KITAB
SUCI BUDDHA
Keyakinan
Terhadap Kitab Suci (Tripitaka)
Makalah
Disusun
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Buddhisme
Dosen
Pembimbing: Dra. Hj. Siti Nadroh
Oleh:
Rini Farida (1111 0321 000 57)
JURUSAN PERBANDINGAN
AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN
FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
__________________________________________________________PENDAHULUAN
Dalam
sebuah buku yang berjudul Wacana Buddha Dharma, Krishna Ananda
Wijaya-Mukti mengutip sebuah ungkapan berikut:
“Buddha
Berkata, ‘ Ananda, barangkali ada diantra engkau semua yang berfikir:
Berakhirlah kata-kata Guru, kita tidak mempunyai Guru Lagi. Tetapi Ananda,
jangan engkau berpendapat begitu. Dharma dan Winaya yang telah aku ajarkan dan
aku nyatakan bagimu semua, itulah yang akan menjadi Gurumu, apabila Aku sudah
tidak ada lagi” (D. II, 154). Dharma dan Winaya tidak lain dari kitab
suci agama Buddha, yang semula disampaikan secara lisan.
Begitu
mendengar Buddha meninggal dunia, seorang biku yang bernama Subhadda Tua
berkata kepada teman-temannya agar jangan berduka, karena mereka terbebas dari
orang yang mengekang, sehingga dapat berbuat sesuka hati. Lalu biku Mahakassapa
mengajak para biku untuk membacakan Dharma dan Vinaya sebelum terdesak oleh apa
yang bukan Dharma dan Bukan Vinaya (Vin. 11, 284-285.)”[1]
Sebagai
pendahuluan, penulis menyampaikan Terimakasih yang mendalam kepada Ibunda Dra.
Hj. Siti Nadroh selaku dosen pembimbing saya dalam matakuliah Buddhisme yang
telah memberikan saya kesempatan untuk berpartisipasi menyusun makalah yang
berjudul “Kitab Suci Agama Buddha Dan Sejarah Kodifikasinya” ini. Kemudian saya
juga ingin menyampaikan terimakasih banyak kepada seluruh penulis buku yang
telah banyak membantu saya dalam menyampaikan sedikit pengeahuan saya tentang
Materi ini, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas saya selaku mahasiswi
Perbandingan Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Menyadari
bahwa makalah yang berada dihaadapan pembaca ini masih terdapat banyak
kekurangan, patut saya ucapkan mohon
maaf yang sedalam-dalamnya. Adapun segala bentuk kritik dan saran dari pembaca
sangatlah berharga bagi saya sebagai pemula, karena itu sudikiranya pembaca
dapat memakluminya.
Demikianlah
Pendahuluan ini saya sampaikan, Harapan saya semoga Makalah yang sangat
sederhana ini sedikit-banyaknya dapat bermanfaat untuk saya pribadi dan juga
untuk segenap para pembaca.
Terimakasih.
Ciputat, 13 Maret 2013
Penyusun
_______________________________________________________________________________
A. KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA
The
last Message of Budha
“When
I am Gone, my teaching shall be your Master and Guide”
“My years are now full ripe; the life span left is
short. I will soon have to leave you, you must be earnest. O monks, be mindful
and of pure virtue! Whoever untiringly pursues the Teaching, will go beyond the
cycle of birth and death and will make an end of suffering.”[2]
“Bila saya telah pergi,
ajaran saya akan menjadi Guru yang membimbing kalian”
“Tahun-tahun (umur) saya kini telah matang; waktu
hidup saya tersisa sebentar lagi. Saya akan segera merealisasikan Parinibbana.
Kalian harus bersungguh-sungguh . Wahai para bikkhu, jagalah batin dan
kebajikan suci! Siapapun yang tak kenal lelah menjalani Dhamma, akan keluar
dari lingkaran kelahiran dan kematian dan akan mengakhiri Dukha.”
Sebegitu
jauh kitab-kitab agama Buddha yang ada, baik yang tersusun sistematis, dalam
bentuk asli atau terjemahan, tertulis dalam bahasa Pali, Sansekerta, Tibet dan
Cina serta dalam bahasa-bahasa lain dimana agama Buddha berkembang.
Kitab-kitab
Tipitaka Pali adalah kitab yang tertua serta terlengkap. Kitab Tipitaka sebagai
kitab suci agama Buddha tersusun ke dalam Vinaya Pitaka (peraturan),;
Sutta Pitaka (Khotbah tetang ajaran); Abhidhamma Pitaka (Filsafat,
etika dan metafisika).
Disamping
kitab-kitab suci yang suci yang berbahasa Pali juga dijumpai kitab-kitab bukan
kitab suci yang memakai bahasa Pali, misalnya : Milinda-panha, Netti-pakarana,
Atakatha (komentar) karya Budhadatta tentang Tipitaka Pali, Jataka (oleh
Budhaghosa atau Dhammapala kitab-kitab dari Srilanka seperti Dipavamsa,
Mahavamsa, dan Culavamsa).
Kitab-kitab
dalam bahasa Sansekerta baik yang asli ataupun turunan memberikan gambaran
kepada kita beberapa materi (isi) yang berdiri sendiri dari mashab-mashab
Hinayana dan Mahayana.
Kitab
Lalitavistara berisi biografi yang tidak lengkap dari Sang Buddha, ditulis
dalam bahasa Sansekerta campuran dan merupakan pegangan dari Mahayana serta
membentuk bagian dari Vaipulya Sutra. Asvaghosa terkenal dengan kitab
Buddhacarita, sedangkan Saundarannandan dan Aryasura dengan kitab Jataka Mala.[3]
Ajaran
agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan
Khotbah, keterangan, perumpamaan dan percakapan yang pernah dilakukan sang
Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut
semuanya tidak berasal dari dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga
kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya. Oleh para siswanya sumber
ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar, yang dikenal dengan pitaka
atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka, Suttra pitaka, dan Abidharma
pitaka.[1]
/o:p) � p n 8�n ��o
/o:p) � p n 8�n ��o
“When
I am Gone, my teaching shall be your Master and Guide”
“My years are now full ripe; the life span left is
short. I will soon have to leave you, you must be earnest. O monks, be mindful
and of pure virtue! Whoever untiringly pursues the Teaching, will go beyond the
cycle of birth and death and will make an end of suffering.”[4]
Selain
pengelompokkan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dikelompokkan
menjadi kitab Sutra dan Sastra. Kitab Sutra adalah kitab-kitab
yang dipandang berisi ucapan sang Buddha sendiri, meskipun ditulis jauh sesudah
Ia meninggal dunia, sedangkan kitab Sastra adalah kitab yang berisi uraian yang ditulis oleh tokoh ternama yang
biasanya disusun secara sistematis.
Sehubungan
dengan sumber-sumber diatas, ada dua pandangan yang berbeda, yakni antara
golongan Therevada dan
Mahayana. Golongan pertama menganggap bahwa hanya kitab Tripitaka
yang dikumpulkan pada pesamuan agung pertama tahun 483 SM. saja yang dapat
dianggap sebagai diajarkan sendiri oleh sang Buddha, sedangkan golongan
Mahayana, selain menerima Tripitaka sebagai sumber ajarannya, juga menjadikan
kitab-kitab Sutra dan Sastra sebagai sumber ajarannya. Kitab-kitab tersebut
antara lain adalah Karandavyriha, Sukhavatiyuha, Lalitavistara,
Mahayanacradhhautpada, Saddharmapundarika, Madyamika-sutra,
Yogacara-bhumi-sastra, Milindapanha, dan lain sebagainya.[5]
B. PENULIS
KITAB-KITAB AGAMA BUDDHA
1. 1.
Penulisan
kitab Berbahasa Pali
Kitab Pali yang pertama kali ditulis adalah kitab suci
Tipitaka pada abad pertama SM di Cylon. Sejak
saat itu banyak pula kitab-kitab lainnya yang ditulis dan mengacu pada
kitab suci Tipitaka. [6]
Suatu
alasan penting memberikan dan mempelajari bahasa Pali dalam memahami ajaran
Buddha yang lebih mendalam. Karena bahasa ini merupakan gudang yang menyimpan
pengetauhan yang sangat berharga dari sejarah india kuno.
Diantara
penulis kitab berbahasa Pali ke semuanya berisi hal-hal sekitar Buddha yang
sampai saat ini sangat membantu kita untuk memahami ajaranNya, beberapa
diantara mereka adalah Nagasena, Buddhadatta, Buddhaghosa, dan Dhammapala.
Berikut
ini adalah ikhtisar kehidupan para penulis kitab-kitab agama Buddha, yang tak
lain mereka adalah para Filsuf dan juga para sarjana.
Bikkhu
Nagasena
Dalam
kitab Milinda-panha disebutkan Bahwa bikkhu Nagasena lahir di kajangala, suatu
kota yang terkenal di salah satu daerah yang dekat dengan Himalaya. Yang
terletak di sebelah timur perbatasan Sonuttara. Setelah bikkhu Nagasena
mempelajari ketiga kitab Weda (Hindu), sejarah dan hal-hal lain, Nagasena
mempelajari ajaran-ajaran Bddha dibawah bimbingan Rohana kemudian ia masuk
sangha. Selanjutnya ia dikirim ke Pataliputra (Patna) khusus untuk mempelajari
ajaran-ajaran Buddha. Pada akhirnya ia berdiam di vihara Sankheyya di Sagala
dan berjumpa dengan Raja Milinda (Yunani: menandros atau Menander)
Buddhaghosa
Buddhaghosa
adalah komentator terkenal dari naskah-naskah dalam agama Buddha. Beberapa
kitab karya Buddhaghosa adalah Mahavamsa, Buddhaoghosupatu, Gandhavamsa dan
Sasanavamsa.
Pada
zaman Buddhaghosa agama Buddha yang berasal dari kitab-kitab Pali sudah mulai
menurun popularitasnya dan digantikan oleh kitab-kitab Sansekerta. Oleh karena
itu para bikkhu kemudian berdiam di Bodh Gaya meski hingga abad ke-5 masehi
dimana Buddhaghosa menjadi anggota Sangha dan tetap berpedoman pada tradisi
Pali. Pada waktu itu yang memimpin Vihara adalah bikkhu Mahasthavira Revata.[7]
Dhammapala
Thera
Dhammapala bertempat tinggal di Bararatittha, pesisir pantai selatan India.
Karya beliau banyak merujuk pada
komentar-komentar Buddhaghosa maka dapat dipastikan bahwa Beliau lebih muda
daripada Buddhaghosa.
Dharmmapala
terkenal sebagai penulis Paramatthadipani yang berisi komentar atas
bagian-bagian kitab Khuddaka-nikaya yang belum diselesaikan oleh
Buddhaghosa, yakni Udana, There-gatha, Theri-gatha dan Cariya-pitaka.
Di
samping itu Thera Dharmmapala menulis komentar yang disebut kitab Paramatthamanjusa
atau Visuddhimagga dari Buddhaghosa.
2. Penulisan
kitab berbahasa Sansekerta
Kita
mengenal banyak penulis kitab agama Buddha dalam bahasa Sansekerta. Mereka
antara lain adalah Asvaghosa, Nagarjuna, Buddhapalita, Bhavaviveka, Asanga,
Vaubandhu, Dinnaga, dan Dharmakirti
Asvaghosa
Selain
seorang pemikir, Bikkhu Asvaghosa juga dikenal sebagai seorang penyair dan
pemikir pada zaman pemerintahan Raja Kaniska. Kitab-kitab Buddhacarita dan
Sundarananda adalah dua kitab yang populer karangan Bikkhu Asvaghosa, yang
berisi syair yang puitis. Naskah-naskah asli dari karya-karya tersebut
diketahui oleh I-Tsing (meninggal tahun 713).
Selain
dua kitab syair yang terkenal itu, Asvaghosa juga menulis tiga buah drama (yang diketemukan di Turfan,
Asia Tengah, pada awal abad ke-20). Salah satu drama tersebut adalah Sariputraprakarana yang ditulis dalam bahasa
Sansekerta, yang terdiri dari 9 babak.
Nagarjuna
BikkhuNagarjuna
adalah sahabat dari Raja Yajnasri Gautamiputra (166-196) dari kerajaan
Satavahana. Peranan besar yang diberikan oleh Nagarjuna sebagai seorang filsuf
agama adalah menentukan arah titik-balik perkembangan agama Buddha. Dalam
bidang filsafat karyanya yang terkenal adalah Maddyamika-karika
(Madhyamika-sastra). Nagarjuna meletakkan dasar-dasar dari ajaran Madyamika
yang juga dikenal sebagai Sunya-vada. [8]
Buddhapalita
dan Bhavaviveka
Sthavira
Buddhapalita dan Bhavaviveka keduanya merupakan eksponen aliran Sunyavada yang
dasar-dasarnya diletakkan oleh Nagarjuna. Mereka hidup pada abad ke-5 dan dalam
sejarah perkembangan agama Buddha mereka ini dikenal sebagai pendiri dua aliran
yang mengutamakan penggunaan nalar logika dalam agama Buddha yaitu aliran
Prasangika dan aliran Svantara.
Asanga
dan Vasubandhu
Asanga
dan Vasusbanhu adalah dua bersaudara yang hidup pada abad ke-4 serta merupakan
pemikir agama Buddha yang kreatif, yang telah membawa pemikiran filsafat klasik
dalam agama Buddha.
Vibhasa-sastra
adalah komentar-komentar yang terdiri dari Vinaya, sutra dan Abhidharma yang
disusun pada Sanghayana yang diselenggarakan
pada masa pemerintahan raja Kanishka. [9]
Dinnaga
dan Dharmakirti
Nama
Dinnaga memperoleh tempat terkemuka sebagai penawar logika dalam agama Buddha.
Dinnaga adalah pendiri aliran Nyaya dan hidup pada awal abad ke-5. Sumber dari
Tibet memberitakan bahwa Dinnaga lahir di Simha-vaktra (Kanci selatan) dari
keluarga Brahmana. Sebelum menganut pandangan Mahayana, Dinnaga adalah penganut
paham Vatsiputriya dari Hinayana. Beliau adalah murid Vasubandhu.
Diantara
karyanya yang terbesar adalah Pramana-samuccaya, Nyaya-pravesa,
Hetucakradamaru, Pramana-sastra-nyayapravesa.
Dharmakirti
terkenal sebagai seorang pemikir yang suble, yang pemikirannya berpengaruh
bukan saja dalam agama Buddha tetapi juga pemikiran filsafat India. karya
Dharmakirti yang terkenal berjudul Pramma-varrtika ditemukan di Tibet yang
aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta.
Karya-karya
yang lain dari Dharmakirti yang pada umumnya membahas ilmu pengetahuan agama
Buddha terdapat dalam Prammana-viniscaya, Nyaya-bindu, Sambandha-pariksa,
Hetu-bindu, Vandanyaya dan Samanantara-siddhi.[10]
C. TIPITAKA
Sudah
menjadi ketentuan umum bahwa yang menjadi kitab Suci Agama Buddha adalah
Tipitaka. Demikian juga halnya di Indonesia. Hal itu telah ditetapkan dalam
kongres umat Buddha Indonesia di Yogyakarta tahun 1979 yang pada waktu itu
dihadiri tujuh majelis Agama Buddha dan Sangha-Sangha dari aliran Theravãda dan
Mahayana ataupun aliran Theravãda yang berbaur dengan Mahayana. Kitab suci
Agama Buddha (Tipitaka) yang lengkap hanyalah yang berbahasa Pali (bahasa yang
dipergunakan oleh Sang Buddha dan oleh rakyat jelata suku Magadha).
Tipitaka
(Sansekerta: Tripitaka) adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun
dalam bahasa Pali. Terdiri dari Sutta (Doktrin umun), Vinaya (kode disiplin),
dan Abhidhamma (psikologi mutlak. Tipitaka dihimpun dan disusun dalma bentuknya
seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang
Guru sendiri.[11]
Tipitaka
terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Tiga bagian itu adalah:
Vinaya
pitaka memuat hal-hal terutama berkaitan dengan aturan tata
tertib bikkhu dan bikkhuni. Disini digambarkan secara rinci perkembangan
bertahap sistem pengajaran Buddha. Secara tidak langsung vinaya pitaka mengungkapkan
beberapa informasi bermanfaat mengenai sejarah masa lampau, adat India,
seni, lmu pengetahuan dan lain-lain.
Pitaka
ini terdiri dari lima
kitab:[12]
1.
Parajika (Pelanggaran
Berat)
2.
Pacittiya (Pelnggarana
ringan)
3.
Mahavagga (
Kelompok Besar)
4.
Culavagga (Kelompok
Kecil)
Parivara (Ikhtisar aturan)
Sutta
pitaka terdiri dari ceramah-ceramah utama yang diberikan oleh
Buddha sendiri dalam berbagai peristiwa. Ada juga beberapa ceramah yang
disampaikan oleh murid-murid-Nya yang terkemuka, seperti Sariputta, Ananda,
Maha Monggalana, termasuk beberapa Bikkhuni terkemuka seperti Khema, Uttara,
Visakha dan lain-lain. Kitab ini seperti buku resep, karena wacana di dalamnya
menjelaskan secara terperinci dan menyesuaikan dengan berbagai kejadian dan
perangai berbagai orang yang berbeda-beda.[13]
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada
hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500
(tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali)
dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.[14]
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab
Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada,
Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab
Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah
mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak
ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka,
Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain[15]
Kesimpulan/Hasil Konsili II:
Demikianlah Ananda bersama lima ratus orang Arahat
membuat semua kitab suci atau Sutra yang berisikan Dharma dari yang Maha
Bijaksana dan Agung. Mereka telah memiliki karma baik di masa lampau untuk
menuju Nirvana. Mereka berusaha sepenuhnya mengusai Buddha Dharma. Semua kitab
suci tersebut yang ada sampai hari ini telah membantu mereka menuju Nirvana.
Dan Umat Buddha juga akan melanjutkan dengan cara yang sama untuk berbuat
demikian dari satu masa ke masa yang akan datang.[17]
Kitab
ini dibagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu :
1.
Digha Nikaya (Kumpulan Panjang)
2.
Majjhima Nikaya
(Kumpulan sedang)
3.
Samyuta Nikaya
(Kumpulan Ujaran Setara)
4.
Anguttara Nikaya
(Kumpulan Ujarann Berurutan)
Khuddaka Nikaya (Kumpulan Naskah Kecil)
Abhidhamma
pitaka adalah
kumpulan kitab yang palinh penting dan menarik, karena mengandung filosofi dan
psikologi mendalam dari ajaran Buddha, lain dari wacana sederhana dalam Sutta
pitaka.
Dalam
buku yang berjudul What Buddhist Believe, K. Sri Dhammananda mengatakan
bahwa Abhidhamma is analytical doctrine of mental faculties and elements:
Abhidhamma adalah doktin analisis mengenai indra mental dan unsur.
D. SEJARAH
TIPITAKA
Beberapa
minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin
bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah
meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi
memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang
membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang
kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya
Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu
memutuskan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan
bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua
Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah
dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda,
siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali
kotbah-kotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya
(peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh
ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tipitaka (Pali). Mereka yang mengikuti
ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut
Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir:
"Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi
dirimu".
Pada
mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke
genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang
berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali,
di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat.
Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan
diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu
yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang
menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama
Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan
Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang
Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana.
Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu
penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan
(penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan
ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan
ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain.
Dalam
Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab
Suci Tipitaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah
Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari
bumi asalnya.
Pesamuan
Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani
Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada
kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya.
Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima
diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat
(1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab
Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu
pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat
dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari
Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok
Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana
berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada
Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sansekerta
dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci
Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab
Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di
Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada
kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada
perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di
Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.
E. SIDANG
AGUNG
Setelah Sang Buddha parinibbana (543
SM), tiga bulan kemudian diadakan Sidang Agung Sangha (Sangha Samaya).
1.
SIDANG AGUNG I (KONSILI I)
·
Diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan
setelah bulan Mei), berlangsung selama 2 bulan.
·
Dipimpin oleh YA.Maha Kassapa
dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat.
·
Sidang diadakan di Goa Satapani di
kota Rajagaha.
·
Sponsor sidang agung ini adalah Raja
Ajatasatu.
Tujuan
Sidang:
·
Menghimpun Ajaran Sang Buddha yang
diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu
yang berlainan.
·
Mengulang Dhamma dan Vinaya agar
Ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A.
Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan/Hasil
Konsili I:
·
Sangha tidak akan menetapkan hal-hal
mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak
akan menambah apa-apa yang telah ada.
·
Mengadili Y.A. Ananda
·
Mengucilkan Chana
·
Agama Buddha masih utuh.
2.
SIDANG AGUNG II (KONSILI II)
·
Diadakan pada tahun 443 SM (100
tahun sesudah yang I), berlangsung selama 4 bulan.
·
Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu
oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu.
·
Sidang diadakan di Vesali.
·
Sponsor sidang agung ini adalah Raja
Kalasoka.
Tujuan
Sidang:
·
Sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika)
menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).
·
Kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu
dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka
telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju.
Pengulangan
Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau
"Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa
dalam bidang pemurnian Vinaya.
1.
SIDANG AGUNG III (KONSILI III)
·
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230
tahun setelah sidang I).
·
Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta.
·
Sidang diadakan di Pataliputta.
·
Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja
Asoka dari Suku Mauriya.
Tujuan Sidang:
·
Menertibkan perbedaan pendapat yang
mengaktifkan perpecahan Sangha.
·
Memeriksa dan menyempurnakan Kitab
Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha).
·
Raja Asoka meminta agar para
Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih
dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Kesimpulan / Hasil Konsili III:
·
Menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor.
·
Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri
oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya,Sutta,
dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili
III.
·
Y.A. Tissa memilih 10.000 orang
Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk
menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut
berlangsung selama 9 bulan.
Keterangan:
·
Pada saat itu Sangha sudah terpecah
dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika.
·
Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan
bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya
·
merupakan suatu konsili yang
diadakan oleh Sthaviravada.
2. SIDANG AGUNG
IV (KONSILI IV)
·
Diadakan pada masa pemerintahan Raja
Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM).
·
Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera
dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu.
·
Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka
Vihara) di Desa Matale.
Tujuan Sidang:
·
Mencari penyelesaian karena melihat
terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan
Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Kesimpulan / Hasil Konsili IV:
·
Mengulang Tipitaka.
·
Menyempurnakan komentar Tipitaka.
·
Menuliskan Tipitaka dan komentarnya
di atas daun lontar.
Keterangan: Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte
Theravãda. [16]
A. KESIMPULAN
Tidak lama
setelah Hyang Buddha Maha Parinirvana, berkumpullah lima ratus orang bhiksu
yang telah mencapai tingkat Arahat di Rajagriha, di lereng dari salah satu lima
pegunungan Himalaya. Disana mereka berkumpul untuk mengadakan Pertemuan Agung
guna mengumpulkan semua khotbah yang telah diajarkan oleh Yang Maha Bijaksana.
Konsili pertama dipimpin oleh Maha Kasyapa.
Ananda yang
selalu mendampingi Hyang Buddha kemana saja Beliau pergi membabarkkan Dharma
mempunyai ingatan yang luar biasa. Maka Ananda diminta oleh sekalian
Bhiksu yang hadir dalam pertemuan itu
untuk lebih dahulu mengulangi semua khotbah yang diajarkan Hyang Buddha.
_________________________________________________________________________
A. DAFTAR
PUSTAKA
1.
Ali,
Mukti. Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kalijaga Press. Yogyakarta: 1988
2. Dhammananda, Sri. What
Buddhist Believe, The Corporate Body Of The Buddha Education Foundation.
Taipei,Taiwan:1993
3. Dhammananda, Sri.
Keyakinan Umat Buddha. Ehipassiko Foundation: 2002
6.
T.
Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, Majlis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Jakarta: 1995
7. Tim Penyusun, Materi
Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha. CV. Dewi Kayana Abadi.
Jakarta:2003
Wijaya-Mukti,
Khrishna. Wacana Buddha-Dharma, Sangha Agung Indonesia. Jakarta: 2006
[16]
http://tanhadi.blogspot.com/2011/04/sejarah-tipitaka-kitab-suci-agama.html
[13] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan
Umat Buddha, hal. 101
[11] Dr. Sri Dhammananda, Keyakinan
Umat Buddha, hal. 97
[8] Tim Penyusun, Materi
Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal.136
[7] Tim Penyusun, Materi
Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 133
[6] Tim Penyusun, Materi
Kuliah Sejarah Pekembangan Agama Buddha,hal. 128
[1] Krishna Wijaya-Mukti, Wacana
Buddha-Dharma, hal: 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^