Rabu, 29 Mei 2013

Hubungan Doktrin Umat Buddha-Muslim: Masa Lalu, Sekarang, dan Depan

Alexander Berzin, Aslinya diterbitkan dengan banyak catatan kaki dalam Buddhist Attitudes toward Other Religions,  ed. Perry Schmidt-Leukel.  St. Ottilien: EOS Verlag, 2008, hlm. 212 – 236

Pendahuluan
Umat Buddha dan Muslim telah saling berhubungan dalam bidang budaya, politik, ekonomi, dan kadang militer selama tiga belas setengah abad terakhir. Hubungan di bidang-bidang itu, bergantung pada tempat, waktu, dan orang serta pemerintahan yang
terlibat, terbentang dari yang bersifat persahabatan hingga permusuhan. Telah banyak perhatian diberikan kepada sejarah hubungan tersebut, tapi masih sedikit yang diarahkan pada perincian terhadap hubungan doktrin di antara keduanya. Dalam tulisan ini, setelah tinjauan terhadap hubungan di masa lalu dan sekarang, saya akan mengulas harapan dan landasan bagi dialog di masa depan. Pembicaraan ini akan berpusat terutama pada sudut pandang umat Buddha terhadap keterlibatan doktrin, khususnya di wilayah budaya Indo-Tibet-Mongol.

Tinjauan Sejarah terhadap Khilafah Ummaiyyah dan Abbasiyyah
Hubungan paling awal antara penduduk Buddha dan Muslim terjadi di wilayah yang saat ini adalah Afghanistan, Iran timur, Uzbekistan, Turkmenistan, dan Tajikistan, ketika semua wilayah itu berada di bawah kekuasaan Khilafah Ummaiyyah Arab di pertengahan abad ke-7. Penulis Ummaiyyah Arab, Umar ibn al-Azraq al-Kermani, tertarik untuk menjelaskan ajaran Buddha kepada khalayak Muslim. Akibatnya, pada awal abad ke-8, ia menulis catatan terperinci tentang Wihara Nava di Balkh, Afghanistan, dan adat mendasar Buddha di sana, menjelaskannya dalam kerangka perbandingan dengan Islam. Ia menggambarkan candi utama memiliki kubus batu di tengahnya, dihias dengan kain, dan para pemuja mengelilinginya serta melakukan sujud, seperti halnya dengan Kabah di Mekah.

Tulisan-tulisan al-Kermani dikumpulkan pada abad ke-10 dalam Kitab Negeri-Negeri (Ar. Kitab al-Buldan) karya Ibn al-Faqih al-Hamadhani. Namun, para cendekiawan Buddha tampaknya tidak menunjukkan minat yang sama untuk menjelaskan adat dan keyakinan Islam kepada khalayak Buddha. Tidak ada bukti tercatat tentang gambaran macam itu di masa tersebut.

Sejak tahun 715 hingga 727, Tibet memiliki persekutuan militer dengan Ummaiyyah. Selama masa itu, Khalifah ‘Umar II menyerukan bahwa semua sekutu Ummaiyyah harus mengikuti Islam. Sebagai cara untuk memelihara persekutuan itu, Ratu Tibet Jincheng meminta supaya seorang ulama Islam dikirimkan ke Tibet. Sang Khalifah mengirimkan al-Salit bin-Abdullah al-Hanafi. Bagaimanapun, umat Buddha Tibet tampaknya tidak memiliki ketertarikan tulus terhadap Islam. Tidak ada catatan apa pun tentang dialog lintas-iman atau umat Buddha Tibet yang pindah agama ke Islam sebagai hasil dari kunjungan itu. Penerimaan yang dingin ini tampaknya lebih disebabkan oleh pengaruh kelompok yang benci terhadap orang asing di dalam mahkamah kerajaan Tibet.

Hubungan doktrin umat Buddha-Muslim selanjutnya terjadi selama paruh kedua abad ke-8, di masa Khilafah Abbasiyyah. Khalifah al-Mahdi, yang diikuti Khalifah al-Rashid, mengundang cendekiawan-cendekiawan Buddha dari India dan Wihara Nava di Balkh untuk datang ke Rumah Pengetahuan (Ar. Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Di sana, ia menugaskan mereka untuk membantu menerjemahkan khususnya naskah kedokteran dan ilmu perbintangan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab. Kitab Katalog-Katalog (Ar. Kitab al-Fihrist) karya Ibn al-Nadim di akhir abad ke-10 juga mendaftar beberapa tulisan ajaran Buddha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti catatan tentang kehidupan-kehidupan lampau Buddha, Kitab Buddha (Ar. Kitab al-Budd). Naskah ini didasarkan pada dua karya dalam bahasa Sanskerta: Tasbih Catatan Kehidupan Lampau (Skt. Jatakamala) dan karya Ashvaghosha berjudul Perbuatan-Perbuatan Buddha (Skt. Buddhacarita).

Meskipun ada ketertarikan cendekiawan Muslim terhadap agama Buddha seperti itu, tidak ada catatan tentang keyakinan Islam atau naskah Islam yang ditulis oleh cendekiawan Buddha di masa itu. Juga tidak ada bukti tentang adanya adu-pendapat filosofis dengan cendekiawan Muslim di sekolah wihara Buddha mana pun, bahkan ketika komunitas Buddha dan Muslim hidup di wilayah yang sama. Adu-pendapat hanya terjadi dengan orang-orang dari beragam tata keyakinan di luar Buddha India, dan ini terjadi terutama di India Utara tengah sebelum Islam masuk ke wilayah itu. Tak ada penyebutan tentang keyakinan Islam di naskah filosofis Buddha Sanskerta, baik pada saat itu maupun sesudahnya.

Kepustakaan Kalacakra
Satu-satunya tulisan kuno Buddha yang menyebutkan adat atau keyakinan Islam adalah kepustakaan Tantra Kalacakra, yang muncul di akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11. Namun, acuan sejarah ini tidak diperuntukkan bagi semua Muslim secara umum, tapi hanya mengacu pada pengikut Isma’ili Syiah timur pada akhir abad ke-10, sebagaimana diikuti di negara bawahan Fatimiyyah bernama Multan, di Pakistan utara-tengah masa kini.

Pada masa itu, Fatimiyyah Isma’ili di Mesir dan sekutu Multan mereka bersaing dengan Abbasiyyah Sunni untuk memperoleh kendali atas dunia Muslim. Oleh karena itu, mereka menebar ancaman berupa dua serbuan terhadap Kekaisaran Abbasiyyah yang mereka apit. Umat Buddha dan Hindu yang hidup bersama di negara bawahan Abbasiyyah bernama Ghaznawiyyah, di Afghanistan masa kini, terjebak di masa menakutkan ini. Bagian-bagian Tantra Kalacakra yang berkenaan dengan dunia luar kemungkinan besar ditulis sebagai tanggapan terhadap keadaan ini. Tulisan tersebut menyarankan kepada umat Hindu supaya menegaskan kembali nilai-nilai batin mereka dan bergabung bersama dalam satu kasta dengan umat Buddha dan sisa penduduk lainnya, sehingga tidak terserap ke dalam agama penyerbu akibat keluguan dan kurangnya persatuan.

Gambaran Kalacakra terhadap agama penyerbu hanya menandakan sebagian pemahaman terhadap aliran Islam pada masa itu. Gambaran ini mencakup adat semua aliran Islam yang berdoa lima kali sehari setelah membersihkan diri, bersujud ke arah tanah suci, menyembah satu Tuhan di surga, mencari tujuan batin berupa menikmati kebahagiaan surgawi, menghancurkan segala macam patung dewa, mengikuti cara halal dalam menyembelih hewan, makan hanya setelah matahari terbenam selama bulan Ramadhan, menjaga kebersihan umum, menghormati kesetaraan semua laki-laki dalam satu kasta tanpa menyatakan kaum brahmana sebagai kasta paling murni, sunat, perempuan mengenakan kerudung, menjaga budi pekerti ketat secara umum, dan, secara khusus, tidak mencuri, tidak berbohong, dan menjaga kesetiaan perkawinan. Keyakinan seluruh aliran Islam yang digambarkan oleh Kalacakra juga mencakup pernyataan-pernyataan tentang Tuhan Pencipta yang disebut “Rahman” , sifat atom dari zat, jiwa pribadi yang kekal dan memikul tanggung jawab atas tindakannya, dan Hari Penghakiman ketika, karena menyenangkannya, Rahman mengirimkan jiwa-jiwa untuk lahir kembali di surga dan, karena tidak menyenangkannya, lahir kembali di neraka.

Perincian khusus tertentu, seperti nabi-nabi Islam dan pernyataan bahwa hanya sebuah unsur dari jiwa yang menjalani kelahiran sementara dalam keberadaan duniawi, didasarkan terutama pada ajaran Isma’ili Syiah, yang dirumuskan oleh Abu Ya’qub al-Sijistani. Beberapa perincian, seperti kelahiran kembali di surga atau neraka dengan raga manusia, didasarkan pada teolog-teolog Islam lain pada masa itu. Perincian lain adalah semata usaha untuk menjelaskan keyakinan Islam dalam kerangka yang bisa dipahami oleh umat Buddha dan Hindu, seperti menggambarkan Muhammad sebagai penjelmaan Rahman, sebagaimana Krishna adalah penjelmaan (Skt. avatara) dewa Wisnu.

Kepustakaan Kalacakra juga menggarisbawahi pokok-pokok yang dimiliki bersama oleh ajaran Buddha dan Islam, antara lain sifat atom dari zat dan jiwa yang memikul tanggung jawab untuk tindakannya. Tanpa secara khusus mempermasalahkan penafsiran Muslim terhadap pokok-pokok itu, naskah-naskah Kalacakra menandakan cara mengarahkan umat Muslim menuju pemahaman terhadap pernyataan-pernyataan Buddha. Hal utama yang dipermasalahkan oleh naskah-naskah itu adalah kelahiran kembali di surga merupakan tujuan batin yang paripurna dan pencapaian terakhir yang bisa diraih seseorang. Ini dipermasalahkan karena bertentangan dengan pernyataan penting Buddha tentang pembebasan akhir dari karma dan kelahiran kembali. Kepustakaan Kalacakra juga menganggap ada kesalahan dalam cara halal penyembelihan, yang digambarkannya sebagai menggorok leher hewan sambil mengucapkan mantra Tuhan, Bismillah. Namun, dasar dari kritik ini adalah kesalahpahaman terhadap adat Islam tersebut, yang mereka anggap sebagai pengorbanan darah bagi sosok dewa tertentu.

Ketertarikan Muslim Lebih Lanjut terhadap Ajaran Buddha
Selama beberapa abad selanjutnya, tidak ada bukti tentang cendekiawan Muslim yang menjadi sadar akan atau memerhatikan wilayah-wilayah bermasalah yang disebutkan dalam kepustakaan Kalacakra. Bagaimanapun, ketertarikan akan ajaran Buddha tetap ada di antara mereka, seperti tampak dalam beberapa karya sejarah; sementara, di samping penafsiran Kalacakra, tidak ada ketertarikan lebih lanjut dari umat Buddha terhadap Islam.

Sebagai contoh, selama Dinasti Ghaznawiyyah, sejarawan Persia, al-Biruni, mendampingi Mahmud Ghazni dalam serbuan menuju anak-benua India di awal abad ke-8 M. Berdasarkan apa yang ia pelajari di sana, al-Biruni menulis Kitab tentang India (Ar. Kitab al-Hind). Di dalamnya, ia menggambarkan adat dan keyakinan dasar Buddha serta mencatat bahwa orang India menganggap Buddha sebagai seorang nabi. Ini tidak berarti, tentu saja, bahwa ia mengusulkan supaya umat Muslim menerima Buddha sebagai nabi Allah, tapi ini menandakan pemahamannya bahwa umat Buddha tidak melihat Buddha Shakyamuni sebagai Tuhan mereka. Kemudian, al-Shahrastani, yang melayani di bawah dinasti Seljuk, mengulang catatan al-Biruni tentang agama Buddha dalam karyanya Kitab Agama dan Kepercayaan (Ar. Kitab al-Milal wa al-Nihal), yang terbit pada abad ke-12.

Orang Mongol
Di akhir abad ke-13, Khubilai Khan, cucu Jenghis Khan dan Kaisar Yuan Cina, menerapkan bentuk Sakya dari Buddha Tibet. Ia mempekerjakan orang-orang Muslim Asia Tengah sebagai pengumpul pajak dengan maksud membangun sebuah pemisah antara orang-orang Cina yang menjadi subjek pajaknya dan penguasa Mongol mereka. Di awal pemerintahannya, Khubilai Khan mengizinkan umat Muslim melakukan semua adat mereka. Namun, dalam menanggapi dukungan sepupu dan musuhnya, Khaidu, terhadap umat Muslim, Khubilai membuat peraturan anti-Muslim. Pada tahun 1280, ia melarang sunat dan cara penyembelihan yang halal. Perintah yang terakhir ini segaris dengan aturan jasagh dari Jenghis Khan, yang melarang pencemaran bumi dengan darah hewan yang disembelih. Ini tidak berhubungan sama sekali dengan keyakinan Buddha, tapi hanya berkenaan dengan adat Mongol sebelum Buddha. Oleh karena itu, meskipun Khubilai Khan memeluk agama Buddha, interaksinya dengan subjek pajaknya yang Muslim tidak berhubungan dengan dialog doktrin umat Buddha-Muslim.

Agama Buddha bahkan disebarkan oleh orang Mongol ke wilayah yang telah dihuni Muslim sejak lama, tapi tetap saja umat Buddha tidak memiliki ketertarikan terhadap keyakinan penduduk asli tersebut. Secara khusus, selama sebagian besar masa Dinasti Ilkhanat, ketika orang Mongol memerintah Iran pada paruh kedua abad ke-13, orang Khan Mongol melaksanakan dan menyebarkan Buddha Tibet di sana. Sa’d al-Daula, menteri Arghun Khan, mengusulkan supaya unsur-unsur tertentu Islam dimasukkan ke dalam kebijakan kerajaan Khan. Ia menyarankan supaya Jenghis Khan dan garis keturunannya dikukuhkan sebagai nabi, sebagaimana garis imam-imam Syiah, dan supaya Arghun Khan mengikuti contoh Muhammad dan menentukan Buddha sebagai agama resmi serta mengubah Kabah menjadi candi Buddha. Meskipun Khan tersebut mengumumkan Buddha sebagai agama kerajaan dan mengundang banyak biksu dari Kashmir dan Tibet ke kerajaannya, ia tidak melaksanakan semua saran lain dari menterinya itu.

Penguasa Ilkhanat selanjutnya, Ghazan Khan, segera pindah agama ke Islam setelah naik tahta. Ketika ia memerintahkan menterinya, Rashid al-Din, untuk menulis Sejarah Semesta (Ar. Jami’ al-Tawarikh), ia menghendaki supaya karya itu memuat gambaran tentang tata keyakinan yang dianut beragam orang yang telah ditemui orang Mongol, termasuk ajaran Buddha. Selanjutnya, ia mengundang Bakshi Kamalashri, seorang biksu dari Kashmir, untuk datang ke kerajaannya dan membantu Rashid al-Din dalam pekerjaannya. Hasil kerja sama mereka adalah Kisah Hidup dan Ajaran Buddha, yang muncul dalam bahasa Arab dan Persia sebagai bagian ketiga dari Sejarah India, volume kedua dari Sejarah Semesta.

Sebagaimana karya-karya al-Kermani dan al-Biruni sebelumnya, Rashid al-Din menjelaskan ajaran Buddha dalam kerangka Muslim. Oleh karena itu, ia menyebut Buddha sebagai satu dari enam pendiri agama yang diterima sebagai nabi oleh orang India. Enam pendiri agama itu adalah tiga bertuhan―S iwa, Wisnu, dan Brahma―dan tiga tak bertuhan―Arhanta untuk agama Jain, Nastika untuk Charwaka, dan Shakyamuni untuk Buddha. Ia juga mengacu dewa sebagai malaikat, dan Mara sebagai Iblis, Setan. Naskah itu juga menyebutkan enam alam kelahiran kembali, hukum karma sebab dan akibat, serta bahwa kata-kata Buddha diabadikan di dalam Kangyur, kumpulan terjemahan Tibet dari kata-kata itu.

Rashid al-Din juga melaporkan bahwa di masanya, sebelas naskah Buddha dalam terjemahan Arab telah beredar di Iran. Naskah-naskah ini meliputi naskah Mahayana seperti Sutra tentang Larik dari Tanah Murni Sukacita (Skt. Sukhavativyuha Sutra) yang berkenaan dengan Tanah Murni Amitabha, Sutra tentang Larik Bagai Keranda (Skt. Karandavyuha Sutra) yang berkenaan dengan Avalokiteshvara, penjelmaan dari welas asih, dan Suatu Karangan tentang Maitreya (Skt. Maitreyavyakarana) yang berkenaan dengan Maitreya, sosok Buddha masa depan dan penjelmaan dari cinta. Bagaimanapun, beberapa hal dari gambaran Rashid al-Din sangat khayali. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa sebelum Islam, orang-orang Mekah dan Medinah adalah penganut Buddha dan menyembah sosok-sosok yang menyerupai Buddha di Kabah.

Lebih dari satu abad kemudian, di awal abad ke-15, Hafiz-i Abru, yang melayani kerajaan Shahrukh dari Dinasti Timurid di Samarkand, menyusun Kumpulan Sejarah (Ar. Majma at-Tawarikh). Salah satu bagian di dalamnya mengulas Buddha dan ajaran Buddha yang didasarkan pada karya Rashid al-Din.

Meskipun sejarah-sejarah India yang ditulis oleh cendekiawan Muslim memasukkan gambaran mengenai keyakinan Buddha, kita tidak menemukan catatan yang sebanding tentang keyakinan Islam dalam sejarah-sejarah India yang ditulis oleh pengarang Buddha Tibet atau Mongolia setelah penyebaran Islam di India. Sebagai contoh, dalam Sejarah Ajaran Buddha di India (Tib. rGya-gar chos-‘ byung) karya cendekiawan Tibet Taranatha pada awal abad ke-17, Taranatha melukiskan perusakan wihara-wihara Buddha di India Utara pada awal ke-13 oleh pasukan Muslim Guzz Turki selama Dinasti Ghuriyyah. Namun, Taranatha tidak menyebutkan apa pun tentang Islam itu sendiri. Kemudian, pada pertengahan abad ke-17, akibat kelaparan di tanah asal mereka, orang Muslim Kashmir menetap di Tibet dan membaur secara damai ke dalam masyarakat Buddha Tibet, dengan hak-hak istimewa yang diberikan oleh Dalai Lama Kelima. Meski demikian, tetap tidak ada dialog doktrin antara dua agama ini.

Selain itu, ketika membicarakan keyakinan-keyakinan di luar Buddha, naskah-naskah Buddha India, Tibet, dan Mongol tentang tata ajaran (Skt. siddhanta, Tib. grub-mtha’) berpusat terutama, kalau bukan hanya, pada tata India asli. Bahkan ketika semua naskah itu membahas di luar wilayah budaya India dan menghadirkan keyakinan Cina di luar Buddha dan Tibet asli, seperti Cermin Kristal Penjelasan Hebat yang Menunjukkan Sumber dan Pernyataan dari Semua Tata Ajaran (Tib. Grub-mtha’ thams-cad-kyi khungs-dang ‘dod-tshul ston-pa legs-bshad shel-gyi me-long) karya Tuken Lozang-chokyi-nyima, seorang cendekiawan pada paruh kedua abad ke-18, tidak ada yang membicarakan Islam.

Ada satu pengecualian terhadap kecenderungan ketidaktertarikan umat Buddha terhadap Islam, yakni Injannashi, penulis novel Mongol pada pertengahan abad ke-19. Dalam karya fiksinya tentang sejarah Mongol yang bernada anti-Cina dan anti-Manchu, Catatan Biru (Mong. Köke sudar), ia menunjukkan bahwa agama Islam dan Buddha memiliki kesamaan maksud: “kebaikan”. Sebagai contoh, ia mengutip fakta bahwa tukang jagal Muslim dan Buddha menyembelih hewan sambil berdoa supaya hewan itu dilahirkan kembali di surga

Penjelasan yang Disarankan tentang Kurangnya Minat Umat Buddha Kuno terhadap Doktrin Islam
Secara umum, para cendekiawan Buddha maupun Muslim tertarik terhadap tata agama lain ketika agama mereka menyebar ke wilayah yang telah memiliki agama asli yang mapan. Namun, jika sebaliknya, mereka tidak memiliki minat itu. Mereka tidak begitu berminat terhadap agama lain yang menyebar atau mencoba menyebar ke wilayah tempat agama mereka telah menjadi keyakinan utama.

Kadang-kadang, ajaran Buddha meminjam gagasan tertentu dari agama asli di wilayah yang dikunjunginya, atau menekankan pokok-pokok dalam Buddha India yang mirip dengan unsur dari agama itu. Sebagai contoh, cita-cita bodhisattwa, tanah murni, dan Amitabha, Buddha Cahaya Tak Terbatas, memiliki kesamaan dengan ajaran Zarathustra (Zoroastrianisme), yang hidup di wilayah budaya Iran. Bagaimanapun, naskah-naskah Buddha tidak ragu untuk menunjukkan adat di wilayah itu yang secara etika pantas dipertanyakan. Ulasan Agung (Skt. Mahavibhasa), misalnya, yang disusun di Kashmir pada abad ke-2, menggambarkan inses dan pembunuhan semut sebagai hal yang dilarang oleh ajaran Yonaka. Orang-orang Yonaka ini merujuk, secara harfiah, pada penduduk Yunani yang menetap di wilayah Bakhtar di Kerajaan Kushan, dan khususnya orang Indo-Skithia yang tinggal di sana, yang merupakan penganut ajaran Zarathustra dan Mithra. Guru Buddha India pada abad ke-6, Bhavaviveka, mengulang penggambaran ajaran-ajaran Yonaka yang pantas dipertanyakan itu dalam karyanya Nyala Penalaran (Skt. Tarkajvala), contoh paling awal dari naskah tata ajaran tersebut.

Dalam kasus penyebaran ajaran Buddha ke Cina, cara pertama yang digunakan dalam penerjemahan naskah disebut “mencapai maknanya” (Chin. geyi, Wade-Giles: ko-i). Ini mencakup pemakaian istilah teknis Dao dan Neo-Dao sebagai konsep sejajar untuk penerjemahan istilah Buddha. Beberapa guru Buddha Cina awal, seperti Zhidun di awal abad ke-4 dan Sengzhao di awal abad ke-5, bahkan menjelaskan kehampaan (kekosongan) dalam kerangka “makhluk” dan “bukan makhluk”. Nilai-nilai dan cara berpikir Konfusius juga memengaruhi pemilihan istilah, seperti menggunakan “manusia” untuk “makhluk hidup” dan menjelaskan kesetiaan keluarga sebagai sebuah sifat baik Buddha. Semua ini menyiratkan, bila bukan sebuah dialog, paling tidak pengetahuan umat Buddha terhadap sistem yang dimiliki orang Cina pribumi tersebut.

Dalam banyak kasus lain, ketertarikan umat Buddha terhadap sistem di luar Buddha didorong oleh persaingan untuk memperoleh dukungan kerajaan. Kadang, kedua agama yang bersaing itu telah mapan di suatu wilayah. Inilah yang terjadi ketika cendekiawan Buddha di wihara-wihara di India Utara beradu-pendapat dengan cendekiawan dari berbagai agama dan sistem filsafat India di luar Buddha sejak awal abad ke-4 hingga akhir abad ke-12.

Di masa-masa lain, kedua belah pihak bersaing supaya dipilih oleh raja sebagai agama resmi yang bisa menyatukan kerajaan. Meskipun adu-pendapat di Wihara Samyay (Tib. bSam-yas) di Tibet antara guru Madhyamaka India dan Chan Cina, yang terjadi pada tahun-tahun terakhir abad ke-8, adalah antara dua bentuk ajaran Buddha, adu-pendapat ini masuk ke dalam kelompok umum ini. Kasus yang lebih relevan adalah adu-pendapat antara umat Buddha dan Dao Cina yang diadakan oleh cucu-cucu Jenghis Khan untuk menentukan agama resmi bagi kerajaan-kerajaan Khan Mongol yang baru. Adu-pendapat pertama diadakan di mahkamah kerajaan Mongke Khan pada tahun 1255 dan yang kedua di kerajaan adiknya, Khubilai (Kublai) Khan, tiga tahun kemudian. Pokok pertengkaran yang terjadi adalah pernyataan penganut Dao bahwa Buddha pernah menjadi murid Laozi. Adu-pendapat itu hanya sedikit menyinggung keyakinan doktrin yang bersifat filosofis.

William dari Rubruck, seorang pewarta Alkitab Fransiskan dari Flanders, mengunjungi kerajaan Mongke Khan di abad ke-13. Dalam catatan perjalanannya, ia menggambarkan sebuah adu-pendapat tentang keberadaan hanya satu Tuhan yang terjadi di kerajaan pada 1254, terutama antara dirinya dan wakil dari agama “Tuin” atau “pemuja berhala”. Yang juga hadir di sana adalah wakil dari Kristen Nestorian dan agama “Saracen”, yaitu Islam.

Meskipun beberapa cendekiawan menganggap adu-pendapat itu mempertentangkan agama Kristen dan Islam melawan Buddha, kesimpulan ini patut dipertanyakan, berdasarkan catatan William dari Rubruck sendiri. Pertama, nama Tuin berasal dari kata Cina dao-ren, yang berarti orang-orang Dao. Tampaknya, biarawan Fransiskan itu bergantung pada penerjemah Cina di kerajaan Mongol. Lebih jauh, ia menggambarkan orang Tuin menerima pernyataan ajaran Mani (Manikheisme) bahwa semesta itu terbagi menjadi kebaikan dan kejahatan. Mereka percaya pada satu dewa tertinggi di langit, katanya, tapi dewa ini tidak mahakuasa, sepenuhnya roh, dan tak pernah mengambil bentuk manusia. Sepuluh dewa lainnya hidup di bawahnya, satu dewa lagi di bawah sepuluh dewa tersebut, lalu dewa-dewa yang jumlahnya tak terhingga yang ada di bumi. Meskipun orang-orangTuin memercayai kelahiran kembali, ia menjelaskan bahwa mereka menyatakan keberadaan jiwa. Mereka memiliki biksu-biksu yang hidup lajang, yang mendaraskan mantra, tapi sosok yang dipuji di candi adalah patung orang yang sudah meninggal dan bukan dewa tertinggi mereka.

Dengan demikian, hampir bisa dipastikan bahwa orang Tuin bukanlah penganut Buddha murni. Tampaknya, William dari Rubruck, dalam mencoba menjelaskan keyakinan orang Tuin di dalam kerangka Kristen, mencampurkan penganut Buddha, Dao, dan Manikheisme di Kerajaan Mongke Khan―semuanya disebut “pemuja berhala”. Selanjutnya, menurut catatan biarawan Fransiskan tersebut, umat Muslim dan Nestorian tidak benar-benar menyumbangkan sesuatu dalam adu-pendapat itu, tapi semata setuju dengan pernyataan dirinya. Oleh karena itu, kita tidak bisa melihat adu-pendapat ini sebagai sebuah dialog antara umat Buddha dan Muslim.

Sebagai ringkasan, kemudian, ajaran Buddha tertarik terhadap doktrin agama lain (1) ketika ajaran Buddha menyebar ke wilayah di luar Buddha yang di sana ada agama lain yang sangat berpengaruh; (2) ketika, bersama tata keyakinan lain, ajaran Buddha dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai agama resmi, atau (3) ajaran Buddha bersaing dengan agama lain untuk mendapatkan dukungan kerajaan. Kecuali selama masa yang sangat pendek di Iran di bawah kepemimpinan Ilkhan, Islam tidak termasuk ke dalam salah satu keadaan mana pun di atas sebagai “agama lain”. Namun pada masa kepemimpinan Ilkhan itu sekali pun, ketika orang Mongol menyebarkan agama Buddha ke Iran yang menganut Islam, umat Buddha juga tidak menunjukkan ketertarikan terhadap doktrin Muslim. Satu-satunya waktu ketika umat Buddha memerhatikan keyakinan Islam, di masa itu, adalah saat ada ancaman serbuan pasukan militan Islam.

Keadaan Saat Ini antara Penduduk Buddha dan Muslim di Asia
Contoh-contoh sejarah di atas tampaknya menempatkan letak ajaran Buddha di dunia saat ini berhadap-hadapan dengan tata keyakinan lain. Sejak paruh kedua abad ke-12, ajaran Buddha telah menyebar di banyak wilayah dunia yang di sana agama lain telah menjadi keyakinan secara turun-temurun. Ini lalu mengarah pada kecenderungan yang berkembang menuju dialog lintas-iman pemimpin Buddha dengan pemimpin dari keyakinan Kristen dan Yahudi. Namun, ajaran Buddha belum menyebar ke wilayah yang sejak dulu dihuni umat Muslim. Ketertarikan umat Buddha untuk melakukan dialog dengan umat Muslim lebih didorong oleh ancaman pergolakan, khususnya sejak awal abad ke-21. Sebagian ancaman ini berasal dari keadaan kekerasan yang diciptakan oleh serangan teroris kaum ekstrem Islam dan tanggapan militer yang kuat terhadapnya. Sebagian lagi berakar dari persaingan ekonomi sejak lama antara masyarakat Buddha dan Muslim di Asia, yang diperburuk oleh ancaman globalisasi ekonomi. Dalam beberapa kasus, keadaan tersebut menjadi lebih rumit akibat kebijakan dari penjajah di masa lalu dan kini. Seringkali, beberapa unsur tersebut bercampur satu sama lain.

Dalam keadaan berbahaya seperti itu, pendidikan dan dialog penting dilakukan, karena banyak orang secara keliru menyamakan kaum ekstrem dengan masyarakat Muslim secara keseluruhan, dan menyamakan kebijakan serta taktik kaum ekstrem dengan ajaran Islam. Selain itu, sebagian orang cenderung menyalahkan kekerasan semata kepada doktrin agama, dan mengabaikan unsur politik, budaya, sosial, sejarah, dan ekonomi yang terlibat di dalamnya. Kepicikan seperti ini memperburuk konflik yang ada.

Sebagai contoh, di Afghanistan, perusakan kaum Taliban terhadap patung-patung besar Buddha di Bamiyan pada 2001 lebih merupakan, mungkin, bentuk protes terhadap sanksi internasional dan penarikan bantuan kemanusiaan, bukan semata serangan terhadap agama dan umat Buddha. Bagaimanapun juga, tidak ada umat Buddha, yang hidup di Afghanistan, yang menyembah patung-patung itu.

Bangladesh, di sisi lain, memiliki penduduk yang satu persennnya adalah umat Buddha, yang hidup terutama di Bagian Chittagong dan Wilayah Bukit Choittagong. Akibat dari gerakan fundamentalis Islam Bangladesh sejak peristiwa 11 September 2001, sejumlah kekerasan yang dilakukan umat Muslim terjadi di dua wilayah itu, yang ditujukan kepada penduduk Buddha. Kekerasan macam itu, bagaimanapun, tidak terbatas pada umat Buddha atau wilayah itu saja, tapi juga meliputi umat Kristen di seluruh Bangladesh. Ini adalah contoh jelas mengenai meningkatnya kekerasan sejak “ Perang terhadap Teror” dan serbuan A.S. ke Afghanistan dan Irak. Meskipun perubahan undang-undang dasar telah disahkan pada 1988 yang menyatakan “cara hidup Islami” untuk Bangladesh, ketegangan antara penduduk Muslim dan Buddha di sana jauh lebih sedikit sebelum adanya peristiwa 11 September.

Malaysia dan Indonesia adalah contoh dua negara tempat unsur-unsur ekonomi ikut berpengaruh dalam menciptakan ketegangan masyarakat. Keduanya memiliki penduduk Muslim asli yang banyak, dengan kurang-lebih kaum minoritas Buddha Cina yang lebih kaya daripada mereka. Namun, hanya di Indonesia, hubungan di antara dua kelompok suku itu telah berkembang menjadi tegang. Ini mengikuti krisis ekonomi pada 1997-1998 dan kejatuhan pemerintahan Soeharto.

Di sisi lain, di Kashmir dan Ladakh serta di wilayah budaya Tibet yang dikuasai Republik Rakyat Cina, konflik-konflik antara umat Buddha dan Muslim tidak mencapai tahap kekerasan terbuka. Bagaimanapun, ketegangan itu ada, dan terutama disebabkan persaingan ekonomi di antara dua kelompok itu, bukan karena perbedaan doktrin. Dalam kasus wilayah budaya Tibet, keadaannya diperburuk oleh kebijakan Cina yang menggerakkan, mendukung, dan menyediakan sarana untuk perpindahan penduduk non-Tibet ke wilayah-wilayah tersebut

Kebijakan pemerintah juga memengaruhi keadaan di Burma/Myanmar. Di sana, pertentangan suku terutama terjadi oleh umat Buddha terhadap umat Muslim Rohingya di Wilayah Rakhine Utara, Arakan. Kekerasan tersebut memcerminkan kekesalan hati umat Buddha secara umum terhadap orang di luar Buddha yang bermukim di antara mereka, terutama suku Bengali Muslim. Kekesalan hati ini berkembang sebagai tanggapan terhadap perlakuan khusus pemerintah kolonial Inggris terhadap warga di luar Buddha selama penjajahan. Pemerintah junta militer saat ini mengambil keuntungan dari kecurigaan ini dengan memberlakukan pembatasan ketat terhadap umat Muslim dengan menolak kewarganegaraan mereka, dan pemerintah sering disalahkan oleh penduduk Islam sebagai penyebab terjadinya serangan umat Buddha terhadap mereka.

Di Thailand selatan, kekerasan umat Muslim-Buddha berakar dari penaklukan wilayah Muslim Melayu Pattani untuk masuk ke dalam kekuasaan Thailand sebagai bagian dari Perjanjian Anglo-Siam pada 1909, dan kurangnya penyatuan lebih jauh dari wilayah ini ke negara Buddha tersebut.

Sumber : buddhist_muslim_doctrinal_relations.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon masukannya... ^^