Alexander
Berzin, Aslinya diterbitkan dengan banyak catatan kaki dalam
Buddhist Attitudes toward Other Religions, ed. Perry Schmidt-Leukel. St. Ottilien: EOS Verlag, 2008, hlm. 212 – 236
Pendahuluan
Umat
Buddha dan Muslim telah saling berhubungan dalam bidang budaya, politik,
ekonomi, dan kadang militer selama tiga belas setengah abad terakhir. Hubungan
di bidang-bidang itu, bergantung pada tempat, waktu, dan orang serta
pemerintahan yang
terlibat, terbentang dari yang bersifat persahabatan hingga
permusuhan. Telah banyak perhatian diberikan kepada sejarah hubungan tersebut,
tapi masih sedikit yang diarahkan pada perincian terhadap hubungan doktrin di
antara keduanya. Dalam tulisan ini, setelah tinjauan terhadap hubungan di masa
lalu dan sekarang, saya akan mengulas harapan dan landasan bagi dialog di masa
depan. Pembicaraan ini akan berpusat terutama pada sudut pandang umat Buddha
terhadap keterlibatan doktrin, khususnya di wilayah budaya Indo-Tibet-Mongol.
Tinjauan Sejarah terhadap Khilafah Ummaiyyah dan
Abbasiyyah
Hubungan
paling awal antara penduduk Buddha dan Muslim terjadi di wilayah yang saat ini
adalah Afghanistan, Iran timur, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan,
ketika semua wilayah itu berada di bawah kekuasaan Khilafah Ummaiyyah Arab di
pertengahan abad ke-7. Penulis Ummaiyyah Arab, Umar ibn al-Azraq al-Kermani,
tertarik untuk menjelaskan ajaran Buddha kepada khalayak Muslim. Akibatnya,
pada awal abad ke-8, ia menulis catatan terperinci tentang Wihara Nava di
Balkh, Afghanistan, dan adat mendasar Buddha di sana, menjelaskannya dalam
kerangka perbandingan dengan Islam. Ia menggambarkan candi utama memiliki kubus
batu di tengahnya, dihias dengan kain, dan para pemuja mengelilinginya serta
melakukan sujud, seperti halnya dengan Kabah di Mekah.
Tulisan-tulisan
al-Kermani dikumpulkan pada abad ke-10 dalam Kitab Negeri-Negeri (Ar. Kitab
al-Buldan) karya Ibn al-Faqih al-Hamadhani. Namun, para cendekiawan Buddha
tampaknya tidak menunjukkan minat yang sama untuk menjelaskan adat dan
keyakinan Islam kepada khalayak Buddha. Tidak ada bukti tercatat tentang
gambaran macam itu di masa tersebut.
Sejak
tahun 715 hingga 727, Tibet memiliki persekutuan militer dengan Ummaiyyah.
Selama masa itu, Khalifah ‘Umar II menyerukan bahwa semua sekutu Ummaiyyah
harus mengikuti Islam. Sebagai cara untuk memelihara persekutuan itu, Ratu
Tibet Jincheng meminta supaya seorang ulama Islam dikirimkan ke Tibet. Sang
Khalifah mengirimkan al-Salit bin-Abdullah al-Hanafi. Bagaimanapun, umat Buddha
Tibet tampaknya tidak memiliki ketertarikan tulus terhadap Islam. Tidak ada
catatan apa pun tentang dialog lintas-iman atau umat Buddha Tibet yang pindah
agama ke Islam sebagai hasil dari kunjungan itu. Penerimaan yang dingin ini
tampaknya lebih disebabkan oleh pengaruh kelompok yang benci terhadap orang
asing di dalam mahkamah kerajaan Tibet.
Hubungan
doktrin umat Buddha-Muslim selanjutnya terjadi selama paruh kedua abad ke-8, di
masa Khilafah Abbasiyyah. Khalifah al-Mahdi, yang diikuti Khalifah al-Rashid,
mengundang cendekiawan-cendekiawan Buddha dari India dan Wihara Nava di Balkh
untuk datang ke Rumah Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Di
sana, ia menugaskan mereka untuk membantu menerjemahkan khususnya naskah
kedokteran dan ilmu perbintangan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab. Kitab
Katalog-Katalog (Ar. Kitab al-Fihrist) karya Ibn al-Nadim di akhir
abad ke-10 juga mendaftar beberapa tulisan ajaran Buddha yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti catatan tentang kehidupan-kehidupan
lampau Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab al-Budd). Naskah ini
didasarkan pada dua karya dalam bahasa Sanskerta: Tasbih Catatan Kehidupan
Lampau (Skt. Jatakamala) dan karya Ashvaghosha berjudul Perbuatan-Perbuatan
Buddha (Skt. Buddhacarita).
Meskipun
ada ketertarikan cendekiawan Muslim terhadap agama Buddha seperti itu, tidak
ada catatan tentang keyakinan Islam atau naskah Islam yang ditulis oleh
cendekiawan Buddha di masa itu. Juga tidak ada bukti tentang adanya
adu-pendapat filosofis dengan cendekiawan Muslim di sekolah wihara Buddha mana
pun, bahkan ketika komunitas Buddha dan Muslim hidup di wilayah yang sama.
Adu-pendapat hanya terjadi dengan orang-orang dari beragam tata keyakinan di
luar Buddha India, dan ini terjadi terutama di India Utara tengah sebelum Islam
masuk ke wilayah itu. Tak ada penyebutan tentang keyakinan Islam di naskah
filosofis Buddha Sanskerta, baik pada saat itu maupun sesudahnya.
Kepustakaan Kalacakra
Satu-satunya
tulisan kuno Buddha yang menyebutkan adat atau keyakinan Islam adalah
kepustakaan Tantra Kalacakra, yang muncul di akhir abad ke-10 dan awal
abad ke-11. Namun, acuan sejarah ini tidak diperuntukkan bagi semua Muslim
secara umum, tapi hanya mengacu pada pengikut Isma’ili Syiah timur pada akhir
abad ke-10, sebagaimana diikuti di negara bawahan Fatimiyyah bernama Multan, di
Pakistan utara-tengah masa kini.
Pada
masa itu, Fatimiyyah Isma’ili di Mesir dan sekutu Multan mereka bersaing dengan
Abbasiyyah Sunni untuk memperoleh kendali atas dunia Muslim. Oleh karena itu,
mereka menebar ancaman berupa dua serbuan terhadap Kekaisaran Abbasiyyah yang
mereka apit. Umat Buddha dan Hindu yang hidup bersama di negara bawahan
Abbasiyyah bernama Ghaznawiyyah, di Afghanistan masa kini, terjebak di masa
menakutkan ini. Bagian-bagian Tantra Kalacakra yang berkenaan dengan
dunia luar kemungkinan besar ditulis sebagai tanggapan terhadap keadaan ini.
Tulisan tersebut menyarankan kepada umat Hindu supaya menegaskan kembali
nilai-nilai batin mereka dan bergabung bersama dalam satu kasta dengan umat
Buddha dan sisa penduduk lainnya, sehingga tidak terserap ke dalam agama
penyerbu akibat keluguan dan kurangnya persatuan.
Gambaran
Kalacakra terhadap agama penyerbu hanya menandakan sebagian pemahaman terhadap
aliran Islam pada masa itu. Gambaran ini mencakup adat semua aliran Islam yang
berdoa lima kali sehari setelah membersihkan diri, bersujud ke arah tanah suci,
menyembah satu Tuhan di surga, mencari tujuan batin berupa menikmati kebahagiaan
surgawi, menghancurkan segala macam patung dewa, mengikuti cara halal dalam
menyembelih hewan, makan hanya setelah matahari terbenam selama bulan Ramadhan,
menjaga kebersihan umum, menghormati kesetaraan semua laki-laki dalam satu
kasta tanpa menyatakan kaum brahmana sebagai kasta paling murni, sunat,
perempuan mengenakan kerudung, menjaga budi pekerti ketat secara umum, dan,
secara khusus, tidak mencuri, tidak berbohong, dan menjaga kesetiaan
perkawinan. Keyakinan seluruh aliran Islam yang digambarkan oleh Kalacakra juga
mencakup pernyataan-pernyataan tentang Tuhan Pencipta yang disebut “Rahman” ,
sifat atom dari zat, jiwa pribadi yang kekal dan memikul tanggung jawab atas
tindakannya, dan Hari Penghakiman ketika, karena menyenangkannya, Rahman mengirimkan
jiwa-jiwa untuk lahir kembali di surga dan, karena tidak menyenangkannya, lahir
kembali di neraka.
Perincian
khusus tertentu, seperti nabi-nabi Islam dan pernyataan bahwa hanya sebuah
unsur dari jiwa yang menjalani kelahiran sementara dalam keberadaan duniawi,
didasarkan terutama pada ajaran Isma’ili Syiah, yang dirumuskan oleh Abu Ya’qub
al-Sijistani. Beberapa perincian, seperti kelahiran kembali di surga atau
neraka dengan raga manusia, didasarkan pada teolog-teolog Islam lain pada masa
itu. Perincian lain adalah semata usaha untuk menjelaskan keyakinan Islam dalam
kerangka yang bisa dipahami oleh umat Buddha dan Hindu, seperti menggambarkan
Muhammad sebagai penjelmaan Rahman, sebagaimana Krishna adalah penjelmaan (Skt.
avatara) dewa Wisnu.
Kepustakaan
Kalacakra juga menggarisbawahi pokok-pokok yang dimiliki bersama oleh ajaran
Buddha dan Islam, antara lain sifat atom dari zat dan jiwa yang memikul
tanggung jawab untuk tindakannya. Tanpa secara khusus mempermasalahkan
penafsiran Muslim terhadap pokok-pokok itu, naskah-naskah Kalacakra menandakan
cara mengarahkan umat Muslim menuju pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan
Buddha. Hal utama yang dipermasalahkan oleh naskah-naskah itu adalah kelahiran
kembali di surga merupakan tujuan batin yang paripurna dan pencapaian terakhir
yang bisa diraih seseorang. Ini dipermasalahkan karena bertentangan dengan
pernyataan penting Buddha tentang pembebasan akhir dari karma dan kelahiran
kembali. Kepustakaan Kalacakra juga menganggap ada kesalahan dalam cara halal
penyembelihan, yang digambarkannya sebagai menggorok leher hewan sambil
mengucapkan mantra Tuhan, Bismillah. Namun, dasar dari kritik ini adalah
kesalahpahaman terhadap adat Islam tersebut, yang mereka anggap sebagai
pengorbanan darah bagi sosok dewa tertentu.
Ketertarikan Muslim Lebih Lanjut terhadap Ajaran
Buddha
Selama
beberapa abad selanjutnya, tidak ada bukti tentang cendekiawan Muslim yang
menjadi sadar akan atau memerhatikan wilayah-wilayah bermasalah yang disebutkan
dalam kepustakaan Kalacakra. Bagaimanapun, ketertarikan akan ajaran Buddha
tetap ada di antara mereka, seperti tampak dalam beberapa karya sejarah;
sementara, di samping penafsiran Kalacakra, tidak ada ketertarikan lebih lanjut
dari umat Buddha terhadap Islam.
Sebagai
contoh, selama Dinasti Ghaznawiyyah, sejarawan Persia, al-Biruni, mendampingi
Mahmud Ghazni dalam serbuan menuju anak-benua India di awal abad ke-8 M.
Berdasarkan apa yang ia pelajari di sana, al-Biruni menulis Kitab tentang
India (Ar. Kitab al-Hind). Di dalamnya, ia menggambarkan adat dan
keyakinan dasar Buddha serta mencatat bahwa orang India menganggap Buddha
sebagai seorang nabi. Ini tidak berarti, tentu saja, bahwa ia mengusulkan
supaya umat Muslim menerima Buddha sebagai nabi Allah, tapi ini menandakan pemahamannya
bahwa umat Buddha tidak melihat Buddha Shakyamuni sebagai Tuhan mereka.
Kemudian, al-Shahrastani, yang melayani di bawah dinasti Seljuk, mengulang
catatan al-Biruni tentang agama Buddha dalam karyanya Kitab Agama dan
Kepercayaan (Ar. Kitab al-Milal wa al-Nihal), yang terbit pada abad
ke-12.
Orang Mongol
Di
akhir abad ke-13, Khubilai Khan, cucu Jenghis Khan dan Kaisar Yuan Cina,
menerapkan bentuk Sakya dari Buddha Tibet. Ia mempekerjakan orang-orang Muslim
Asia Tengah sebagai pengumpul pajak dengan maksud membangun sebuah pemisah
antara orang-orang Cina yang menjadi subjek pajaknya dan penguasa Mongol
mereka. Di awal pemerintahannya, Khubilai Khan mengizinkan umat Muslim
melakukan semua adat mereka. Namun, dalam menanggapi dukungan sepupu dan musuhnya,
Khaidu, terhadap umat Muslim, Khubilai membuat peraturan anti-Muslim. Pada
tahun 1280, ia melarang sunat dan cara penyembelihan yang halal. Perintah yang
terakhir ini segaris dengan aturan jasagh dari Jenghis Khan, yang
melarang pencemaran bumi dengan darah hewan yang disembelih. Ini tidak
berhubungan sama sekali dengan keyakinan Buddha, tapi hanya berkenaan dengan
adat Mongol sebelum Buddha. Oleh karena itu, meskipun Khubilai Khan memeluk
agama Buddha, interaksinya dengan subjek pajaknya yang Muslim tidak berhubungan
dengan dialog doktrin umat Buddha-Muslim.
Agama
Buddha bahkan disebarkan oleh orang Mongol ke wilayah yang telah dihuni Muslim
sejak lama, tapi tetap saja umat Buddha tidak memiliki ketertarikan terhadap
keyakinan penduduk asli tersebut. Secara khusus, selama sebagian besar masa
Dinasti Ilkhanat, ketika orang Mongol memerintah Iran pada paruh kedua abad
ke-13, orang Khan Mongol melaksanakan dan menyebarkan Buddha Tibet di sana.
Sa’d al-Daula, menteri Arghun Khan, mengusulkan supaya unsur-unsur tertentu
Islam dimasukkan ke dalam kebijakan kerajaan Khan. Ia menyarankan supaya
Jenghis Khan dan garis keturunannya dikukuhkan sebagai nabi, sebagaimana garis
imam-imam Syiah, dan supaya Arghun Khan mengikuti contoh Muhammad dan
menentukan Buddha sebagai agama resmi serta mengubah Kabah menjadi candi
Buddha. Meskipun Khan tersebut mengumumkan Buddha sebagai agama kerajaan dan
mengundang banyak biksu dari Kashmir dan Tibet ke kerajaannya, ia tidak
melaksanakan semua saran lain dari menterinya itu.
Penguasa
Ilkhanat selanjutnya, Ghazan Khan, segera pindah agama ke Islam setelah naik
tahta. Ketika ia memerintahkan menterinya, Rashid al-Din, untuk menulis Sejarah
Semesta (Ar. Jami’ al-Tawarikh), ia menghendaki supaya karya itu
memuat gambaran tentang tata keyakinan yang dianut beragam orang yang telah
ditemui orang Mongol, termasuk ajaran Buddha. Selanjutnya, ia mengundang Bakshi
Kamalashri, seorang biksu dari Kashmir, untuk datang ke kerajaannya dan
membantu Rashid al-Din dalam pekerjaannya. Hasil kerja sama mereka adalah Kisah
Hidup dan Ajaran Buddha, yang muncul dalam bahasa Arab dan Persia sebagai
bagian ketiga dari Sejarah India, volume kedua dari Sejarah Semesta.
Sebagaimana
karya-karya al-Kermani dan al-Biruni sebelumnya, Rashid al-Din menjelaskan
ajaran Buddha dalam kerangka Muslim. Oleh karena itu, ia menyebut Buddha
sebagai satu dari enam pendiri agama yang diterima sebagai nabi oleh orang
India. Enam pendiri agama itu adalah tiga bertuhan―S iwa, Wisnu, dan Brahma―dan
tiga tak bertuhan―Arhanta untuk agama Jain, Nastika untuk Charwaka, dan
Shakyamuni untuk Buddha. Ia juga mengacu dewa sebagai malaikat, dan Mara
sebagai Iblis, Setan. Naskah itu juga menyebutkan enam alam kelahiran kembali,
hukum karma sebab dan akibat, serta bahwa kata-kata Buddha diabadikan di dalam Kangyur,
kumpulan terjemahan Tibet dari kata-kata itu.
Rashid
al-Din juga melaporkan bahwa di masanya, sebelas naskah Buddha dalam terjemahan
Arab telah beredar di Iran. Naskah-naskah ini meliputi naskah Mahayana seperti Sutra
tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavativyuha Sutra)
yang berkenaan dengan Tanah Murni Amitabha, Sutra tentang Larik Bagai
Keranda (Skt. Karandavyuha Sutra) yang berkenaan dengan
Avalokiteshvara, penjelmaan dari welas asih, dan Suatu Karangan tentang
Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana) yang berkenaan dengan Maitreya,
sosok Buddha masa depan dan penjelmaan dari cinta. Bagaimanapun, beberapa hal
dari gambaran Rashid al-Din sangat khayali. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa
sebelum Islam, orang-orang Mekah dan Medinah adalah penganut Buddha dan
menyembah sosok-sosok yang menyerupai Buddha di Kabah.
Lebih
dari satu abad kemudian, di awal abad ke-15, Hafiz-i Abru, yang melayani
kerajaan Shahrukh dari Dinasti Timurid di Samarkand, menyusun Kumpulan Sejarah
(Ar. Majma at-Tawarikh). Salah satu bagian di dalamnya mengulas Buddha
dan ajaran Buddha yang didasarkan pada karya Rashid al-Din.
Meskipun
sejarah-sejarah India yang ditulis oleh cendekiawan Muslim memasukkan gambaran
mengenai keyakinan Buddha, kita tidak menemukan catatan yang sebanding tentang
keyakinan Islam dalam sejarah-sejarah India yang ditulis oleh pengarang Buddha
Tibet atau Mongolia setelah penyebaran Islam di India. Sebagai contoh, dalam Sejarah
Ajaran Buddha di India (Tib. rGya-gar chos-‘ byung) karya
cendekiawan Tibet Taranatha pada awal abad ke-17, Taranatha melukiskan
perusakan wihara-wihara Buddha di India Utara pada awal ke-13 oleh pasukan
Muslim Guzz Turki selama Dinasti Ghuriyyah. Namun, Taranatha tidak menyebutkan
apa pun tentang Islam itu sendiri. Kemudian, pada pertengahan abad ke-17,
akibat kelaparan di tanah asal mereka, orang Muslim Kashmir menetap di Tibet
dan membaur secara damai ke dalam masyarakat Buddha Tibet, dengan hak-hak
istimewa yang diberikan oleh Dalai Lama Kelima. Meski demikian, tetap tidak ada
dialog doktrin antara dua agama ini.
Selain
itu, ketika membicarakan keyakinan-keyakinan di luar Buddha, naskah-naskah
Buddha India, Tibet, dan Mongol tentang tata ajaran (Skt. siddhanta,
Tib. grub-mtha’) berpusat terutama, kalau bukan hanya, pada tata India
asli. Bahkan ketika semua naskah itu membahas di luar wilayah budaya India dan
menghadirkan keyakinan Cina di luar Buddha dan Tibet asli, seperti Cermin
Kristal Penjelasan Hebat yang Menunjukkan Sumber dan Pernyataan dari Semua Tata
Ajaran (Tib. Grub-mtha’ thams-cad-kyi khungs-dang ‘dod-tshul ston-pa legs-bshad
shel-gyi me-long) karya Tuken Lozang-chokyi-nyima, seorang cendekiawan pada
paruh kedua abad ke-18, tidak ada yang membicarakan Islam.
Ada
satu pengecualian terhadap kecenderungan ketidaktertarikan umat Buddha terhadap
Islam, yakni Injannashi, penulis novel Mongol pada pertengahan abad ke-19.
Dalam karya fiksinya tentang sejarah Mongol yang bernada anti-Cina dan
anti-Manchu, Catatan Biru (Mong. Köke sudar), ia menunjukkan
bahwa agama Islam dan Buddha memiliki kesamaan maksud: “kebaikan”. Sebagai
contoh, ia mengutip fakta bahwa tukang jagal Muslim dan Buddha menyembelih
hewan sambil berdoa supaya hewan itu dilahirkan kembali di surga
Penjelasan yang Disarankan tentang Kurangnya Minat
Umat Buddha Kuno terhadap Doktrin Islam
Secara
umum, para cendekiawan Buddha maupun Muslim tertarik terhadap tata agama lain
ketika agama mereka menyebar ke wilayah yang telah memiliki agama asli yang
mapan. Namun, jika sebaliknya, mereka tidak memiliki minat itu. Mereka tidak
begitu berminat terhadap agama lain yang menyebar atau mencoba menyebar ke
wilayah tempat agama mereka telah menjadi keyakinan utama.
Kadang-kadang,
ajaran Buddha meminjam gagasan tertentu dari agama asli di wilayah yang
dikunjunginya, atau menekankan pokok-pokok dalam Buddha India yang mirip dengan
unsur dari agama itu. Sebagai contoh, cita-cita bodhisattwa, tanah murni, dan
Amitabha, Buddha Cahaya Tak Terbatas, memiliki kesamaan dengan ajaran Zarathustra
(Zoroastrianisme), yang hidup di wilayah budaya Iran. Bagaimanapun,
naskah-naskah Buddha tidak ragu untuk menunjukkan adat di wilayah itu yang
secara etika pantas dipertanyakan. Ulasan Agung (Skt. Mahavibhasa),
misalnya, yang disusun di Kashmir pada abad ke-2, menggambarkan inses dan
pembunuhan semut sebagai hal yang dilarang oleh ajaran Yonaka. Orang-orang
Yonaka ini merujuk, secara harfiah, pada penduduk Yunani yang menetap di
wilayah Bakhtar di Kerajaan Kushan, dan khususnya orang Indo-Skithia yang tinggal
di sana, yang merupakan penganut ajaran Zarathustra dan Mithra. Guru Buddha
India pada abad ke-6, Bhavaviveka, mengulang penggambaran ajaran-ajaran Yonaka
yang pantas dipertanyakan itu dalam karyanya Nyala Penalaran (Skt. Tarkajvala),
contoh paling awal dari naskah tata ajaran tersebut.
Dalam
kasus penyebaran ajaran Buddha ke Cina, cara pertama yang digunakan dalam
penerjemahan naskah disebut “mencapai maknanya” (Chin. geyi, Wade-Giles:
ko-i). Ini mencakup pemakaian istilah teknis Dao dan Neo-Dao sebagai
konsep sejajar untuk penerjemahan istilah Buddha. Beberapa guru Buddha Cina
awal, seperti Zhidun di awal abad ke-4 dan Sengzhao di awal abad ke-5, bahkan
menjelaskan kehampaan (kekosongan) dalam kerangka “makhluk” dan “bukan
makhluk”. Nilai-nilai dan cara berpikir Konfusius juga memengaruhi pemilihan
istilah, seperti menggunakan “manusia” untuk “makhluk hidup” dan menjelaskan
kesetiaan keluarga sebagai sebuah sifat baik Buddha. Semua ini menyiratkan,
bila bukan sebuah dialog, paling tidak pengetahuan umat Buddha terhadap sistem
yang dimiliki orang Cina pribumi tersebut.
Dalam
banyak kasus lain, ketertarikan umat Buddha terhadap sistem di luar Buddha
didorong oleh persaingan untuk memperoleh dukungan kerajaan. Kadang, kedua
agama yang bersaing itu telah mapan di suatu wilayah. Inilah yang terjadi
ketika cendekiawan Buddha di wihara-wihara di India Utara beradu-pendapat
dengan cendekiawan dari berbagai agama dan sistem filsafat India di luar Buddha
sejak awal abad ke-4 hingga akhir abad ke-12.
Di
masa-masa lain, kedua belah pihak bersaing supaya dipilih oleh raja sebagai
agama resmi yang bisa menyatukan kerajaan. Meskipun adu-pendapat di Wihara
Samyay (Tib. bSam-yas) di Tibet antara guru Madhyamaka India dan Chan
Cina, yang terjadi pada tahun-tahun terakhir abad ke-8, adalah antara dua
bentuk ajaran Buddha, adu-pendapat ini masuk ke dalam kelompok umum ini. Kasus
yang lebih relevan adalah adu-pendapat antara umat Buddha dan Dao Cina yang
diadakan oleh cucu-cucu Jenghis Khan untuk menentukan agama resmi bagi
kerajaan-kerajaan Khan Mongol yang baru. Adu-pendapat pertama diadakan di
mahkamah kerajaan Mongke Khan pada tahun 1255 dan yang kedua di kerajaan
adiknya, Khubilai (Kublai) Khan, tiga tahun kemudian. Pokok pertengkaran yang
terjadi adalah pernyataan penganut Dao bahwa Buddha pernah menjadi murid Laozi.
Adu-pendapat itu hanya sedikit menyinggung keyakinan doktrin yang bersifat
filosofis.
William
dari Rubruck, seorang pewarta Alkitab Fransiskan dari Flanders, mengunjungi
kerajaan Mongke Khan di abad ke-13. Dalam catatan perjalanannya, ia
menggambarkan sebuah adu-pendapat tentang keberadaan hanya satu Tuhan yang
terjadi di kerajaan pada 1254, terutama antara dirinya dan wakil dari agama
“Tuin” atau “pemuja berhala”. Yang juga hadir di sana adalah wakil dari Kristen
Nestorian dan agama “Saracen”, yaitu Islam.
Meskipun
beberapa cendekiawan menganggap adu-pendapat itu mempertentangkan agama Kristen
dan Islam melawan Buddha, kesimpulan ini patut dipertanyakan, berdasarkan
catatan William dari Rubruck sendiri. Pertama, nama Tuin berasal dari
kata Cina dao-ren, yang berarti orang-orang Dao. Tampaknya, biarawan
Fransiskan itu bergantung pada penerjemah Cina di kerajaan Mongol. Lebih jauh,
ia menggambarkan orang Tuin menerima pernyataan ajaran Mani (Manikheisme) bahwa
semesta itu terbagi menjadi kebaikan dan kejahatan. Mereka percaya pada satu
dewa tertinggi di langit, katanya, tapi dewa ini tidak mahakuasa, sepenuhnya
roh, dan tak pernah mengambil bentuk manusia. Sepuluh dewa lainnya hidup di
bawahnya, satu dewa lagi di bawah sepuluh dewa tersebut, lalu dewa-dewa yang
jumlahnya tak terhingga yang ada di bumi. Meskipun orang-orangTuin memercayai
kelahiran kembali, ia menjelaskan bahwa mereka menyatakan keberadaan jiwa.
Mereka memiliki biksu-biksu yang hidup lajang, yang mendaraskan mantra, tapi
sosok yang dipuji di candi adalah patung orang yang sudah meninggal dan bukan
dewa tertinggi mereka.
Dengan
demikian, hampir bisa dipastikan bahwa orang Tuin bukanlah penganut Buddha
murni. Tampaknya, William dari Rubruck, dalam mencoba menjelaskan keyakinan
orang Tuin di dalam kerangka Kristen, mencampurkan penganut Buddha, Dao, dan
Manikheisme di Kerajaan Mongke Khan―semuanya disebut “pemuja berhala”.
Selanjutnya, menurut catatan biarawan Fransiskan tersebut, umat Muslim dan
Nestorian tidak benar-benar menyumbangkan sesuatu dalam adu-pendapat itu, tapi
semata setuju dengan pernyataan dirinya. Oleh karena itu, kita tidak bisa
melihat adu-pendapat ini sebagai sebuah dialog antara umat Buddha dan Muslim.
Sebagai
ringkasan, kemudian, ajaran Buddha tertarik terhadap doktrin agama lain (1)
ketika ajaran Buddha menyebar ke wilayah di luar Buddha yang di sana ada agama
lain yang sangat berpengaruh; (2) ketika, bersama tata keyakinan lain, ajaran
Buddha dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai agama resmi, atau (3) ajaran
Buddha bersaing dengan agama lain untuk mendapatkan dukungan kerajaan. Kecuali
selama masa yang sangat pendek di Iran di bawah kepemimpinan Ilkhan, Islam
tidak termasuk ke dalam salah satu keadaan mana pun di atas sebagai “agama
lain”. Namun pada masa kepemimpinan Ilkhan itu sekali pun, ketika orang Mongol
menyebarkan agama Buddha ke Iran yang menganut Islam, umat Buddha juga tidak
menunjukkan ketertarikan terhadap doktrin Muslim. Satu-satunya waktu ketika
umat Buddha memerhatikan keyakinan Islam, di masa itu, adalah saat ada ancaman
serbuan pasukan militan Islam.
Keadaan Saat Ini antara Penduduk Buddha dan Muslim di
Asia
Contoh-contoh
sejarah di atas tampaknya menempatkan letak ajaran Buddha di dunia saat ini
berhadap-hadapan dengan tata keyakinan lain. Sejak paruh kedua abad ke-12,
ajaran Buddha telah menyebar di banyak wilayah dunia yang di sana agama lain
telah menjadi keyakinan secara turun-temurun. Ini lalu mengarah pada
kecenderungan yang berkembang menuju dialog lintas-iman pemimpin Buddha dengan
pemimpin dari keyakinan Kristen dan Yahudi. Namun, ajaran Buddha belum menyebar
ke wilayah yang sejak dulu dihuni umat Muslim. Ketertarikan umat Buddha untuk
melakukan dialog dengan umat Muslim lebih didorong oleh ancaman pergolakan,
khususnya sejak awal abad ke-21. Sebagian ancaman ini berasal dari keadaan
kekerasan yang diciptakan oleh serangan teroris kaum ekstrem Islam dan
tanggapan militer yang kuat terhadapnya. Sebagian lagi berakar dari persaingan
ekonomi sejak lama antara masyarakat Buddha dan Muslim di Asia, yang diperburuk
oleh ancaman globalisasi ekonomi. Dalam beberapa kasus, keadaan tersebut
menjadi lebih rumit akibat kebijakan dari penjajah di masa lalu dan kini.
Seringkali, beberapa unsur tersebut bercampur satu sama lain.
Dalam
keadaan berbahaya seperti itu, pendidikan dan dialog penting dilakukan, karena
banyak orang secara keliru menyamakan kaum ekstrem dengan masyarakat Muslim
secara keseluruhan, dan menyamakan kebijakan serta taktik kaum ekstrem dengan
ajaran Islam. Selain itu, sebagian orang cenderung menyalahkan kekerasan semata
kepada doktrin agama, dan mengabaikan unsur politik, budaya, sosial, sejarah,
dan ekonomi yang terlibat di dalamnya. Kepicikan seperti ini memperburuk konflik
yang ada.
Sebagai
contoh, di Afghanistan, perusakan kaum Taliban terhadap patung-patung besar
Buddha di Bamiyan pada 2001 lebih merupakan, mungkin, bentuk protes terhadap
sanksi internasional dan penarikan bantuan kemanusiaan, bukan semata serangan
terhadap agama dan umat Buddha. Bagaimanapun juga, tidak ada umat Buddha, yang
hidup di Afghanistan, yang menyembah patung-patung itu.
Bangladesh,
di sisi lain, memiliki penduduk yang satu persennnya adalah umat Buddha, yang
hidup terutama di Bagian Chittagong dan Wilayah Bukit Choittagong. Akibat dari
gerakan fundamentalis Islam Bangladesh sejak peristiwa 11 September 2001,
sejumlah kekerasan yang dilakukan umat Muslim terjadi di dua wilayah itu, yang
ditujukan kepada penduduk Buddha. Kekerasan macam itu, bagaimanapun, tidak
terbatas pada umat Buddha atau wilayah itu saja, tapi juga meliputi umat
Kristen di seluruh Bangladesh. Ini adalah contoh jelas mengenai meningkatnya
kekerasan sejak “ Perang terhadap Teror” dan serbuan A.S. ke Afghanistan dan
Irak. Meskipun perubahan undang-undang dasar telah disahkan pada 1988 yang
menyatakan “cara hidup Islami” untuk Bangladesh, ketegangan antara penduduk
Muslim dan Buddha di sana jauh lebih sedikit sebelum adanya peristiwa 11
September.
Malaysia
dan Indonesia adalah contoh dua negara tempat unsur-unsur ekonomi ikut
berpengaruh dalam menciptakan ketegangan masyarakat. Keduanya memiliki penduduk
Muslim asli yang banyak, dengan kurang-lebih kaum minoritas Buddha Cina yang
lebih kaya daripada mereka. Namun, hanya di Indonesia, hubungan di antara dua
kelompok suku itu telah berkembang menjadi tegang. Ini mengikuti krisis ekonomi
pada 1997-1998 dan kejatuhan pemerintahan Soeharto.
Di
sisi lain, di Kashmir dan Ladakh serta di wilayah budaya Tibet yang dikuasai
Republik Rakyat Cina, konflik-konflik antara umat Buddha dan Muslim tidak
mencapai tahap kekerasan terbuka. Bagaimanapun, ketegangan itu ada, dan
terutama disebabkan persaingan ekonomi di antara dua kelompok itu, bukan karena
perbedaan doktrin. Dalam kasus wilayah budaya Tibet, keadaannya diperburuk oleh
kebijakan Cina yang menggerakkan, mendukung, dan menyediakan sarana untuk
perpindahan penduduk non-Tibet ke wilayah-wilayah tersebut
Kebijakan
pemerintah juga memengaruhi keadaan di Burma/Myanmar. Di sana, pertentangan
suku terutama terjadi oleh umat Buddha terhadap umat Muslim Rohingya di Wilayah
Rakhine Utara, Arakan. Kekerasan tersebut memcerminkan kekesalan hati umat
Buddha secara umum terhadap orang di luar Buddha yang bermukim di antara
mereka, terutama suku Bengali Muslim. Kekesalan hati ini berkembang sebagai
tanggapan terhadap perlakuan khusus pemerintah kolonial Inggris terhadap warga
di luar Buddha selama penjajahan. Pemerintah junta militer saat ini mengambil
keuntungan dari kecurigaan ini dengan memberlakukan pembatasan ketat terhadap
umat Muslim dengan menolak kewarganegaraan mereka, dan pemerintah sering
disalahkan oleh penduduk Islam sebagai penyebab terjadinya serangan umat Buddha
terhadap mereka.
Di
Thailand selatan, kekerasan umat Muslim-Buddha berakar dari penaklukan wilayah
Muslim Melayu Pattani untuk masuk ke dalam kekuasaan Thailand sebagai bagian
dari Perjanjian Anglo-Siam pada 1909, dan kurangnya penyatuan lebih jauh dari
wilayah ini ke negara Buddha tersebut.
Sumber
: buddhist_muslim_doctrinal_relations.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^