara terpisah dari makna pengetahuan bersekat
dan nirsekat mereka, jadinya akan sangat membingungkan. Teori-teori pencerapan
Nyingma, Kagyu, dan Sakya jauh berbeda dibanding Gelug. Kita di Barat, karena
berasal dari pandangan-dunia Injili, menginginkan Satu Kebenaran, Satu Tuhan –
seperti inilah caranya, titik. Namun ini tidak seperti itu.
Sebuah pandangan yang tepat dapat digambarkan dalam berbagai
cara. Perbedaan besarnya apakah kita bicara tentang kehampaan sebagai sebuah
sasaran yang dipahami oleh cita atau sebagai cita yang memahami kehampaan.
Dzogchen menggambarkan kehampaan dari sudut pandang cita yang memahminya. Gelug
membahasnya, dalam sutra, dari sudut pandang kehampaan itu sendiri. Dalam
tantra anuttarayoga, dengan pembahasan atas cahaya jernih, penyajian Gelug
mirip dengan dzogchen. Akan tampak seperti bahwa Bon mengikuti Gelug dalam adat
sutra, namun mengikuti gaya Nyingma setidaknya dalam dzogchen. Saya tidak tahu
tentang tantra kelas-kelas yang lebih rendah. Saya belum menjalani pelatihan
mendalam akan Bon. Saya hanya sudah membaca tentangnya.
Saya pikir dari semua ini orang harus menyimpulkan bahwa
dalam kenyataannya ini cukup pelik. Tidak seolah-olah ini semua cuma
silsilah-silsilah terasing di Tibet. Segala hal tidak mengada seperti itu.
Semuanya telah bersentuhan dan bersinggungan. Tak ada yang namanya silsilah
yang berdiri sendiri. Bahkan dalam tiap aliran Tibet, ada berbagai silsilah
tantra, penafsiran Madhyamaka, dsb., masing-masing dengan sejarah yang berbeda.
Beberapa punya kesamaan dengan aliran-aliran lain. Ibaratnya seperti kepangan
rambut yang saling-pilin, atau seperti sebuah keluarga. Tidak benar bahwa tiap
silsilah telah terus sama sejak pendiriannya. Segala hal jauh lebih cair. Kita
suka menempatkan garis hitam tebal di sekitar hal-hal dan membuatnya jadi
satuan-satuan padu, tapi bukan itu kenyataannya.
Tanya:
Apakah Anda mengatakan bahwa agama di Tibet dulu utamanya merupakan hal-ihwal
keluarga, bahwa agama dijaga tetap di tempat, sebelum adat kewiharaan muncul?
Alex:
Saya tidak berkata demikian. Bukan seperti agama Yahudi, misalnya, dalam mana,
setelah penghancuran Kuil Kedua, laku-laku upacara dilaksanakan di dalam
keluarga agar si ibu memimpin pelayanan malam Jumat dan keluarganya bertanggung-jawab
bagi pendidikan anak-anak. Agama di Tibet bukanlah sebuah adat keluarga dalam
pengertian tersebut. Satu-satunya bukti yang kita punya adalah dari
upacara-upacara penguburan dan pengurbanan resmi untuk raja.
Seperti apa ia di tingkat setempat? Saya dapat bayangkan
bahwa ada pendeta-pendeta desa setempat yang melaksanakan laku upacara untuk
orang-orang di desa-desa seperti yang dilakukan umat Buddha sekarang. Para
biksu diundang ke rumah-rumah untuk melaksanakan laku-laku upacara dan seterusnya.
Bagaimana pendeta-pendeta desa pada masa-masa awal itu dilatih? Apakah dari
ayah ke anak laki-lakinya? Apakah perempuan terlibat? Apakah itu sebuah kasta?
Saya tak tahu.
Lagi, hanya ada sedikit sekali bukti untuk diacu. Mereka
pasti telah memiliki adat tertulis. Ada penerjemah-penerjemah dari Zhang-zhung
di Samyay yang pastinya menerjemahkan barang sesuatu. Saya akan cenderung
berpikir bahwa tingkat pendidikan dan kecanggihan di wilayah-wilayah terpencil
di Tibet kuno tidaklah tinggi. Di banyak negara pada masa kuno, laku-laku
upacara dikhususkan bagi istana-istana kerajaan dan tidak menyebar luas ke
penduduk, khususnya di wilayah-wilayah terpencil.
Tolong ingat bahwa Tibet tidak memiliki kota-kota besar.
Tidak seperti Roma kuno. Ada desa-desa kecil dan para pengembara. Bagaimana
pendidikan tentang laku upacara tersebar? Masyarakatnya sangat terpencil.
Apakah ada kepercayaan terhadap roh-roh gunung setempat dan seterusnya? Tentu.
Apakah terkelola? Siapa yang tahu. Puja dan pengurbanan ke roh-roh gunung
setempat masih dilakukan di seluruh Asia Tengah.
Saya sungguh berpikir penekanan utamanya perlu
dititik-beratkan pada apa yang bisa kita pelajari dari Bon sekarang. Kalau para
guru, gaya laku dan penekanannya cocok bagi kita – sempurna. Apapun yang kita
pilih, penting untuk tidak terjebak pada cara-pikir picik nan sempit. Daripada
berkata, “ Inilah hal terhebat di dunia!” kita bisa sederhana saja menyebut,
“Itu cocok buatku.”
Mari kita akhiri di sini dengan sebuah persembahan. Persembahan
itu sangat penting. Ketika kita melakukan sesuatu yang positif, seperti beroleh
kejernihan tentang ajaran Buddha dan Bon, hal itu membina daya positif
tertentu. Kalau kita tidak menyembahkannya, daya positif itu bertindak sebagai
sebuah sebab bagi samsara yang sedang berkembang. Kita tidak mau cuma
bersumbangsih pada pengetahuan cendekiawan yang lebih banyak agar kita bisa
memperoleh pekerjaan di perguruan tinggi dan mengajar kuliah dan mendapat
nafkah. Kita menyembahkannya sebagai sebuah sebab untuk mencapai pencerahan.
Dengan kejernihan yang lebih tentang jalan tersebut dan dengan terbebas dari
pandangan-pandangan picik-aliran, kita dapat mencurahkan semua tenaga kita
untuk mencapai pencerahan supaya mampu membawa manfaat bagi semua orang. Kalau
kita menyebahkan daya positif sebagai sebuah sebab bagi pencerahan, ia akan
bertindak sebagai sebuah sebab bagi pencerahan. Ini mengapa dorongan sangat
penting artinya di awal-awal: dorongan tersebut mengatur nadanya.
Semoga apapun yang telah kita pelajari akan meresap lebih
dan lebih dalam dan menjadi dasar untuk sungguh mampu mengikuti jalan Buddha
atau Bon sampai ke ujungnya, dengan kejernihan dan tanpa pandangan-pandangan
picik-aliran, agar kita dapat memberi pertolongan terbaik bagi setiap orang.
Alexander Berzin Amsterdam, Belanda, 23 Desember 2001 salinan kuliah yang diperbaiki sedikit
Sumber :
bon_tibetan_buddhism.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^