Minggu, 12 Mei 2013

Kisah Hidup Buddha Shakyamuni (Buddha Gautama)


Alexander Berzin, Februari 2005, diperbaiki April 2007

Pendahuluan
Menurut penanggalan tradisional, Buddha Shakyamuni, yang juga dikenal sebagai Buddha Gautama, hidup dari 566 sampai 485 SM di India utara-tengah. Sumber-sumber agama Buddha memuat beragam catatan mengenai kehidupannya, dengan perincian lebih lengkap muncul
secara bertahap seiring perjalanan waktu. Karena naskah Buddha pertama ditulis tiga abad setelah kematian Buddha, sulit untuk menentukan ketepatan perincian yang dimuat oleh catatan-catatan itu. Selain itu, hanya karena perincian tertentu dalam bentuk tertulis muncul lebih akhir daripada yang lain, ini bukanlah alasan yang memadai untuk mengurangi keabsahannya. Banyak perincian bisa berlanjut diteruskan turun-temurun dalam bentuk lisan setelah yang lain dituliskan.
Sementara itu, biografi hikayat hidup guru-guru besar Buddha, termasuk Buddha sendiri, biasanya disusun untuk tujuan pendidikan dan bukan untuk menjaga catatan sejarah. Lebih khusus, hikayat hidup para guru besar dibuat dalam cara tertentu untuk mengajar dan mengilhami penganut Buddha supaya mereka mengambil jalan batin menuju pembebasan dan pencerahan. Oleh karena itu, untuk memperoleh manfaat dari kisah hidup Buddha, kita perlu memahaminya dalam latar ini dan mengurai pelajaran-pelajaran yang bisa kita peroleh darinya.
Sumber
Sumber-sumber paling awal untuk kehidupan Buddha terdiri dari, di dalam kitab-kitab Theravada, sejumlah sutta dari Kumpulan Wacana-Wacana dengan Panjang Menengah (Pali: Majjhima Nikaya) dan, dari beragam aliran Hinayana, sejumlah naskah Vinaya berkenaan aturan tata-tertib biara. Masing-masing naskah itu, bagaimanapun, hanya memberikan potongan-potongan mengenai kisah hidup Buddha.
Catatan pertama yang lebih luas muncul dalam karya-karya puisi tentang ajaran Buddha di akhir abad ke-2 SM, seperti Guru-Guru Besar (Skt. Mahavastu) mengenai aliran Mahasanghika Hinayana. Naskah ini, meskipun berada di luar Tiga Kumpulan Mirip Keranjang (Skt. Tripitaka, Tiga keranjang), menambahkan, salah satunya, perincian bahwa Buddha lahir sebagai pangeran dalam keluarga bangsawan. Karya puitis lainnya muncul dalam naskah aliran Sarvastivada Hinayana: Lelakon Panjang Sutra (Skt. Lalitavistara Sutra). Kemudian, versi-versi Mahayana dari naskah ini (rGya-cher rol-pa’i mdo) meminjam dan memerinci berdasarkan versi awal ini, misalnya dengan menjelaskan bahwa Shakyamuni telah tercerahkan berabad-abad lampau dan, kemunculannya sebagai Pangeran Siddharta bertujuan menunjukkan jalan untuk mencapai pencerahan sehingga bisa menuntun orang lain.
Akhirnya, beberapa hikayat hidup tersebut dimasukkan ke dalam Tiga Kumpulan Mirip Keranjang. Yang paling terkenal adalah Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt. Buddhacarita) karya pujangga Ashvaghosha, yang ditulis pada abad pertama masehi. Versi-versi lain bahkan muncul lebih akhir di dalam tantra, seperti dalam naskah Chakrasamvara. Di dalamnya, kita menemukan catatan bahwa, meski tampaknya Shakyamuni mengajar Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan (Prajnaparamita Sutra, Sutra Penyempurna Kebijaksanaan ), Buddha secara terus-menerus muncul sebagai Vajradhara dan mengajarkan tantra.
Dari tiap catatan, kita bisa mempelajari sesuatu dan mendapatkan ilham. Mari kita secara pokok melihat versi-versi yang menggambarkan sosok Buddha di masa lalu.
Kelahiran, Kehidupan Awal, dan Penyerahan
Menurut catatan-catatan paling awal, Shakyamuni lahir dalam keluarga satria yang kaya di kerajaan Shakya, dengan ibukota Kapilawastu, di perbatasan India dan Nepal sekarang. Tidak ada pernyataan bahwa ia lahir sebagai pangeran dalam keluarga bangsawan. Kelahirannya sebagai pangeran dan nama pangerannya, Siddhartha, baru muncul dalam catatan-catatan selanjutnya. Ayahnya bernama Shuddhodana. Dalam versi-versi selanjutnya, nama ibunya, Maya-dewi, juga muncul, seperti halnya catatan tentang dirinya yang mengandung Buddha secara ajaib di dalam mimpinya tentang gajah bergading enam yang memasuki sisi tubuhnya, dan ramalan dari Asita yang bijak bahwa anak itu akan menjadi raja hebat atau orang bijak yang agung. Yang juga muncul selanjutnya adalah gambaran tentang kelahiran murni Buddha, yang terjadi tidak jauh dari Kapilawastu di Hutan Lumbini, dengan Buddha lahir keluar dari sisi tubuh ibunya, berjalan tujuh langkah dan berkata, “Aku telah tiba,” dan ibunya meninggal setelah melahirkan.
Sebagai anak muda, Buddha menjalani kehidupan menyenangkan. Ia menikah dan memiliki anak lelaki, Rahula. Dalam versi-versi selanjutnya, nama istrinya, Yashodhara, muncul. Di usia 29 tahun, Buddha meninggalkan kehidupan keluarga dan warisan bangsawannya, lalu menjadi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma (Skt. shramana).
Penting bagi kita untuk melihat penyerahan diri Buddha ini di dalam latar belakang masyarakat dan zamannya. Dengan menjadi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma, Buddha tidak meninggalkan istri dan anaknya hidup sendiri dalam kemiskinan. Mereka tentu telah dirawat oleh keluarga besarnya. Selain itu, keanggotaan Buddha sebagai kasta satria berarti ia pasti akan meninggalkan rumahnya suatu hari untuk pergi bertempur. Keluarga satria menerima hal ini sebagai kewajiban si lelaki. Satria di India kuno tidak membawa keluarganya di kemah militer.
Meskipun pertempuran bisa dilakukan terhadap musuh dari luar, pertempuran sejati adalah melawan musuh dari dalam diri, dan ini pertempuran yang didatangi Buddha. Pilihan Buddha untuk meninggalkan keluarganya demi tujuan ini menandakan bahwa pencari jalan batin memiliki tugas untuk mengabdikan seluruh hidupnya bagi tujuan yang sama. Dalam dunia modern kita, bagaimanapun, bila kita meninggalkan keluarga kita untuk menjadi biksu dan terlibat dalam pertempuran di dalam diri ini, kita perlu memastikan bahwa mereka terurus dengan baik. Ini berarti memenuhi kebutuhan bukan hanya mitra pernikahan dan anak kita, tapi juga orangtua kita. Namun, apakah kita meninggalkan keluarga kita atau tidak, pencari jalan batin Buddha mengemban tugas untuk mengurangi duka dengan mengatasi kecanduan pada kesenangan, sebagaimana dilakukan Buddha.
Untuk mengatasi duka, Buddha ingin memahami sifat dasar dari kelahiran, sakit, kematian, kelahiran kembali, kesedihan, dan kebingungan. Versi yang lebih panjang tentang ini muncul kemudian dalam bentuk kisah Channa, seorang pengemudi kereta kuda, yang membawa Buddha dalam perjalanan mengelilingi kota. Ketika Buddha melihat orang-orang yang sakit, tua, mati, dan yang menjadi petapa, Channa menjelaskan kepadanya tentang diri mereka. Dalam cara ini, Buddha lalu sungguh mengenali duka sejati yang dialami setiap orang dan jalan keluar yang mungkin darinya.
Kisah ini, yang melibatkan penerimaan pertolongan dalam jalan batin dari seorang pengemudi kereta kuda, setara dengan catatan Bhagavad Gita mengenai Arjuna, yang diceritakan oleh pengemudi kereta kudanya, Krishna, mengenai perlunya menjalankan tugasnya sebagai pejuang dan bertempur melawan keluarganya. Dalam kisah Buddha dan Hindu tersebut, kita bisa melihat arti penting melampaui tembok nyaman kehidupan kita berupa hal-hal yang kita akrabi dan tidak pernah meninggalkan tugas kita untuk menemukan kebenaran. Dalam tiap kasus, kereta kuda mewakili, mungkin, kendaraan cita yang mengarah pada pembebasan, dan kata-kata pengemudi kereta kemudian mewakili kekuatan yang menggerakkan kendaraan ini, yakni kebenaran akan kenyataan.
Kajian dan Pencerahan
Sebagai pencari kehidupan batin yang mengembara dan tidak menikah, Buddha belajar bersama dua guru tentang cara-cara untuk mencapai beragam tingkat kemantapan jiwa (Skt. dhyana) dan penyerapan arupa. Meskipun ia mampu mencapai keadaan-keadaan mendalam berupa konsentrasi sempurna yang di dalamnya ia tidak lagi mengalami duka nestapa atau bahkan kebahagiaan duniawi biasa, ia tidak puas. Keadaan-keadaan tingkat tinggi itu hanya tersedia untuk sementara, bukan kelegaan tetap dari perasaan-perasaan tercemar itu dan tentu tidak menghilangkan duka universal mendalam yang ingin ia atasi. Kemudian, ia berlatih bertapa dengan sangat keras bersama lima teman, tapi ini juga tidak menghapus masalah-masalah lebih mendalam yang terkait dengan kelahiran kembali yang terus berulang tanpa kendali (Skt. samsara). Baru di catatan-catatan lebih lanjut, disebutkan tentang Buddha yang menghentikan puasa enam tahunnya di pinggir Sungai Nairanjana, tempat gadis Sujata memberinya semangkuk air beras.
Bagi kita, contoh Buddha menandakan sikap untuk tidak puas dengan hanya menjadi sepenuhnya tenang atau menjadi “tinggi” saat meditasi, apalagi bila hanya menggunakan sarana buatan seperti obat-obatan. Menarik diri ke dalam keadaan kesurupan mendalam atau menyiksa atau menghukum diri sendiri juga bukanlah jalan keluar. Kita harus berusaha sekuat tenaga dalam menuju pembebasan dan pencerahan serta tidak terpuaskan dengan cara-cara batin yang tidak bisa membawa kita mencapai tujuan itu.
Setelah meninggalkan kehidupan bertapa, Buddha bermeditasi sendiri di dalam hutan, untuk mengatasi ketakutan. Yang mendasari ketakutan adalah sikap memuja diri dan usaha menggenggam keberadaan “aku” yang mustahil, yang lebih kuat daripada hal-hal yang mendasari pencarian hebat akan kesenangan dan hiburan. Sehingga, dalam Cakra Senjata-Senjata Tajam, guru India di abad ke-10 M, Dharmarakshita, menggunakan gambaran burung merak yang mengembara di hutan penuh tumbuhan beracun untuk mewakili bodhisattwa yang memakai dan mengubah perasaan beracun seperti hasrat, kemarahan, dan kenaifan untuk mengatasi sikap memuja diri dan usaha menggenggam “aku” yang mustahil.
Setelah banyak bermeditasi, Buddha mencapai pencerahan sempurna di usia 35 tahun. Catatan-catatan selanjutnya memberikan perincian tentang pencapaian ini di bawah pohon bodhi di daerah yang sekarang Bodh Gaya, setelah berhasil mengalahkan serangan Mara. Dewa Mara yang cemburu mencoba mencegah pencerahan Buddha dengan memunculkan hal-hal yang menakutkan dan menggoda untuk mengganggu meditasi Buddha di bawah pohon bodhi.
Dalam catatan-catatan awal, Buddha mencapai pencerahan dengan meraih tiga jenis pengetahuan: pengetahuan lengkap tentang seluruh kehidupan lampaunya, tentang karma dan kelahiran kembali semua orang lain, dan Empat Kebenaran Mulia. Catatan-catatan selanjutnya menerangkan bahwa, dengan pencerahan, ia mencapai kemahatahuan.
Mengajar dan Mendirikan Sebuah Komunitas Wihara
Setelah mencapai pembebasan dan pencerahan, Buddha mengalami keraguan untuk mengajar orang lain cara mencapai hal yang sama. Ia merasa, tak seorang pun akan bisa paham. Namun, dewa India, Brahma dan Indra, memohon kepadanya untuk mengajar. Menurut ajaran-ajaran Brahma yang kemudian berkembang menjadi ajaran Hindu, Brahma adalah pencipta semesta dan Indra adalah Raja para Dewa. Dalam permintaannya, Brahma berkata kepada Buddha, dunia akan menderita tanpa akhir bila ia tidak mengajar, dan paling tidak sebagian orang akan memahami kata-katanya.
Perincian ini mungkin merupakan unsur sindiran yang menandakan kebesaran ajaran Buddha, yang melampaui cara-cara yang ditawarkan aliran-aliran batin India pada masa itu. Bagaimanapun juga, jika dewa-dewa tertinggi sampai mengakui bahwa dunia membutuhkan ajaran Buddha karena mereka tidak memiliki cara untuk mengakhiri duka semua orang secara tetap; kita pengikut biasa jelas lebih membutuhkan ajaran ini. Lebih lanjut, dalam gambaran pengikut Buddha, Brahma mewakili kebanggaan yang sombong. Keyakinannya yang keliru bahwa ia adalah pencipta mahakuasa mewakili contoh sempurna dari keyakinannya yang keliru akan keberadaan diri sebagai “aku” yang mustahil—yakni, sebagai “aku” yang bisa mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan. Keyakinan yang membingungkan seperti itu jelas membawa ketidakpuasan dan duka. Hanya ajaran Buddha tentang cara masing-masing kita berada yang bisa menawarkan jalan menuju penghentian sejati dari duka sejati dan penyebab sejatinya.
Menerima permintaan Brahma dan Indra, Buddha pergi ke Sarnath dan, di Taman Rusa (Skt. Mrgadava) di sana, mengajarkan Empat Kebenaran Mulia kepada lima mantan teman bertapanya. Dalam gambaran pengikut Buddha, rusa mewakili kelembutan dan ini berarti Buddha mengajar dengan cara lembut yang menghindari ujung kehidupan kesenangan belaka atau kehidupan bertapa.
Tidak lama kemudian, sejumlah lelaki muda di dekat Varanasi bergabung dengan Buddha sebagai pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma, yang taat hidup tanpa perkawinan. Orangtua mereka menjadi pengikut awam dan mulai mendukung kelompok itu dengan derma. Setelah anggota menjadi cukup terlatih dan cakap, Buddha mengutus mereka untuk mengajar orang lain. Dengan demikian, kelompok pengikut Buddha ini berkembang cepat dan dengan segera mereka menetap dan membentuk komunitas-komunitas “wihara” tunggal di berbagai tempat.
Buddha mengatur komunitas-komunitas wihara ini menurut panduan praktis. Biksu, jika kita bisa menggunakan istilah itu di masa awal ini, dapat mengizinkan calon biksu untuk bergabung dengan komunitasnya, tapi calon ini harus mengikuti batasan-batasan tertentu untuk menghindari benturan dengan penguasa politik. Oleh karena itu, Buddha tidak mengizinkan pelaku kejahatan, orang yang bertugas di pelayanan kerajaan seperti di militer, budak yang belum dibebaskan, dan penderita penyakit menular seperti kusta, untuk bergabung dengan komunitas wihara. Selain itu, tak seorang pun di bawah usia 20 tahun yang bisa diterima. Buddha ingin menghindari masalah apa pun dan ingin mendapatkan penghormatan dari masyarakat untuk komunitasnya dan ajaran Dharma. Ini menunjukkan kepada kita bahwa, sebagai pengikut Buddha, kita harus menghormati adat setempat dan bertindak secara terhormat sehingga orang-orang akan memiliki kesan baik terhadap ajaran Buddha dan kemudian menghormatinya.
Tidak lama kemudian, Buddha kembali ke Magadha, kerajaan tempat Bodh Gaya berada. Ia diundang ke ibu kotanya, Rajagrha—saat ini Rajgir—oleh Raja Bimbisara, yang menjadi mitra dan pengikutnya. Di sana, temannya, Shariputra dan Maudgalyayana juga bergabung dengan kelompok Buddha yang makin berkembang dan menjadi pengikutnya yang paling dekat.
Setelah setahun mengalami pencerahan, Buddha kembali ke kota asalnya Kapilawastu, tempat anaknya, Rahula, mulai bergabung dengan kelompoknya. Saudara tiri Buddha, Nanda yang tampan, telah meninggalkan rumah dan bergabung lebih awal. Ayah Buddha, Raja Shuddhodana, sangat sedih karena garis keturunannya terpotong, sehingga ia meminta Buddha supaya, di masa mendatang, seorang anak laki-laki harus mendapat persetujuan orangtuanya untuk bergabung dengan wihara. Buddha sepenuhnya setuju. Pokok dari catatan ini bukanlah mengenai kejamnya Buddha terhadap ayahnya sendiri, tapi lebih tentang pentingnya tidak membuat keinginan buruk terhadap ajaran Buddha, terutama di dalam keluarga kita sendiri.
Catatan selanjutnya yang muncul tentang pertemuan Buddha dengan keluarganya adalah mengenai Buddha yang menggunakan kekuatan di-atas-raga untuk menuju Surga Tiga Puluh Tiga Dewa, yang menurut beberapa sumber adalah Surga Tushita dan mengajar ibunya, yang telah mengalami kelahiran kembali di sana. Hal ini menandakan pentingnya menghormati dan membalas kebaikan seorang ibu.
Pertumbuhan Kelompok Wihara
Komunitas-komunitas awal biksu Buddha berukuran kecil, berjumlah kurang dari 20 orang. Masing-masing bersifat mandiri dan memiliki seperangkat batasan bagi biksu dalam mengumpulkan derma. Tindakan dan keputusan tiap komunitas diputuskan oleh kesepakatan tiap anggotanya, untuk menghindari pertentangan. Tak seorang pun ditentukan sebagai penguasa tunggal. Buddha mengamanatkan mereka supaya menggunakan ajaran Dharma itu sendiri sebagai penguasa. Bahkan aturan wihara itu sendiri juga bisa diubah, jika perlu, tapi perubahan apa pun hanya bisa dibuat berdasarkan kesepakatan dalam komunitas itu secara keseluruhan.
Raja Bimbisara mengusulkan supaya Buddha menggunakan adat kelompok batin lainnya yang juga hidup dari derma, seperti kelompok Jain, yang melaksanakan pertemuan empat kali dalam sebulan. Menurut adat ini, anggota komunitas batin ini bertemu di setiap awal masa bulan seperempat untuk membicarakan ajaran-ajaran Jain. Buddha setuju, yang menunjukkan dirinya terbuka pada usulan-usulan untuk mengikuti adat pada masa yang bersangkutan. Sebenarnya, Buddha menyesuaikan banyak unsur dari komunitas batinnya dan susunan ajarannya dengan kelompok Jain. Mahawira, pendiri ajaran Jain, hidup sekitar setengah abad sebelum Buddha.
Shariputra segera meminta Buddha untuk merumuskan aturan bagi kehidupan wihara. Namun, Buddha memutuskan untuk menunggu sampai masalah tertentu muncul kemudian membuat suatu sumpah untuk menghindari terulangnya peristiwa serupa. Buddha mengikuti kebijakan ini dengan mempertimbangkan tindakan yang bersifat merusak, yang berbahaya bagi siapa pun yang melakukannya, dan tindakan yang secara etis bersifat netral yang terlarang bagi orang tertentu dalam keadaan tertentu dan untuk alasan tertentu. Dengan demikian, aturan tata tertib (Skt. vinaya) bersifat pragmatis dan dirumuskan untuk tujuan tertentu, dengan pertimbangan utama Buddha adalah menghindari masalah dan tidak menyebabkan kerugian.
Berdasarkan aturan tata tertib ini, Buddha menetapkan diadakannya pengulangan sumpah saat pertemuan wihara seperempat bulan sekali, bersamaan dengan biksu mengakui secara terbuka adanya pelanggaran aturan. Sebagian besar pelanggaran aturan yang serius diikuti dengan dikeluarkannya yang bersangkutan dari komunitas, sementara yang lain hanya berupa hukuman percobaan. Di masa-masa berikutnya, pertemuan macam ini hanya dilaksanakan dua bulan sekali.
Adat berikut yang ditetapkan oleh Buddha adalah retret musim hujan selama tiga bulan (Skt. varshaka), yakni saat biksu tinggal di satu tempat dan menghindari perjalanan apa pun. Tujuannya adalah mencegah biksu merusak panen apa pun saat harus berjalan melalui ladang akibat banjir menggenangi jalan. Pelaksanaan retret musim hujan ini mengarah pada pendirian wihara secara tetap. Sekali lagi, perkembangan ini muncul untuk menghindari kerugian bagi komunitas awam dan mendapatkan penghormatan mereka. Pembangunan wihara secara tetap juga dilakukan karena ini bersifat praktis.
Sejak retret musim hujan kedua, Buddha menjalani 25 retret musim hujan di Hutan di luar Sharawasti, ibukota kerajaan Koshala. Di sini, pedagang Anathapindada membangun sebuah wihara untuk Buddha dan biksunya, kemudian Raja Prasenajit mendukung komunitas ini. Wihara di Jetawana adalah tempat terjadinya banyak peristiwa besar dalam kehidupan Buddha. Yang paling terkenal adalah saat Buddha mengalahkan para pemimpin enam aliran besar non-Buddha masa itu dalam sebuah perlombaan kekuatan ajaib.
Saat ini, mungkin tak satu pun dari kita yang mampu menampilkan aksi ajaib. Namun, Buddha yang menggunakan kekuatan ajaib, bukannya nalar, untuk mengalahkan lawannya menandakan bahwa saat cita orang lain tertutup kepada akal sehat, cara terbaik untuk meyakinkan mereka akan keabsahan pemahaman kita adalah menunjukkan tingkat perwujudan kita melalui tindakan dan perilaku. Terdapat peribahasa dalam bahasa Inggris, “Tindakan bersuara lebih keras daripada kata-kata.”
Mendirikan Kelompok Wihara untuk Biksuni
Dalam tahap pengajaran selanjutnya, Buddha mendirikan komunitas biksuni di Vaishali, atas permintaan bibinya, Mahaprajapati. Awalnya, ia enggan memulai kelompok semacam itu, tapi ia kemudian memutuskan bahwa hal itu mungkin jika ia menentukan lebih banyak sumpah kepada biksuni daripada kepada biksu. Dalam melakukan ini, Buddha tidak menandakan bahwa perempuan lebih tidak tertib daripada laki-laki dan lebih membutuhkan batasan dengan mengemban lebih banyak sumpah. Namun, ia takut bahwa mendirikan kelompok perempuan akan menimbulkan nama buruk dan akhir yang cepat bagi ajaran-ajarannya. Buddha ingin, lebih dari hal lain, menghindari penolakan dari masyarakat sehingga komunitas biksuni perlu melampaui segala kecurigaan akan perilaku asusila.
Bagaimanapun juga, Buddha enggan merumuskan aturan dan ingin aturan yang lebih sedikit yang nantinya bisa dihapus bila dianggap tidak penting. Kebijakannya menunjukkan gerak dari dua kebenaran―kebenaran terdalam dan kebenaran lazim yang sesuai dengan adat setempat. Meskipun menurut kebenaran terdalam tidak ada masalah dengan adanya kelompok biksuni, tapi untuk menghindari orang lain menganggap rendah ajaran Buddha diperlukan aturan lebih banyak untuk para biksuni. Dalam kebenaran terdalam, tidak menjadi masalah apa yang dikatakan oleh masyarakat, tapi kebenaran lazim penting bagi komunitas Buddha supaya bisa mendapatkan penghormatan dan kepercayaan masyarakat. Sehingga, di masa dan masyarakat modern yang di dalamnya terdapat sikap merendahkan terhadap agama Buddha bila ada prasangka yang ditunjukkan kepada biksuni atau perempuan secara umum atau kelompok minoritas oleh adat Buddha, semangat yang dijunjung Buddha adalah memperbaikinya sesuai dengan norma pada masa itu.
Bagaimanapun juga, tenggang-rasa dan welas asih adalah pokok utama dalam ajaran Buddha. Sebagai contoh, Buddha mendorong pengikut baru yang sebelumnya mendukung komunitas agama lain untuk terus mendukung komunitas tersebut. Di dalam kelompok Buddha, ia juga memerintahkan para anggota untuk menjaga satu sama lain. Jika seorang biksu sakit, misalnya, biksu lain harus merawatnya karena mereka semua adalah anggota keluarga Buddha. Ini adalah prinsip yang juga penting bagi semua pengikut Buddha awam.
Cara Pendidikan Buddha
Buddha mengajar orang lain melalui teladan hidup dan perintah lisan. Untuk yang kedua, ia menggunakan dua cara, bergantung pada apakah ia mengajar suatu kelompok atau perorangan. Di depan kelompok, Buddha menjelaskan ajarannya dalam bentuk wacana, seringkali mengulang masing-masing pokok dengan kata-kata yang berbeda, sehingga khalayak bisa mengingatnya dengan lebih baik. Namun, ketika memberikan perintah perorangan, seringkali setelah makan siang di suatu rumah tangga yang mengundang dirinya dan biksunya, Buddha menggunakan pendekatan berbeda. Ia tidak pernah menentang atau melawan pandangan si pendengar, tapi akan mengangkat pandangan orang tersebut dan mengajukan pertanyaan untuk membantunya menjernihkan pemikirannya. Dengan cara ini, Buddha membimbing orang itu memperbaiki pandangannya dan secara bertahap mencapai pemahaman yang lebih dalam akan kenyataan. Salah satu contohnya adalah Buddha membimbing seorang anggota dari kasta pendeta brahmana untuk memahami bahwa keunggulan bukan berasal dari kasta tempat seseorang dilahirkan, tapi dari perkembangan sifat-sifat baik seseorang.
Contoh lainnya, perintah Buddha kepada seorang ibu yang berduka yang membawa bayinya yang telah mati kepadanya dan memohon Buddha untuk menghidupkan kembali anaknya. Buddha berkata kepada si ibu untuk mencari benih tumbuhan dari suatu rumah yang belum pernah dikunjungi oleh kematian, membawa benih itu kepadanya, dan Buddha akan melihat apa yang bisa ia lakukan. Ibu itu pergi dari satu ke rumah ke rumah lain, tapi tiap rumah tangga pernah mengalami anggota keluarga yang meninggal. Pelan-pelan, ia menyadari bahwa setiap orang suatu saat pasti meninggal dan, dengan cara ini, ia pun bisa mengkremasi anaknya dengan cita yang lebih damai.
Cara pengajaran Buddha menunjukkan kepada kita bahwa untuk menolong orang lain di dalam suatu perjumpaan, yang terbaik adalah tidak melakukan perlawanan. Yang paling berdaya guna adalah membantu mereka berpikir untuk diri mereka sendiri. Namun, di dalam kelompok orang-orang yang ingin belajar, kita perlu menjelaskan secara lugas dan jelas.
Rencana Pembunuhan terhadap Buddha dan Perpecahan
Tujuh tahun sebelum Buddha meninggal, sepupunya yang cemburu, Dewadatta, berencana mengambil alih kedudukan Buddha sebagai pemimpin kelompok. Sementara itu, Pangeran Ajatashatru berencana menggantikan ayahnya, Raja Bimbisara, penguasa Magadha. Oleh karena itu, keduanya berkomplot bersama. Ajatashatru melakukan rencana pembunuhan terhadap Bimbisara, dan, akibatnya, sang raja menyerahkan mahkotanya kepada anaknya. Melihat keberhasilan Ajatashatru, Dewadatta memintanya untuk membunuh Buddha, tapi segala usaha untuk membunuh Buddha gagal. Dewadatta lalu mencoba membujuk para biksu untuk menjauh dari Buddha dengan mengatakan bahwa dirinya “lebih suci” daripada sepupunya itu, dan ia mengusulkan seperangkat aturan yang lebih ketat. Menurut Jalan Pemurnian (Pali: Visuddhimagga) karya Buddhaghosa, guru Theravada pada abad ke-4 M, usulan Dewadatta kepada para biksu adalah sebagai berikut:
v  mengenakan jubah yang terbuat dari kumpulan potongan kain,
v  hanya mengenakan tiga jubah,
v  mengumpulkan derma dan tidak pernah menerima undangan untuk makan,
v  tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma,
v  makan satu jatah makan berapa pun derma yang ia kumpulkan,
v  makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing,
v  menolak makanan lain apa pun,
v  hidup hanya di hutan,
v  hidup di bawah pepohonan,
v  hidup di tempat terbuka, tidak di rumah,
v  lebih sering tinggal di daratan,
v  puas dengan tinggal di tempat mana pun yang ditemukannya, dengan terus mengembara dari satu tempat ke tempat lain,
v  tidur dalam keadaan duduk, tidak pernah tidur berbaring.

Buddha berkata bahwa jika biksunya ingin mengikuti aturan tata-tertib tambahan ini, tidak masalah; tapi tak seorang pun diwajibkan melakukannya. Namun, beberapa biksunya memilih mengikuti Dewadatta sehingga meninggalkan ordo Buddha dan membentuk kelompok sendiri.
Dalam aliran Theravada, aturan tata-tertib tambahan yang ditentukan oleh Dewadatta disebut tiga belas cabang dari praktik yang diikuti (Pali: dhutanga). Tradisi biksu hutan, sebagai contoh, yang masih ditemukan di Thailand masa kini, tampaknya berasal dari praktik ini. Pengikut Buddha, adalah pelaku paling terkenal dari tata-tertib yang lebih ketat ini. Banyak dari bentuk tata-tertib ini juga dilakukan oleh para lelaki suci yang mengembara (Skt. sadhu) dalam tradisi Hindu. Praktik mereka tampaknya merupakan kelanjutan dari tradisi pencari kehidupan batin yang mengembara dan hidup dari derma di masa Buddha.
Aliran-aliran Mahayana memiliki daftar serupa dalam bentuk dua belas sifat dari praktik yang diikuti (Skt. dhutaguna). Daftar ini menghilangkan “tidak melewatkan satu rumah pun saat mengumpulkan derma”, menambahkan “mengenakan jubah yang telah dibuang di tempat sampah”, dan menganggap “ mengumpulkan derma” dan “makan hanya dari mangkuk dermanya masing-masing” sebagai satu kesatuan. Sebagian besar tata-tertib ini kemudian diikuti oleh tradisi India berupa praktisi tantra yang telah mumpuni (Skt. mahasiddha), yang bisa ditemukan dalam Buddha Mahayana dan Hindu.
Memisahkan diri dari aliran Buddha dan membentuk kelompok lain―misalnya, dalam istilah modern, mendirikan pusat Dharma yang terpisah―bukanlah sebuah masalah. Melakukan hal ini bukanlah menciptakan “perpecahan dalam komunitas biara”, salah satu dari lima kejahatan kejam. Namun, Dewadatta menciptakan perpecahan dan melaksanakan kejahatan karena kelompok yang keluar dan mengikutinya memelihara niat sangat buruk terhadap komunitas biara Buddha dan mencela mereka. Menurut beberapa catatan, niat buruk dari perpecahan ini bertahan hingga beberapa abad.
Catatan mengenai perpecahan ini menunjukkan bahwa Buddha sangat tenggang-rasa dan bukan seorang fundamentalis. Bila pengikutnya ingin menerapkan tata-tertib yang lebih ketat daripada yang telah ia tentukan, ini tidak masalah; dan bila mereka tidak menginginkannya, ini juga tidak masalah. Tak seorang pun diwajibkan melaksanakan apa yang Buddha ajarkan. Bahkan bila biksu atau biksuni ingin meninggalkan kelompok wihara, ini juga tidak masalah. Namun, hal yang paling merusak adalah memecah-belah komunitas Buddha, terutama komunitas wihara, menjadi dua atau lebih kelompok dan satu atau kedua kelompok itu memelihara niat sangat buruk terhadap yang lain dan berusaha merusak nama baik atau menghancurkannya. Bahkan, bergabung dengan salah satu kelompok yang berselisih ini dan ikut serta dalam penyebaran kebenciannya terhadap kelompok lain sangatlah merugikan. Namun, bila salah satu kelompok terlibat dalam tindakan yang merusak atau merugikan atau mengikuti tata-tertib yang merugikan, welas asih menyerukan tentang memperingatkan orang-orang akan bahaya jika bergabung dengan kelompok itu. Tapi, dorongan seseorang untuk melakukan hal ini harus tidak dicampurkan dengan kemarahan, kebencian, atau keinginan untuk balas dendam.
Kematian Buddha
Meskipun, karena telah mencapai pembebasan, Buddha sudah tidak harus lagi mengalami kematian biasa yang tidak terkendali, di usia 38 tahun, Buddha memutuskan bahwa pengikutnya akan mendapatkan pelajaran tentang ketidaktetapan jika ia meninggalkan tubuhnya. Sebelum melakukan ini, ia memberi muridnya Ananda kesempatan untuk memintanya supaya tetap hidup dan mengajar lebih lama, tapi Ananda tidak menangkap tanda itu. Ini menunjukkan bahwa seorang Buddha mengajar hanya bila diminta, dan bila tak ada orang meminta atau tertarik, ia pergi ke tempat lain di mana ia bisa lebih bermanfaat. Kehadiran seorang guru atau ajarannya bergantung pada siswa.
Kemudian, di Kushinagara, di rumah Chunda, Buddha menjadi sakit keras setelah menyantap makanan yang disajikan oleh Chunda kepada dirinya dan kelompoknya. Di tempat tidur, Buddha berpesan kepada biksunya, bila mereka memiliki keraguan atau pertanyaan yang tak dapat dijawab, mereka harus bersandar pada ajaran Dharma-nya dan tata-tertib etika mereka. Mulai dari sekarang, semua itu adalah guru mereka. Dengan demikian, Buddha menandakan bahwa tiap orang harus mencari jalan keluar bagi dirinya sendiri berdasarkan ajaran-ajaran itu. Tidak ada penguasa mutlak yang menyediakan semua jawaban. Lalu, Buddha meninggal.
Chunda sangat bingung, berpikir bahwa dirinya telah meracuni Buddha. Tapi, Ananda menghibur tuan rumah itu, berkata bahwa dirinya sesungguhnya telah membangun kekuatan positif atau ”pahala” dengan memberi Buddha santapan terakhir sebelum ia meninggal dunia.
Buddha lalu dikremasi dan abunya disimpan di sejumlah stupa―wadah suci―terutama di tempat-tempat yang menjadi empat tempat ziarah utama pengikut Buddha:
  • Lumbini, tempat Buddha dilahirkan,
  • Bodh Gaya, tempat Buddha mencapai pencerahan,
  • Sarnath, tempat ia memberikan ajaran Dharma pertama,
  • Kushinagara, tempat ia meninggal dunia.

  • Kesimpulan

  • Beragam tradisi Buddha mengajarkan catatan yang berbeda-beda mengenai kehidupan Buddha. Semua perbedaan ini menandakan cara tiap aliran memahami Buddha dan apa yang bisa kita pelajari dari contohnya.
  • Versi-versi Hinayana hanya berbicara mengenai kehidupan Buddha Shakyamuni di masa kehidupannya. Dengan menunjukkan bagaimana Buddha bekerja keras untuk mencapai pencerahan, kita belajar untuk berusaha dengan diri kita sendiri.
  • Menurut versi-versi umum Mahayana, Buddha telah mencapai pencerahan sejak dahulu kala. Dengan menjalani kehidupan melalui dua belas perbuatan tercerahkan, ia mengajar kita bahwa pencerahan mensyaratkan bekerja selamanya untuk kebaikan semuanya.
  • Dalam catatan-catatan anuttarayoga tantra, Buddha mewujudkan diri secara bersamaan sebagai Shakyamuni yang mengajarkan Sutra Kesadaran yang Jauh Menjangkau dan Membedakan (The Prajnaparamita Sutras) dan sebagai Vajradhara yang mengajarkan tantra. Ini menandakan bahwa praktik tantra didasarkan sepenuhnya pada ajaran-ajaran Madhyamaka mengenai kehampaan.
  • Dengan demikian, kita bisa belajar banyak hal bermanfaat dari masing-masing versi mengenai kehidupan Buddha dan mencapai ilham di berbagai tingkat.
  •  
Sumber : life_shakyamuni_buddha.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon masukannya... ^^