Ketika
kita mendengar kata “meditasi”, berbagai bayangan melintas di kepala orang
banyak. Bagi beberapa orang, kata itu memunculkan gambaran tentang latihan
adikodrati yang membuat kita masuk ke alam yang berbeda di dalam pikiran kita.
Bagi yang lain, kata itu mencerminkan sejenis tapa brata yang hanya dilakukan
di Asia oleh orang-orang tertentu. Tapi jika kita ingin melihat meditasi lebih
dekat lagi, kita perlu bertanya – dan, tentu saja, menjawab – tiga hal: Apa itu
meditasi? Mengapa saya ingin bermeditasi? Dan bagaimana sebenarnya cara saya
melakukannya?
Pertanyaan
pertama: Apa itu meditiasi? Meditasi adalah suatu cara untuk melatih diri kita
untuk memiliki keadaan cita atau sikap yang lebih bermanfaat. Ini dilakukan
dengan berulang kali membangkitkan suatu keadaan batin tertentu untuk membuat
diri kita terbiasa dengannya dan menjadikannya kebiasaan kita. Tentu, terdapat
banyak keadaan cita dan sikap yang bermanfaat. Salah satu contohnya ialah
keadaan cita yang lebih santai, tidak tegang dan tidak risau; contoh lain ialah
keadaan cita yang lebih terpusat, atau keadaan cita yang lebih tenang, tanpa
celotehan dan kerisauan batin yang terus-menerus. Begitupun, contoh lain dapat
berupa keadaan cita dengan pengertian yang lebih tentang diri kita sendiri,
tentang hidup, dan seterusnya; dan contoh lain dapat berupa keadaan cita dengan
lebih banyak cinta dan welas asih kepada sesama. Jadi, ada banyak jenis keadaan
cita yang bermanfaat yang dapat kita capai lewat meditasi.
Pertanyaan
kedua: Mengapa saya ingin membangkitkan keadaan-keadaan cita ini? Untuk
menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat dua anasir: Pertama, apa yang
sedang saya tuju? Kedua, dari sudut pandang perasaan, mengapa saya ingin
mencapai tujuan itu?
Contohnya,
mengapa saya menginginkan cita yang lebih tenteram dan lebih jernih? Satu
alasan yang sudah pasti ialah karena cita kita tidak tenteram, dan hal itu
membuat kita kacau; hal tersebut menyebabkan banyak ketakbahagiaan dan
menghalangi kita melakukan yang terbaik dalam hidup. Cita kita yang kacau bisa
juga berpengaruh buruk terhadap kesehatan; bisa menyebabkan atau memperparah permasalahan
di dalam keluarga dan membahayakan hubungan-hubungan kita yang lain; bisa
memunculkan kesukaran di tempat kita kerja. Jadi, dalam contoh ini, tujuan kita
adalah untuk mengatasi sejenis kekurangan, sejenis masalah yang kita miliki,
baik secara batin maupun perasaan. Dan kita memutuskan untuk mengambil tanggung
jawab untuk mengatasi masalah itu dengan cara yang teratur lewat latihan
meditasi.
Keadaan
perasaan apa yang mendorong kita untuk memulai latihan meditasi? Mungkin kita
sudah betul-betul muak dan jijik dengan keadaan cita yang kita punya ini. Jadi
kita bilang pada diri kita, “Cukup sudah. Aku ingin keluar dari keadaan ini.
Aku harus melakukan sesuatu.” Dan jika, misalnya, tujuan kita adalah untuk
lebih dapat menolong orang-orang yang kita cintai, maka keadaan emosionalnya,
selain keadaan jijik tadi, dapat berupa rasa cinta dan welas asih. Perpaduan
semua perasaan ini mendorong kita untuk menemukan cara yang akan memampukan
kita untuk dapat membantu mereka dengan lebih baik lagi.
Akan
tetapi, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki pemahaman yang makul
(realistis) tentang meditasi. Tidaklah makul jika kita berpikir bahwa meditasi
saja dapat menyelesaikan semua permasalahan kita. Meditasi adalah sebuah alat,
sebuah cara. Ketika kita ingin mencapai sebuah hasil dan kita memiliki perasaan
yang positif yang mendorong kita menuju tujuan itu, kita perlu menyadari bahwa
sebuah hasil tidak dicapai dengan satu sebab saja. Banyak, banyak sebab dan
keadaan yang harus bersatu-padu agar dapat memunculkan hasil. Contohnya, jika
saya menderita tekanan darah tinggi dan hipertensi, meditasi tentu akan
membantu. Meditasi tiap hari dapat membantu saya untuk tidak serisau biasanya.
Tapi meditasi saja tidak akan menurunkan tekanan darah saya. Meditasi dapat membantu,
tapi saya juga mungkin perlu mengubah pola makan saya, lebih sering latihan
gerak badan, dan saya mungkin juga membutuhkan obat-obatan pula. Ketika
berbagai anasir tersebut saya kerjakan bersamaan, hasil yang diinginkan,
turunnya tekanan darah, akan tercapai.
Cara-cara
yang digunakan dalam meditasi tentu juga dapat digunakan untuk membangun
keadaan cita negatif. Contohnya, saya bisa bermeditasi tentang betapa
buruknya musuh saya. Saya dapat menggunakan meditasi untuk menumbuhkan rasa
benci, yang kemudian menyebabkan saya mencari dan membunuh musuh saya. Tapi
pada umumnya bukan seperti itu cara menggunakan meditasi. Meditasi pada umumnya
digunakan sebagai cara untuk membangun keadaan cita positif yang akan
bermanfaat bagi kita dan bermanfaat bagi sesama.
Pertanyaan
ketiga: Bagaimana cara kita bermeditasi? Ada berbagai cara yang digunakan,
tergantung pada keadaan cita apa yang ingin kita kembangkan. Tapi satu hal yang
sama-sama ada pada semua cara ialah bahwa semuanya membutuhkan latihan.
“Latihan” berarti mengulang suatu jenis laku latih lagi, dan lagi, dan lagi.
Jika kita ingin melatih tubuh kita, kita perlu latihan jasmani secara teratur;
demikian pula, kita perlu berlatih dengan cita kita.
Meditasi
berkenaan dengan keadaan cita kita, dan maka itu wajarlah jika kita menggunakan
suatu cara batin untuk membawa perubahan positif. Kita dapat menggunakan
cara-cara jasmani untuk mencoba mengubah keadaan cita kita; misalnya, duduk
dalam berbagai sikap yoga atau melakukan berbagai seni beladiri, seperti Tai
Chi. Hal-hal tersebut sendiri bukanlah meditasi. Cara-cara jasmani semacam itu
dapat membantu membangkitkan suatu keadaan cita tertentu, tapi meditasi
adalah sesuatu yang Anda lakukan hanya dengan cita Anda saja. Tentu Anda dapat
bermeditasi sembari melakukan beberapa sikap yoga atau sembari
melakukan Tai Chi. Tapi kegiatan jasmani dan kegiatan batin adalah dua hal yang
berbeda: yang satu kita lakukan dengan tubuh dan yang satu lagi kita lakukan
dengan cita kita.
Untuk
mencapai hasil yang diinginkan, kita mungkin perlu menggunakan berbagai macam
sebab, baik jasmani maupun batin. Kita dapat melatih tubuh jasmani kita,
misalnya, dengan mengubah pola makan, yang nantinya dapat mempengaruhi keadaan
cita kita. Tapi meditasi itu artinya berlatih dengan cita itu sendiri. Jadi
jika kita ingin mencapai suatu tujuan tertentu, kita perlu menyelidiki apa yang
perlu kita ubah dalam hidup kita, baik secara jasmani maupun batin, agar dapat
meraih tujuan itu. Kita mungkin perlu memulai latihan meditasi, mengubah pola
makan, dan meningkatkan latihan gerak badan, atau semuanya sekaligus.
Ketika
dilakukan dengan benar, sesi-sesi meditasi akan mulai mempengaruhi kehidupan
sehari-hari kita di tengah-tengah sesi-sesi tersebut. Jika kita melatih suatu
keadaan cita tertentu selama sesi meditasi kita, entah itu keadaan lebih
tenang, lebih terpusat, atau lebih mengasihi, yang menjadi pokoknya ialah kita
mampu membangkitkan keadaan cita itu tidak hanya ketika sedang duduk tenang
dalam meditasi. Pokok utamanya ialah untuk membangun keadaan positif ini dengan
begitu menyeluruh sehingga menjadi kebiasaan, kebiasaan yang dapat kita
terapkan kapanpun kita membutuhkannya, di setiap saat setiap hari. Pada
akhirnya, ia menjadi sesuatu yang alami saja; ada di situ setiap waktu: kita
jadi lebih mengasihi, lebih memahami, lebih terpusat, dan tenteram.
Jika
kita mendapati diri tidak berada pada keadaan cita semacam itu, yang
perlu kita lakukan adalah mengingatkan diri kita sendiri: “Jadilah lebih
mengasihi.” Dan karena kita telah begitu akrab dengan keadaan cita ini lewat
latihan, secepat kilat kita dapat beranjak ke keadaan cita itu. Contohnya,
ketika kita mendapati diri kita kehilangan kesabaran terhadap seseorang, kita
dengan segera mengetahuinya dan mengingatkan diri kita, entah secara sadar atau
tidak: “Aku tak mau seperti itu!” Kemudian, seperti menjentikkan jari, mirip
seperti menghidupkan ulang komputer kita ketika sebuah pesan galat muncul, kita
menutup “sesi” marah-marah ini dan membangkitkan kembali sikap mengasihi kita
terhadap orang itu.
Membangkitkan
keadaan cita ini, seperti kemurah-hatian untuk mengasihi, bukan cuma masalah
tata tertib. Misalnya, untuk jadi lebih mengasihi, kita harus punya pemahaman mengapa
kita harus jadi lebih mengasihi. Kita bisa ingat bahwa kita semua
saling-terhubung satu sama lain, dengan berpikir: “Kau seorang manusia seperti
aku; kau punya rasa seperti aku, kau ingin disukai dan tak ingin diabaikan atau
tak disukai – sama seperti aku. Kita semua di sini bersama di planet ini dan
kita harus akur satu sama lain.”
Contoh
berikut ini mungkin bisa membantu menjelaskan. Bayangkan Anda berada di sebuah
lift dengan sepuluh orang dan, sekonyong-konyong, lift tersebut macet dan
kalian terperangkap di situ selama beberapa hari. Bagaimana cara Anda
berhubungan dengan orang-orang lain di lift tersebut? Kalian di sana –
sama-sama terjebak. Jika kalian mulai bertengkar di ruang sempit itu, bakal
bencana jadinya, kan? Alih-alih, Anda perlu bekerja sama dan bersabar terhadap
mereka semua. Anda harus bekerja bersama untuk mencoba keluar dari keadaan itu.
Jadi, mungkin akan membantu pemahaman jika kita bayangkan planet ini sebagai
sebuah lift yang sangat besar!
Dengan
meditasi rinci seperti inilah kita dapat membangkitkan suatu keadaan cita yang
memiliki kasih dan tepa-selira terhadap sesama. Sukar sekali untuk
membangkitkan rasa yang nyata hanya dengan duduk dalam meditasi dan sekadar
berkata pada diri: “Aku akan jadi lebih mengasihi.” Jadi ketika kita bertanya bagaimana
caranya bermeditasi, satu cara adalah dengan membangun suatu keadaan cita,
seperti contoh menjadi lebih mengasihi dan bertepa-selira tadi. Kita belajar
menggunakan jalan-cerita batin seperti cerita lift kita tadi. Kita
memikirkannya sampai kita memahaminya dan sampai hal itu masuk akal bagi kita.
Dan kemudian, sembari duduk tenang dalam meditasi, sembari membayangkan orang
lain di sekitar kita, entah itu orang yang kita kenal atau tidak, kita mencoba
membangkitkan keadaan cita cinta dan welas asih tersebut.
Cara
lain meditasi adalah dengan menenangkan cita, supaya kita sampai pada keadaan
cita yang lebih alami. Ada pokok teramat penting untuk dipahami di sini: Ketika
kita mencoba menenangkan cita, tujuannya bukanlah bercita kosong,
seperti radio yang dimatikan. Tujuannya bukan itu sama sekali. Anda bisa
tinggal tidur saja kalau memang mau seperti itu. Tujuannya adalah untuk
menenangkan semua keadaan cita yang gelisah. Perasaan-perasaan tertentu
dapat sangat gelisah, seperti misalnya gugup, risau, atau takut. Kita perlu
menenangkan perasaan-perasaan yang gusar semacam itu.
Ketika
kita menenangkan cita, yang ingin kita capai adalah keadaan cita yang jernih
dan awas, suatu keadaan cita yang di dalamnya kita mampu membangkitkan kasih
dan pengertian, atau kita mampu mengungkapkan kehangatan alami manusiawi yang
kita semua miliki. Hal tersebut membutuhkan pengenduran (relaksasi) yang
sangat, sangat mendalam – bukan sekadar pengenduran otot-otot tubuh, yang
tentunya perlu, tapi juga pengenduran ketegangan dan kesesakan batin dan
perasaan yang menghalangi kita merasakan hal apapun – khususnya, yang
menghalangi kita merasakan kehangatan alami dan kejernihan cita. Ini bukan
suatu latihan untuk sekadar padam seperti robot tanpa pikiran sama sekali.
Beberapa
orang juga berpikir bahwa meditasi berarti berhenti berpikir. Itu salah paham.
Bukannya menghentikan semua pikiran, meditasi harus menghentikan pikiran
asing dan tak perlu, seperti pikiran-pikiran menganggu tentang masa
depan (Makan apa aku malam nanti?), dan pikiran yang negatif dan tidak cakap
(Kau jahat padaku kemarin. Kau orang yang mengerikan.). Semua hal itu berada
pada golongan pikiran batin yang lasak dan gelisah.
Akan
tetapi, memiliki cita yang tenang hanyalah alat; bukan tujuan akhirnya. Tapi
jika kita memiliki cita yang lebih tenteram, lebih santai, lebih jernih, dan
lebih terbuka, kita dapat menggunakannya secara lebih membangun. Kita dapat
menggunakannya untuk membantu kita dalam hidup sehari-hari, tentunya; tapi kita
juga dapat menggunakan cita semacam itu sembari duduk dalam meditasi untuk
mencoba memperoleh pemahaman lebih tentang keadaan hidup kita. Dengan pikiran
yang bebas dari perasaan-perasaan gelisah dan pikiran-pikiran asing, kita mampu
berpikir dengan lebih jernih tentang pokok-pokok penting seperti: Apa yang
sudah aku kerjakan dalam hidupku? Atau: Apa yang sedang terjadi dengan hubungan
ini? Apa hubungan ini sehat? Atau tidak sehat? Kita dapat jadi analitis. Ini
disebut mawas diri – menjadi lebih mawas diri tentang apa yang sedang terjadi
dalam diri kita, apa yang sedang terjadi dalam kehidupan kita. Untuk dapat
memahami jenis-jenis persoalan itu dan menjadi mawas diri dalam cara yang
produktif, kita butuh kejernihan. Kita butuh cita yang tenteram dan tenang.
Meditasi adalah alat yang dapat membawa kita ke keadaan itu.
Banyak
naskah meditasi mengajarkan kita untuk membersihkan diri dari pikiran-pikiran
bersekat (konseptual) dan menetap dalam keadaan nirsekat (nonkonseptual).
Pertama-tama, ajaran ini tidak berlaku untuk semua meditasi. Hal tersebut
mengacu secara khusus pada suatu meditasi tingkat lanjut untuk memusatkan diri
pada kenyataan. Bagaimanapun juga, ada satu bentuk kebersekatan yang perlu
dibersihkan dari semua jenis meditasi. Tapi untuk memahami berbagai bentuk
kebersekatan yang dibahas dalam naskah-naskah meditasi, kita perlu memahami apa
yang kita maksud dengan “bersekat”.
Beberapa
orang berpikir bahwa bersekat berarti mengacu pada pikiran normal, pikiran
lisan tiap hari yang melintas di cita kita – yang disebut dengan “suara di
nalar kita” – dan bahwa nirsekat sekadar berarti menenangkan suara itu. Tapi
menenangkan suara di nalar kita hanyalah sebuah permulaan. Kita telah membahas
ini dalam lingkung menenangkan cita dari pikiran-pikiran asing yang gelisah
agar dapat bercita lebih jernih dan tenteram. Orang lain berpikir bahwa untuk
betul-betul memahami sesuatu, kita harus memahaminya secara nirsekat, dan bahwa
pikiran bersekat dan pemahaman yang tepat saling tidak berhubungan. Bukan
begitu perkaranya.
Untuk
mengurai kekusutan mengenai kebersekatan, kita pertama-tama harus membedakan
antara melisankan sesuatu di dalam pikiran kita dengan memahami sesuatu itu.
Kita dapat melisankan sesuatu dalam pikiran kita dengan atau tanpa memahaminya.
Misalnya, dalam hati kita bisa mendaraskan sebuah doa dalam bahasa asing,
dengan atau tanpa memahami artinya. Demikian juga, kita dapat memahami sesuatu
dengan atau tanpa mampu menjelaskannya secara batin lewat kata-kata, misalnya,
bagaimana rasanya jatuh cinta.
Akan
tetapi, persoalan pemahaman bersekat dan nirsekat dalam meditasi bukanlah
persoalan memahami atau tidak memahami sesuatu. Dalam meditasi dan juga dalam
hidup sehari-hari, kita selalu harus menjaga pemahaman kita, entah yang
bersekat atau nirsekat, dan entah kita melisankannya secara batin atau tidak.
Kadang-kadang pelisanan memang membantu; kadang-kadang tidak membantu sama
sekali atau bahkan tidak perlu. Misalnya, mengikat sepatu: kita paham cara
mengikat sepatu kita. Apa Anda betul-betul perlu melisankan apa yang Anda
lakukan dengan tali yang ini atau yang itu ketika Anda mengikatnya? Tidak.
Malahan, saya pikir sebagian besar dari kita bakal kesusahan menggambarkan
dengan kata-kata cara mengikat sepatu. Akan tetapi, kita paham. Tanpa
pemahaman, Anda takkan dapat melakukan apapun dalam hidup, bukan? Membuka pintu
pun Anda tak bisa.
Dari
berbagai sudut pandang, pelisanan pada kenyataannya memang membantu; kita
membutuhkan pelisanan untuk mampu bersambung-wicara dengan sesama. Akan tetapi,
pelisanan dalam pikiran kita tidaklah mutlak perlu; pelisanan itu
sendiri bersifat tawar (netral). Ada beberapa meditasi berguna yang melibatkan
pelisanan. Misalnya, merapal mantra berulang-ulang di dalam hati merupakan
sebuah bentuk pelisanan yang membangkitkan dan memelihara suatu jenis irama
atau getaran tertentu dalam cita. Irama mantra yang teratur sangatlah membantu;
irama tersebut membantu kita tetap terpusat pada suatu keadaan cita tertentu.
Contohnya, ketika membangkitkan welas asih dan cinta; jika Anda melafalkan
mantra seperti OM MANI PEME HUNG, sedikit lebih mudah untuk tetap terpusat pada
keadaan cinta itu, walau tentu saja kita dapat tetap terpusat pada suatu
keadaan cinta tanpa mengatakan apapun secara batin. Jadi pelisanan sendiri
bukanlah masalahnya. Di lain sisi, tentu saja, kita pasti perlu menenangkan
cita kita ketika cita tersebut berceloteh dengan limpahan kata-kata tak
berguna.
Jadi,
jika persoalan kebersekatan bukanlah persoalan mengenai pelisanan atau
pemahaman, soal apa dia? Apa itu cita bersekat dan apa maksud ajaran meditasi
ketika kita diberitahu untuk membersihkan diri darinya? Apakah ajaran ini
berkaitan dengan semua tahapan dan tingkatan dalam meditasi, dan juga dengan
hidup sehari-hari? Adalah penting untuk menjernihkan pokok-pokok masalah ini.
Cita
bersekat berarti berpikir dalam sekat-sekat, yang, dalam istilah
sederhana, berarti memikirkan hal-hal dengan cara menaruh hal-hal tersebut ke
dalam “kotak-kotak”, seperti “baik” atau “buruk”, “hitam” atau “putih”,
“anjing” atau “kucing”. Tentunya saat berbelanja, kita perlu mampu membedakan
antara apel dan jeruk, atau antara buah mentah dan buah matang. Dalam perkara
harian, berpikir dalam sekat-sekat bukanlah masalah. Tapi ada jenis-jenis sekat
yang merupakan masalah. Salah satunya ialah yang kita sebut “purbasangka”.
Satu
contoh purbasangka adalah seperti ini: “Aku anggap kau selalu jahat padaku. Kau
orang yang buruk karena di masa lampau kau melakukan ini dan itu, dan sekarang
aku bisa duga bahwa, entah bagaimanapun juga, kau akan terus menjadi orang yang
buruk.” Kita berpraduga bahwa orang tersebut menyebalkan dan akan terus begitu
terhadap kita – itu namanya purbasangka. Dalam pikiran kita, kita menaruh orang
itu dalam sekat atau kotak “orang menyebalkan”. Dan, tentunya, jika kita
berpikir demikian, kita mengarah menjadi seseorang yang berpikir bahwa: “Dia
jahat; dia selalu jahat padaku,” kemudian ada dinding tinggi menjulang antara
diri kita dan orang itu. Purbasangka kita mempengaruhi cara kita berhubungan
dengannya. Maka, purbasangka ialah suatu keadaan cita dalam mana kita
menyekat-nyekat; kita menaruh hal-hal ke dalam kotak-kotak batin.
Ada
banyak, banyak sekali tingkatan kenirsekatan. Salah satu tingkatannya ialah menjadi
terbuka saja terhadap suatu keadaan saat keadaan itu muncul. Itu tidak berarti
mengabaikan semua pemahaman bersekat. Misalnya, kalau ada seekor anjing yang
telah menggigit banyak orang, kemudian karena kita berpikir tentang anjing itu
dalam sekat “anjing yang menggigit”, kita jadi berhati-hati saat berada di
sekitarnya. Kita jadi memiliki kewaspadaan yang beralasan ketika berada di
sekitar hewan itu, tapi kita tidak memunculkan purbasangka seperti: “Anjing itu
pasti akan menggigitku, jadi mendekatinya pun aku tak mau.” Ada
keseimbangan yang lembut di sini antara menerima keadaan yang sedang muncul,
sekaligus tidak memiliki purbasangka yang akan menghalangi kita untuk mengalami
keadaan itu secara penuh.
Maka,
dalam semua meditasi, tingkat kenirsekatan yang dibutuhkan adalah suatu cita
yang bebas dari purbasangka. Salah satu ajaran yang paling umum diberikan ialah
bermeditasi tanpa harapan dan kekhawatiran apapun. Purbasangka dalam sesi
meditasi dapat berupa harapan bahwa sesi meditasi kita akan berjalan dengan
sangat luar biasa, atau kekhawatiran bahwa kaki kita akan sakit, atau pikiran:
“Aku takkan berhasil.” Pikiran-pikiran harapan dan kekhawatiran itu adalah
purbasangka, entah kita lisankan secara batin atau tidak. Pikiran-pikiran
semacam itu sama saja dengan menaruh sesi meditasi kita ke dalam kotak atau
sekat batin “pengalaman menakjubkan” atau “pengalaman menyakitkan”. Sebuah
pendekatan nirsekat terhadap meditasi secara sederhana dapat berupa tindakan
menerima apapun yang terjadi dan menghadapinya menurut ajaran-ajaran meditasi,
tanpa menaruh penilaian apapun terhadap keadaan itu.
Kita
juga pastinya membutuhkan suasana yang mendukung untuk meditasi. Beberapa orang
berpikir bahwa suasana yang mendukung itu haruslah seperti apa yang saya sebut
“latar Hollywood”. Orang pikir mereka butuh sebuah ruangan khusus dengan lilin
dan musik dan dupa jenis tertentu; mereka pikir mereka membutuhkan seperangkat
latar-panggung film Hollywood. Kalau Anda ingin bermeditasi di
lingkungan semacam itu, boleh-boleh saja; tapi yang jelas hal tersebut tidaklah
perlu. Kita perlu menghormati diri kita sendiri dan apa yang sedang kita
lakukan dengan meditasi; jadi, yang biasanya dianjurkan ialah tempat yang rapi
dan bersih. Biasanya, caranya adalah dengan membersihkan ruangan tempat Anda
akan bermeditasi. Atur ruangan dengan baik; jangan sampai ada pakaian
berserakan di lantai, dsb. Kalau lingkungan di sekitar kita teratur, hal
tersebut membantu cita untuk jadi teratur pula. Jika lingkungannya acak-acakan,
hal tersebut secara negatif akan mempengaruhi cita.
Akan
sangat membantu pula, khususnya di awal-awal, jika lingkungannya tenang. Dalam
adat Buddha, kita jelas tidak bermeditasi dengan musik. Musik adalah sumber
luar yang kita putar untuk mencoba membuat diri kita lebih tenteram. Namun,
daripada bersandar pada sumber ketenteraman luar, kita mau mampu
membangkitkan kedamaian dari dalam. Juga, musik bisa jadi bersifat
membuai, dan kita tidak ingin berada dalam keadaan linglung. Kita tidak perlu
menenangkan diri, seolah-olah kita ini berada di ruang tunggu dokter gigi,
dengan musik lembut yang mengalun untuk menenteramkan hati. Itu bukan suasana
meditasi yang baik.
Mengenai
sikap tubuh saat meditasi, jika kita melihat berbagai aliran di Asia, terdapat
banyak cara duduk meditasi. Orang Tibet dan India duduk dengan kaki bersila;
orang Jepang berlutut dengan kaki mereka ditekuk ke belakang; orang di Thailand
duduk dengan kedua kaki ditekuk ke satu sisi. Yang terpenting ialah duduk
dengan sikap yang nyaman. Kalau Anda merasa perlu duduk di kursi, boleh saja.
Baru dalam latihan meditasi di tingkat yang amat lanjutlah, dalam mana kita
berlatih dengan berbagai tata tenaga di dalam tubuh, sikap tubuh jadi penting.
Tapi pada umumnya kita harus mampu bermeditasi dalam jenis suasana apapun. Anda
mungkin terbiasa duduk bersila di atas bantal, tapi kalau Anda berada di
pesawat atau kereta api dan Anda tak dapat bersila, maka Anda cukup bermeditasi
sembari duduk seperti biasa di tempat duduk Anda.
Khususnya
untuk para pelaku meditasi yang masih belum berpengalaman, lingkungan yang
tenang itu penting. Bagi banyak dari kita, tidaklah mudah untuk menemukan
tempat yang tenang, khususnya di kota. Jadi banyak orang yang bermeditasi
pagi-pagi sekali atau larut malam ketika suara bising tidak begitu banyak
terdengar. Lambat laun, ketika kita sudah cukup lanjut, suara bising tidak lagi
mengganggu kita, tapi di awal-awal kita akan lebih mudah terganggu oleh suara
bising dari luar.
Pada
umumnya, adalah penting bagi kita pribadi untuk menentukan sendiri dalam satu
hari kapan waktu yang terbaik bagi kita untuk bermeditasi. Contohnya, banyak
orang yang mendapati bahwa tenaga mereka menurun setelah makan; mereka jadi
lelah, maka itu bukanlah waktu terbaik untuk bermeditasi. Beberapa orang sangat
segar dan sigap ketika mereka bangun di pagi hari, tapi yang lain malah merasa
pusing. Beberapa orang lebih awas di malam hari, tapi yang lain bersusah-payah
untuk tetap terjaga ketika mereka mencoba bermeditasi sebelum tidur; dan hal
tersebut tidaklah produktif. Jadi, penting untuk menentukan sendiri dalam satu
hari kapan waktu yang paling sesuai untuk Anda.
Kita
juga perlu mencari tahu sikap tubuh yang seperti apa yang terbaik bagi kita.
Kalau kita duduk bersila, contohnya, kita selalu dianjurkan untuk menggunakan
bantal sebagai alas. Tapi ada juga banyak orang yang tidak menggunakannya. Dan
jika Anda menggunakannya, Anda perlu memperhatikan jenis bantal seperti apa
yang akan digunakan: tebal atau tipis, keras atau lembut. Anda perlu mencari
jenis bantal dan jenis sikap tubuh yang akan memperkecil kemungkinan kaki Anda
kesemutan dan yang akan mencegah sesi meditasi Anda menjadi sesi yang
menyakitkan dan tak nyaman. Sesi meditasi seharusnya tidak menjadi sesi siksaan
dimana kita duduk dengan merasa sesak karena lutut kita sakit dan kita tak
sanggup menunggu sampai sesi berakhir. Jadi jenis bantal yang Anda gunakan
cukup penting jadi pertimbangan; hasilnya bisa jauh berbeda. Dan ketika kita
bertambah tua dan tak bisa lagi duduk bersila, tidak masalah jika kita duduk di
kursi, namun punggung kita harus tegak.
Juga,
lama waktu meditasi kita akan berbeda-beda sesuai dengan kemajuan yang telah
kita buat. Pada awalnya, selalu dianjurkan agar kita bermeditasi dalam waktu
yang sangat singkat – tiga sampai lima menit – karena akan sangat sulit bagi
kita untuk memusatkan perhatian lebih lama dari itu. Lebih baik kita
bermeditasi dalam jangka waktu yang singkat tapi perhatian kita terpusat,
daripada kita berlama-lama tapi pikiran kita melayang entah kemana, kita
berkhayal, atau tertidur.
Jika
kita melakukan sejenis meditasi Zen tertentu, maka mempertahankan sikap tubuh
dan tidak bergerak sama sekali adalah hal penting. Dalam jenis-jenis meditasi
lainnya, jika kita perlu menggerakkan kaki, kita bisa melakukannya – itu bukan
masalah besar. Dalam semua jenis latihan kerohanian ini, yang penting adalah
supaya kita santai; jangan terlalu memaksakan diri. Tentu saja, kita harus
menghormati apa yang sedang kita lakukan, tapi jangan terlalu heboh, seperti
dengan berpikir: “Aku adalah makhluk suci yang duduk di sini dan aku harus
sempurna.”
Salah
satu asas terpenting untuk diingat adalah bahwa segala sesuatu itu naik turun.
Kadang-kadang meditasi kita berlangsung baik; kadang tidak begitu baik. Kadang
kita merasa senang bermeditasi; kadang tidak begitu. Tidak akan pernah terjadi
bahwa setiap hari meditasi kita semakin baik, dan semakin baik, dan semakin
baik terus-menerus. Kemajuan tidak berjalan seperti garis lurus; selalu naik
turun. Mungkin, setelah beberapa tahun, Anda akan mampu melihat kecenderungan
umum bahwa latihan meditasi Anda berkembang, tapi akan selalu demikian: ada
hari-hari ketika meditasi kita lebih baik dibanding hari-hari lainnya. Seperti
yang dikatakan oleh salah satu guru saya: “Biasa saja.” Kalau berlangsung baik
– biasa saja. Kalau tidak baik – biasa saja. Anda cukup lanjut saja. Yang
terpenting ialah tekun. Bermeditasilah setiap hari. Seperti latihan main piano,
Anda harus melakukannya setiap hari. Dan kalaupun Anda melakukannya hanya untuk
beberapa menit sekali waktu, tak apa. Ambil waktu rehat, lalu bermeditasilah
untuk beberapa menit lagi. Rehat sebentar lagi, dan bermeditasilah untuk
beberapa menit lagi. Lebih baik berlatih seperti itu daripada duduk selama satu
jam dalam satu sesi yang menyiksa.
Banyak
orang yang ingin tahu: bagaimana cara saya memulai meditasi? Bagi kebanyakan
orang, dalam berbagai aliran, cara kita memulainya adalah dengan meditasi yang
memusatkan perhatian pada nafas. Ketika Anda bermeditasi pada nafas, Anda cukup
bernafas sebagaimana biasanya: tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat, tidak
terlalu dalam, tidak terlalu pendek. Bernafaslah seperti biasa saja lewat
hidung. Anda tentunya tidak ingin berlebihan; kalau Anda bernafas terlalu
dalam, Anda jadi sangat, sangat pusing dan hal tersebut tidak membantu meditasi
kita.
Anda
dapat memusatkan perhatian pada nafas di dua tempat: pada kesan-rasa ketika
nafas mengalir masuk dan keluar lewat hidung, atau kesan-rasa ketika perut mengembang
dan mengempis. Bila cita Anda mengembara dan Anda berada di awang-awang – yang
dalam bahasa Inggris kita sebut “spaced out” (Ind. mengerawang) – maka
memusatkan perhatian pada wilayah perut di sekitar pusar yang mengembang dan
mengempis akan membantu Anda “membumi” kembali. Jika, sebaliknya, Anda jadi
sangat mengantuk dan bosan, maka pusatkan perhatian pada kesan-rasa nafas yang
mengalir masuk dan keluar lewat hidung; itu akan membantu melejitkan tenaga
Anda kembali. Jadi, sekali lagi, Anda yang menilai dan memutuskan untuk diri
Anda sendiri apa yang Anda butuhkan pada setiap saat. Pokok umumnya adalah
untuk terpusat pada nafas dengan kesadaran. Anda tidak memadamkan cita
Anda; Anda menyadari kesan-rasa nafas Anda, tanpa perlu menilai-nilainya di
dalam cita.
Tugas
Anda yang sebenarnya adalah untuk mengenali sesegera mungkin ketika perhatian
Anda melayang jauh dan kemudian membawanya turun kembali. Atau, jika Anda mulai
bosan dan mengantuk, Anda perlu membangunkan diri Anda. Itulah tugas yang mesti
Anda penuhi di sini. Dan jangan membodohi diri sendiri: tugas ini memang tidak
gampang, karena kita cenderung sangat melekat dengan pikiran dan kelana batin
kita, dan kita lupa bahwa kita harus menjemput perhatian kita pulang.
Khususnya, jika ada perasaan yang gelisah yang terlibat dalam pikiran, seperti
memikirkan seseorang yang sangat melekat pada kita, seseorang yang kita
rindukan, atau seseorang yang membuat kita betul-betul kesal, bahkan lebih
sulit lagi untuk mengembalikan perhatian kita. Tapi nafas selalu ada; ia adalah
sesuatu yang tetap dan selalu dapat memanggil perhatian kita untuk kembali
padanya.
Pemusatan
perhatian pada nafas juga punya beberapa manfaat lain. Nafas sangat terhubung
dengan tubuh. Dan jika kita adalah jenis orang yang terlalu terpaku pada
pikiran-pikiran atau jika kita adalah seseorang yang “kepalanya
mengawang-awang”, maka memusatkan perhatian pada nafas, terlepas dari perhatian
pada nafas di lubang hidung atau perut, dapat membantu menjejakkan kembali kaki
pikiran kita pada bumi, membawa kita kembali kepada tubuh, kepada kenyataan.
Memusatkan perhatian pada nafas juga sangat membantu jika kita merasa
kesakitan. Malah, meditasi nafas telah dipakai di beberapa rumah sakit,
khususnya di Amerika Serikat, untuk mengelola rasa sakit. Coba Anda
pikir-pikir, ketika seorang bayi menangis, dan ibunya merebahkan si bayi ke
dadanya, bayi itu merasakan nafas si ibu mengalir masuk dan keluar, dan itu
sangat menenteramkan. Demikian pula, jika kita memusatkan perhatian pada nafas
kita sendiri, hal tersebut dapat membantu menenteramkan kita, khususnya jika
kita merasa sangat kesakitan. Dan bernafas juga dapat meredakan bukan hanya
rasa sakit jasmani; tapi juga meredakan atau mengurangi rasa sakit perasaan.
Berikutnya,
Anda harus tahu apa yang Anda lakukan dengan mata Anda. Dalam beberapa aliran,
Anda bermeditasi dengan mata tertutup. Keuntungannya ialah Anda mengalami lebih
sedikit gangguan. Kerugian bermeditasi dengan mata tertutup ialah Anda lebih
mudah tertidur. Kerugian lainnya bermeditasi dengan mata tertutup adalah bahwa
hal tersebut membuat Anda terbiasa: agar bisa tenang atau bermeditasi, Anda
harus menutup mata; dan hal ini kerap sukar dilakukan di kehidupan nyata. Orang
Tibet bermeditasi dengan mata terbuka, tidak terbuka lebar dan melihat ke
sekeliling; tapi hanya melihat dengan tatapan lembut, tidak terpusat, dan
terarah ke lantai. Sekali lagi, kita yang menilai dan memutuskan mana yang
terbaik.
Begitu
kita telah menenangkan cita kita dengan meditasi nafas, kita dapat menggunakan
keadaan cita yang tenang dan awas itu. Kita dapat menggunakannya untuk menjadi
lebih waspasda terhadap keadaan perasaan kita, tapi kita juga dapat
menggunakannya, misalnya, dalam sebuah meditasi untuk membangkitkan rasa kasih
terhadap sesama. Untuk membangkitkan kasih, Anda perlu berlatih sampai berada
pada tataran kasih. Pada awalnya, Anda tidak bisa hanya berpikir: “Kini aku
mengasihi semua orang” dan kemudian benar-benar merasakannya. Tidak ada
kekuatan di balik pikiran semacam itu. Jadi, Anda dapat menggunakan sebuah
olahan pikiran untuk melatih diri sampai pada perasaan kasih, seperti: “Semua
makhluk hidup saling terhubung; kita di sini semua bersama-sama. Setiap orang
itu sama: kita semua ingin bahagia, tidak ada yang ingin tidak bahagia; setiap
orang ingin disenangi, tidak ada yang ingin tidak disenangi atau diabaikan.
Semua makhluk persis seperti aku.”
Dan
karena kita semua di sini bersama-sama dan saling terhubung, maka kasih adalah
perasaan: “Semoga setiap orang berbahagia dan memiliki sebab untuk bahagia.
Betapa menakjubkan jadinya jika setiap orang bahagia, jika tidak ada orang yang
memiliki masalah apapun.” Dan dengan membangun diri sampai pada tataran cita
ini, dan hati kasih ini, kemudian kita membayangkan seberkas sinar kuning yang
nyaman seperti sang surya, bersinar dari kita, dengan kasih, memancar menerpa
setiap orang lain. Jika perhatian kita melayang-layang, kita bawa kembali ke
perasaan ini: “Semoga setiap orang berbahagia.”
Jika
kita membiasakan diri kita dengan jenis-jenis meditasi ini, kita mengembangkan
seperangkat alat yang dapat kita gunakan dalam hidup kita sehari-hari. Hanya
memusatkan perhatian pada nafas saja bukanlah satu-satunya kegiatan hidup
sehari-hari kita. Bukan itu tujuan akhirnya, kan? Akan tetapi, keterampilan
yang telah kita kembangkan, kemampuan untuk selalu membawa perhatian kita
kembali pada pemusatan – kita pastinya dapat menggunakan itu dalam hidup
sehari-hari. Misalnya, jika kita sedang bercakap-cakap dengan seseorang dan
cita kita mulai berkelana, dan kita berpikir: “Kapan dia diam?” dan kita
membuat segala macam penilaian dan cibiran di dalam cita kita tentang apa yang
dia katakan, segera setelah kita menyadari apa yang sedang terjadi, kita harus
menenangkan semua itu dan membawa perhatian kita kembali kepada orang tersebut
dan kepada apa yang sedang ia katakan. Kita menggunakan keterampilan yang kita
latih dalam meditasi untuk membangkitkan pemahaman: “Ini seorang manusia. Dia
ingin disukai. Dia ingin disimak ketika bicara denganku. Dia ingin ditanggapi
dengan sungguh-sungguh, persis sama seperti aku.”
Jadi
tujuannya adalah untuk mampu menerapkan keterampilan yang kita kembangkan dalam
meditasi pada pengalaman hidup sehari-hari. Kita tidak bertujuan untuk
memperoleh medali emas Olimpiade karena mampu duduk sempurna dalam meditasi;
bukan itu tujuannya! Alih-alih, kita ingin meditasi agar latihan meditasi
tersebut membantu kita dalam hidup kita, baik secara pribadi maupun dalam
hubungan kita dengan sesama. Dan untuk melakukan itu, kita harus membangun
kebiasaan-kebiasaan yang lebih bermanfaat. Itulah meditasi.
Arsip Dr. Alexander Berzin
Transkripsi diedit oleh Kimberly Fitzmorgan dan
Alexander BerzinSumber : transcript.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^