Petang ini, Saya ingin berbicara mengenai laku Dharma dalam
kehidupan sehari-hari. Kata Dharma berarti suatu langkah pencegahan. Ini
adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menghindari masalah. Hal pertama yang
perlu kita lakukan untuk melibatkan diri kita dalam laku Dharma adalah
mengenali berbagai jenis masalah atau kesulitan yang kita miliki dalam kehidupan.
Yang berikutnya adalah memahami bahwa laku Dharma bertujuan untuk membantu kita
menyingkirkan masalah-masalah itu.
Laku Dharma tidak hanya agar merasa baik, atau memiliki hobi
yang bagus, atau supaya trendi, atau hal-hal semacam itu. Laku Dharma
bertujuanuntuk membantu kita menyingkirkan masalah-masalah kita. Itu berarti
agar dapat mengamalkan Dharma secara nyata, kita perlu memahami bahwa ini tidak
akan menjadi proses yang menyenangkan. Kita harus meninjau dan sebenarnya
menghadapi hal-hal tidak menyenangkan dalam hidup kita, kesulitan-kesulitan
yang kita miliki—bukan lari dari mereka, tetapi menghadapi mereka dengan sikap
bahwa sekarang kita akan mencoba menangani mereka.
Masalah-masalah kita dapat mewujud dalam banyak rupa. Kita
semua akrab dengan sebagian besar rupa itu—kita merasa tidak aman; kita
mengalami kesulitan dalam hubungan dengan orang lain; kita merasa terasing;
kita mengalami kesulitan dengan perasaan dan rasa—hal lazim yang kita semua
alami. Kita mengalami kesulitan menangani keluarga dan orang tua kita; mereka
jatuh sakit dan tua. Kita mengalami kesulitan menghadapi penyakit dan usia tua
kita sendiri. Dan jika kita adalah orang muda, kita mengalami kesulitan dalam
menentukan apa yang akan kita lakukan dengan hidup kita, bagaimana menata
hidup, haluan mana yang akan kita tuju, dan sebagainya. Kita perlu meninjau
semua hal semacam itu.
Salah satu pokok terpenting dalam ajaran Buddha adalah
memahami bahwa masalah-masalah yang kita alami itu muncul karena penyebab. Masalah-masalah
itu tidak muncul tanpa sebab. Sumber masalah-masalah ituada di dalam diri kita
sendiri. Ini adalah wawasan besar dan tidak mudah bagi kebanyakan orang untuk
menerimanya. Ini karena sebagian besar dari kita cenderung meletakkan kesalahan
pada orang lain atau keadaan luar atas masalah-masalah kita. Kita merasa, “Aku
tidak bahagia karena tindakan kamu—Kamu tidak meneleponku; Kamu mengabaikan
aku; Kamu tidak mencintaiku. Ini semua salahmu.” Atau kita meletakkan kesalahan
pada orang tua kita—pada apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan oleh orang
tua kita kepada kita ketika kita kecil. Atau kita meletakkan kesalahan pada
keadaan ekonomi atau keadaan politik, keadaan sosial, dan sebagainya. Memang,
semua unsur tersebut memainkan peran dalam pengalaman hidup kita. Ajaran Buddha
tidak menyangkal itu. Tetapi penyebab utamanya, penyebab lebih mendalam dari
masalah-masalah kita, adalah dalam diri kita sendiri—sikap-sikap kita sendiri,
terutama kebingungan kita.
Jika kita ingin menemukan satu unsur yang secara jelas
menegaskan sikap Buddha mengenai arti mengamalkan ajaran Buddha dalam kehidupan
sehari-hari, saya akan mengatakan inilah unsur itu. Ketika kita mengalami
kesulitan, kita melihat ke dalam diri kita untuk mencoba mencari sumbernya dan,
ketika kita menemukannya, kita berusaha mengubah keadaan itu dari dalam diri
kita. Ketika kita bicara tentang melihat ke dalam diri kita dan mencari sumber
dari masalah kita, ini tidak berdasar padamembuat penilaian moral bahwa saya
orang yang buruk dan saya harus berubah dan menjadi baik. Ajaran Buddha tidak
membuat penilaian-penilaian moral. Kita berusaha untuk menemukan sumber masalah
didalam diri kita semata-mata karena kita menderita dan ingin
menyingkirkanmasalah dan ketidakbahagiaan kita, dan sumber utamanya adalah
sikap kita sendiri. Secara khusus, Buddha berkata penyebab terdalam dari
masalah dan penderitaan kita adalah kebingungan kita. Jadi, yang perlu kita
lakukan adalah mengetahui mengapa kita bingung tentang apa yang terjadi dan
bagaimana kita dapat memperbaikinya dengan memperoleh pemahaman yang benar.
Tentang apa kebingungan kita? Ini tentang beberapa hal.
Salah satunya adalah sebab dan akibat perilaku. Kita berpikir bahwa apabila
kita bertindak dalam cara tertentu tidak akan memiliki akibat apapun. Sebagai
contoh, kita berpikir “Aku bisa terlambat, mengabaikan kamu, dan sebagainya,
dan itu tidak apa-apa.” Ini salah; ini membingungkan. Atau kita berpikir bahwa
sesuatu yang kita lakukan atau bagaimana kita berperilaku akan memiliki akibat
tertentu yang tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi. Misalnya, “Aku
bersikap baik padamu maka kamu akan menyukai aku sebagai balasannya. Aku
membelikan kamuhadiah yang bagus, lalu mengapa kamu tidak menyukai aku?” Dengan
pikiran-pikiran seperti ini, kita membayangkan bahwa tindakan dan perilaku kita
akan memiliki akibat yang mustahil atau kita melebih-lebihkannya, berpikir
bahwa tindakan dan perilaku kita itu akan menghasilkan akibat yang lebih besar
daripada yang dapat terjadi. Juga, kita mungkin berpikir bahwa hal-hal tertentu
akan mendatangkan satu jenis akibat; padahal, sebenarnya, mereka mendatangkan
yang sebaliknya. Sebagai contoh, kita ingin bahagia maka kita berpikir bahwa
cara untuk menjadi bahagia adalah dengan mabuk setiap saat. Tetapi ini hanya menghasilkan
lebih banyak masalah dibanding kebahagiaan.
Hal lain yang membuat kita bingung adalah bagaimana kita
ada, bagaimana orang lain ada, dan bagaimana dunia ada. Sebagai contoh, kita
menderita dan menjadi tidak bahagia saat menjadi tua dan jatuh sakit. Tetapi
apa lagi yang kita harapkan sebagai manusia? Manusia jatuh sakit dan manusia
semakin tua, kecuali kita mati muda—ini bukan sesuatu yang mengherankan. Ketika
kita mulai melihat rambut abu-abu di cermin dan kita tidak bahagia dan terkejut
karenanya, maka ini adalah bersikap tidak realistis dan bingung tentang
bagaimana dunia ada, tentang bagaimana kita ada.
Misalnya kita mengalami masalah dengan bertambah tua. Karena
kebingungan kita tentang itu—k etidakterimaan kita pada kenyataan itu—kita bertindak
dengan cara-cara yang merusak dibawah pengaruh sikap dan perasaaan yang
gelisah. Sebagai contoh, dengan dorongan kuat berusaha agartampak muda dan
menarik, kita bertindak dengan keinginan kuat untuk berusaha memperoleh hal-hal
yang kita harap akan membuat kita aman—misalnya perhatian dan cinta dari orang
lain, khususnya orang lebih muda kita anggap menarik. Di balik gejala-gejala
ini biasanya terdapat kebingungan bahwa aku adalah orang terpenting di dunia;
aku adalah pusat alam semesta. Jadi semua orang harus memerhatikan aku. Tak
peduli seperti apa penampilanku, semua orang harus menganggap aku menarik dan
menyukaiku. Kita menjadi kalut apabila seseorang tidak menganggap kita menarik
atau mereka tidak menyukai kita. Kita bahkan lebih kalut apabila mereka
mengabaikan kita—jika mereka tidak memerhatikan kita ketika kita ingin mereka
menganggap kita menarik, jika tidak secara fisik, setidaknya dalam hal lain.
Tetapi, tidak semua orang menyukai Shakyamuni Buddha; jadi adakah harapan bahwa
semua orang akan menyukai kita?
Keinginan kita untuk disukai oleh semua orang adalah harapan
yang tidak realistis. Ini bukan kenyataan. Ini berdasar pada kebingungan,
hasrat yang kuat, dan kemelekatan bahwa semua orang harus menganggap kita
menarik dan memerhatikan kita. Yang mendasarinya adalah sikap keluguan yang
gelisah. Kita berpikir bahwa kita sangat penting dan memikat sehingga semua
orang harus menyukai kita, jadi pasti ada sesuatu yang salah dengan seseorang
apabila ia tidak menyukai aku. Atau lebih buruk, kita mulai meragukan diri kita
sendiri: “Ada sesuatu yang salah dengan diriku sehingga menyebabkan orang ini
tidak menyukaiku,” lalu kita merasa buruk dan bersalah. Ini semua adalah
keluguan.
Maka, yang utama adalah memperbaiki diri kita sendiri.
Inilah intidari laku Dharma. Bagaimanapun keadaannya—jika kita mengalami
kesulitan, merasa tidak aman, atau apapun, kita perlu melihat diri kita sendiri
untuk memahami apa yang terjadi. Dimana kebingungan di balik perasaan-perasaan
yang gelisah yang saya rasakan? Bagaimanapun, jika kita memerhatikan sebuah
hubungan di mana kita ada di dalamnya yang menimbulkan masalah, kita juga perlu
menyadari bahwa kita bukan satu-satunya yang memiliki kebingungan. Jelas bahwa
orang lainnya juga memiliki kebingungan. Intinya adalah kita tidak seharusnya
berkata, “Kamu harus berubah; semua yang kulakukan adalah baik dan sempurna;
Kamulah yang harus berubah.” Sebaliknya, kita tidak seharusnya berkata bahwa
akulah satu-satunya orang yang harus berubah, karena itu bisa memburuk menjadi perilaku
penyiksaan diri. Kita mencoba untuk membahas sesuatu secara terbuka dengan
orang itu—meskipun, tentu saja, orang itu harus bersedia untuk ini. Kita perlu
mengakui bahwa kami berdua mengalami kebingungan. Terdapat masalah dalam diri
kami berdua tentang bagaimana kami memahami apa yang terjadi dalam hubungan
kami, jadi mari kita coba menghilangkan kebingungan dalam diri kami berdua. Ini
adalah cara yang paling realistis dan sesuai laku Dharma untuk dijalankan.
Ada banyak jenis laku Buddha. Kita tidak cukup hanya
mendapatkan beberapa petunjuk tentang cara menjalankannya seperti mempelajari
cara melakukan tipuan sulap. Sangat penting untuk memahami, dengan laku apapun,
bagaimana ini akan membantu kita dalam mengatasi kesulitan-kesulitan. Kita
perlu mempelajari tidak hanya kapan dan bagaimana menerapkan laku itu, tetapi
juga penerimaan-penerimaan di balik itu. Ini berarti bahwa kita tidak memulai
dengan laku-laku tingkat lanjut. Kita memulai dari awal dan membangun landasan,
sehingga kita tahu, dari urut-urutan bagaimana ajaran-ajaran Dharma meningkat,
apa yang terjadi pada setiap laku.
Kita tentu pernah membaca ajaran yang mengatakan, “Jika kamu
diberi obat, jangan bertanya tentang bagaimana obat itu bekerja, minum saja
obatnya!” Meskipun ini adalah sepenggal saran yang baik, kita perlu memahami
bahwa ini adalah peringatan terhadap keekstreman. Keekstreman hanyalah untuk
belajar dan berusaha memahami ajaran, tapi jangan pernah menerapkan apapun yang
kita pelajari ke dalam laku. Kita ingin menghindari keekstreman itu. Namun, ada
keekstreman lain, yang juga perlu kita hindari. Yaitu ketika kita mendengar
perintah-perintah Dharma mengenai laku, kemudian, dengan ketaatan buta,
melakukannya begitu saja tanpa memiliki pemahaman tentang apa yang kita lakukan
atau mengapa. Masalah utama yang timbul dari keekstreman itu adalah kita tidak
pernah benar-benar memahami cara menerapkan laku tersebut pada kehidupan
sehari-hari. Jika kita memahami inti di balik setiap laku—jika kita memahami
bagaimana bekerjanya dan apa maksudnya—maka kita tidak perlu orang lain
memberitahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
sendirinya kita paham dan kita tahu bagaimana menerapkannya.
Ketika kita berbicara tentang menyingkirkan masalah, kita
tidak hanya berbicara tentang menyingkirkan masalah pribadi kita saja, kita
juga berbicara tentang menghilangkan kesulitan-kesulitan yang kita miliki dalam
membantu orang lain. “Aku memiliki masalah dalam membantu orang lain karena
kemalasan atau keegoistisanku, atau karena aku terlalu sibuk.” Atau, “ Saya
tidak paham apa masalah Anda dan saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan
untuk membantu Anda.” Itu kesulitan besar yang kita miliki, bukan? Semua
kesulitan dalam membantu orang lain juga disebabkan oleh kebingungan kita.
Misalnya, kebingungan bahwa saya seharusnya bisa seperti Tuhan Yang Maha Kuasa
dan yang harus saya lakukan hanya satu hal dan itu akan memecahkan
masalah-masalah Anda; dan jika itu tidak memecahkan semua masalah Anda, ada
yang salah dengan Anda. Anda tidak melakukannya dengan benar, jadi Anda merasa
bersalah. Atau saya yang bersalah, karena saya seharusnya mampu untuk
memecahkan masalah-masalah Anda tapi tidak, maka saya tidak baik. Sekali lagi,
ini adalah kebingungan tentang sebab dan akibat.
Inti yang lain adalah untuk dapat berhasil menerapkan Dharma
dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak gelisah, kita juga perlu memiliki
keyakinan bahwa kita sebenarnya bisa menyingkirkan masalah-masalah kita. Kita
harus yakinbahwa kita bisa menyingkirkan kebingungan kita dengan menganut
pendekatan Buddha dasar: untuk menyingkirkan sesuatu, kita perlu menghilangkan
penyebab-penyebabnya. Tetapi, tentu saja, sangat sulit untuk memperoleh keyakinan
yang teguh dan mendalam supaya memungkinkan untuk menyingkirkan semua
kebingungan kita sehingga ia tidak akan muncul lagi, dan juga keyakinan yang
teguh supaya memungkinkan untuk memperoleh pembebasan dan pencerahan. Ini
sangat sulit ketika kita tidak memahami arti kebebasan dan pencerahan
sebenarnya. Jadi bagaimana kita dapat benar-benar menilai apakah itu mungkin
dicapai atau tidak? Jika kita tidak berpikir bahwa itu mungkin, tidakkah
sedikit munafik memiliki tujuan untuk mencapai sesuatu yang bahkan kita anggap
tidak ada? Maka itu menjadi semacam permainan gila yang kita mainkan; laku
Dharma kita tidak sungguh-sungguh.
Kita harus benar-benar yakin, dan ini menuntut banyak
pembelajaran dan pemahaman, serta pemikiran mendalam dan meditasi. Kita harus
yakin bahwa tidak hanya pembebasan dan pencerahan itu ada; tetapi juga bahwa
saya mampu mencapainya. Bukan berpikir bahwa hanya Shakyamuni yang mampu
mencapainya, tapi saya tidak mampu. Melainkan, saya mampu untuk mencapainya,
dan semua orang mampu untuk mencapainya juga. Kita harus paham apa yang kita
harus lakukan untuk menyingkirkan kebingungan kita. Apa yang akan benar-benar
membebaskan kita dari kebingungan? Apa yang akan benar-benar membebaskan kita
dari kebingungan adalah pemahaman yang tepat; sehingga kita harus paham
bagaimana pemahaman yang tepat bisa mengalahkan kebingungan dan
menyingkirkannya sehingga ia tidak akan kembali lagi. Sebagai hasil dari semua
ini, kita tahu bahwa tempat kerja sesungguhnya bagi laku Dharma adalah
kehidupan sehari-hari; ini berurusan dengan masalah-masalah kita, kebingungan
kita, dan kesulitan-kesulitan kita dalam kehidupan dari waktu ke waktu.
Laku Dharma bukan semata-mata istirahat dari kehidupan,
pergi ke sebuah gua meditasi yang sunyi dan nyaman, atau bahkan hanya ke kamar
kita, dan duduk di bantal untuk lari dari urusan-urusan hidup kita. Melarikan
diri bukan inti dari laku Dharma. Ketika kita pergi ke suatu tempat yang tenang
untuk bermeditasi, kita melakukan itu untuk membangun kemampuan-kemampuan yang
kita perlukan untuk menghadapi masalah-masalah kita dalam kehidupan. Sasaran
utamanya adalah kehidupan. Sasarannya bukan memenangkan medali Olimpiade dalam
duduk dan bermeditasi! Laku Dharma adalah tentang menerapkan Dharma dalam
kehidupan.
Selain itu, laku Dharma bersifat mawas diri. Dengan itu,
kita mencoba untuk penuh perhatian padakeadaan perasaan kita, semangat kita,
sikap kita, pola-pola perilaku kompulsif kita. Kita khususnya perlu waspada
terhadap perasaan-perasaan yang gelisah. Ciri-ciri yang menjelaskan sikap atau
perasaan yang gelisah adalah ketika ia muncul, ia membuat kita dan/atau orang
lain merasa tidak nyaman. Kita kehilangan kedamaian cita dan menjadi tidak
terkendali. Ini adalah pengertian yang sangat membantu, karena mengetahui ini
membantu kita untuk menyadari ketika kita bertindak di bawah pengaruh keadaan
itu. Kita bisatahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu sedang terjadi di dalam
cita kita jika kita merasa tidak nyaman. Di saat-saat seperti itu, kita perlu
memeriksa apa yang terjadi di dalam diri kita dan menerapkan penangkalnya untuk
memperbaiki keadaan itu.
Ini menuntut kita untuk menjadi sangat peka terhadap apa
yang terjadi dalam diri kita. Dan untuk melakukan sesuatu dalam mengubah
keadaan perasaan kita, jika kita mendapatinya gelisah, dituntut kesadaran bahwa
jika kita bertindak dengan cara yang gelisah dan mengganggu, akan menciptakan
banyak ketidakbahagiaan bagi kita dan orang lain. Kita tidak menginginkan itu;
kita sudah cukup mengalaminya. Dan jika kita terganggu, bagaimana kita bisa
membantu orang lain?
Laku Dharma juga menuntut keakraban dengan banyak kekuatan
berlawanan yang berbeda-beda, tidak hanya satu atau dua. Hidup kita sangat
rumit dan satu penangkal tertentu tidak akan selalu berhasil. Satu laku
tertentu tidak akan menjadi cara paling tepat dalam suatu keadaan. Untuk
benar-benar mampu menerapkan beberapa laku dalam kehidupan sehari-hari kita
dituntut banyak keluwesan dan banyak cara yang berbeda. Jika cara ini tidak berhasil,
maka kita bisa melakukan cara itu; jika itu tetap tidak berhasil, maka kita
mencoba cara ini.
Guru saya Tsenzhab Serkong Rinpoche sering berkata ketika
Anda berusaha melakukan sesuatu dalam hidup, milikilah selalu dua atau tiga
rencana lain. Maka, jika rencana A tidak berhasil, Anda tidak menyerah begitu
saja. Itu karena Anda punya rencana cadangan, B atau C. Salah satu dari mereka
pada akhirnya akan berhasil. Nasihat ini saya dapati sangat bermanfaat. Ini
sama dengan Dharma: jika cara A tidak berhasil pada suatu keadaan tertentu,
kita selalu memiliki rencana cadangan. Ada cara-cara lain yang bisa kita
gunakan. Semua ini jelas berdasar pada pembelajaran, pada mempelajari bermacam
cara dan meditasi, yang kemudian kita terapkan dalam persiapan, seperti yang
kita lakukan pada latihan fisik. Kita berusaha melatih diri kita supaya akrab
dengan cara-cara ini sehingga kita bisa benar-benar menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari ketika kita membutuhkannya. Ini menuntut kita melihat
laku Dharma bukan sebagai hobi, tetapi sebagai akad bulat sepanjang waktu.
Kita menerapkan laku Dharma di dalam keluarga kita. Kita
menerapkannya dalamberhubungan dengan orang tua kita, dengan anak-anak kita,
dan dengan orang-orang di tempat kerja. Dalam melakukan ini, kita perlu
menghindari berbagai keekstreman. Kita sudah membicarakan sedikit tentang ini.
Kita harus menghindari keekstreman tentang menyalahkan orang lain atas
masalah-masalah kita atau menyalahkan diri kita sepenuhnya—kita berdua memberi
andil. Kita bisa berusaha membuat orang lain berubah, tapi paling mudah adalah
mengubah diri kita sendiri.
Maka, perbaikan diri adalah sasarannya; tetapi dalam
melakukan ini, kita harus berusaha menghindari keekstremantentangkepedulianpada
diri sendiri secara narsisitik. Dengan kepedulian pada diri sendiri, kita hanya
selalu memandang diri kita sendiri dan tidak menaruh perhatian pada orang lain.
Ini bisa menguatkan perasaan bahwa kita adalah pusat alam semesta dan
masalah-masalah kita adalah yang paling penting di dunia. Tidak ada masalah
orang lain yang penting atau menyakiti.
Keekstreman lain adalah berpikir bahwa kita sepenuhnya buruk
atau kita sepenuhnya baik. Memang benar bahwa kita perlu mengakui sisi-sisi
sulit kita, sisi-sisi yang perlu kita perbaiki. Tapi kita juga perlu mengakui
sisi-sisi positif kita, sifat-sifat positif kita, supaya kita bisa
mengembangkan mereka lebih dan lebih. Banyak dari kita Kaum Barat memiliki
penghargaan diri yang rendah. Jika kita terlalu banyak memusatkan pada masalah
dan kebingungan kita, cara ini bisa dengan mudah menguatkan penghargaan diri
yang rendah itu. Ini bukan intinya sama sekali.
Di waktu yang sama saat mengawasi perasaan-perasan kita yang
gelisah, kita perlu mengimbangi ini dengan mengingat mutu-mutu baik kita.
Bahkan orang-orang paling kejam pun memiliki pengalaman mutu baik. Tentu mereka
pernah punya pengalaman memeluk anak anjing atau anak kucing di pangkuan
mereka, membelainya, dan merasakan sedikit hangat terhadapnya. Hampir semua orang
setidaknya punya pengalaman itu. Jadi kita mengakui bahwa kita mampu memberi
sedikit kehangatan seperti itu dan, dengan cara ini, kita juga melihat
sisi-sisi positif kita. Laku Dharma tidak hanya berhasil pada sisi-sisi negatif
kita; ia harus seimbang. Kita perlu berupaya menguatkan sisi-sisi positif kita
juga.
Dalam melakukan ini, ketika berusaha mempertahankan
keseimbangan antara melihat kekurangan dan kelebihan kita, kita perlu
menghindari pasangan keekstreman lain. Satu keekstreman adalah rasa bersalah,
“Aku buruk. Aku harus berlatih dan karena aku tidak berlatih, aku semakin
buruk.” Kata harus ini perlu dihilangkan dari cara pandang kita tentang
laku Dharma. Ini bukan persoalan “harus.” Jika kita ingin membebaskan diri kita
dari masalah-masalah yang kita miliki dan menghindari masalah lebih lanjut di
masa depan, sikap paling sehat adalah berpikir, mudah saja, “ Jika aku ingin
bebas dari masalahku, laku ini akan melakukan itu.” Jadi, melakukan laku Dharma
atau tidak, itu adalah pilihan kita sendiri. Tidak ada yang berkata, “Kamu harus
melakukannya dan, jika tidak, kamu buruk.”
Tapi, kita juga perlu menghindari keekstreman lainnya, yakni
keekstreman tentang, “Kita sempurna; lihatlah sifat-Buddha dalam dirimudan
semuanya sempurna.” Ini adalah keekstreman yang sangat berbahaya karena dapat
mengarah pada sikap bahwa kita tidak perlu berubah; kita tidak perlu
menghentikan atau membuang cara-cara negatif kita karena kita sudah sempurna.
Kita perlu menghindari dua keekstreman ini—merasa kita buruk atau merasa kita
sempurna. Pada dasarnya, kita perlu bertanggung jawab atas diri kita sendiri.
Itulah kunci utama untuk memadukan Dharma ke dalam kehidupan sehari-hari kita.
Kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri, melakukan sesuatu tentang mutu
hidup kita.
Ketika memperbaiki diri, kita bisa memperoleh ilham dari
guru-guru rohani, dan juga dari kelompok lain yang berlatih dengan kita.
Bagaimanapun, bagi kebanyakan orang, kisah-kisah luar biasa tentang para guru
berabad-abad lampau yang bisa melayang di udara bukanlah sumber ilham yang
kukuh dari para guru. Itu karena hal-hal semacam itu sangat sulit dibayangkan
dan mereka cenderung membawa kita ke dalam semua petualangan ajaib itu. Yang
terbaik adalah contoh-contoh hidup yang sebenarnya memiliki hubungan dengan
kita, meskipun hubungan itu sedikit.
Para Buddha atau para guru mumpuni tidak berusaha untuk
membuat kita terkesan, mereka juga tidak berusaha mengilhami kita. Contohnya
adalah bahwa mereka seperti matahari. Matahari tidak berusaha menghangatkan
manusia; matahari pada hakikatnya menghangatkan manusia. Hal yang sama juga
berlaku pada guru-guru rohani yang agung. Mereka mengilhami kita secara spontan
dan secara alami dari cara mereka menjalani kehidupan, pekerti mereka, dan
cara-cara mereka berurusan dengan banyak hal. Ini bukan tipuan sulap. Hal yang
paling mengilhami adalah lebih nyata dan membumi.
Saya ingat Dudjom Rinpoche. Ia wafat beberapa tahun yang
lalu. Ia adalah kepala garis silsilah Nyingma dan salah satu guru saya. Ia
memiliki asma yang parah. Saya juga punya asma sehingga saya tahu seperti apa
rasanya mengalami kesulitan bernafas. Saya tahu bagaimana sulitnya mengajar
ketika Anda tidak bisa bernafas secara normal, karena semua tenaga Anda harus
diarahkan ke dalam untuk mendapatkan cukup udara. Tenaga Anda sangat sulit
keluar dalam keadaan itu. Akan tetapi, saya melihat Dudjom Rinpoche memiliki
asma yang parah dan masih naik ke panggung dan mengajar. Ia tak sedikitpun
terganggu oleh asma dan menghadapinya dengan cara yang luar biasa ketika
menyampaikan ajaran-ajaran menajubkan. Ini luar biasa mengilhami, sangat
membumi, tanpa tipuan sulap. Ini berurusan dengan keadaan-keadaan kehidupan
nyata dan itu mengilhami.
Ketika kita menyusuri jalan batin dan membuat kemajuan, kita
juga bisa mendapatkan ilham dari diri kita sendiri. Ini, juga, merupakan sumber
ilham yang penting. Kita memperoleh ilham dari kemajuan kita sendiri. Tapi,
kita harus sangat saksama dalam melakukan ini. Kebanyakan orang tidak dapat
menghadapi unsur ini dengan perasaan, karena kecenderungannya adalah kita
menjadi sombong dan bangga jika membuat kemajuan. Jadi, kita harus mengartikan
secara hati-hati apa yang kita maksud dengan kemajuan.
Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa kemajuan tidak
pernah lurus; ia naik dan turun dan naik dan turun. Ini adalah salah satu sifat
utama dari samsara, dan ini tidak hanya bicara tentang kelahiran kembali yang
lebih tinggi dan lebih rendah. Naik dan turun juga mengacu pada kehidupan
sehari-hari. Sekarang saya merasa bahagia; sekarang saya merasa tidak bahagia.
Suasana hati kita naik dan turun. Sekarang, saya merasa suka berlatih, sekarang
saya merasa tidak suka berlatih—itu naik dan turun setiap saat, jadi jangan
terkejut. Kenyataannya, ia akan terus berlanjut seperti itu sampai kita menjadi
seorang arhat, makhluk yang terbebaskan, bebas dari samsara. Sebelum mencapai
titik itu, yang adalah tingkatan sangat tinggi, samsara akan terus naik dan
turun. Jadi jangan berkecil hati ketika, setelah berlatih dalam waktu yang
sangat lama, tiba-tiba kita menemui kesulitan dalam hubungan pribadi yang
romantis. Tiba-tiba, perasaan kita terganggu—ini terjadi! Tidak berarti bahwa
kita adalah pelaku yang buruk. Ini wajar, mengingat kenyataan tentang keadaan
samsara kita.
Keajaiban tidak biasa terjadi dalam laku Dharma. Jika kita
ingin menerapkan Dharma pada kehidupan sehari-hari, jangan mengharap keajaiban,
khususnya dalam kemajuan kita. Bagaimana kita mengukur kemajuan secara
realistis? Yang Mulia Dalai Lama berkata, jangan hanya melihatlaku Dharma dalam
rentang waktu satu atau dua tahun. Lihat dalam rentang waktu lima atau sepuluh
tahun laku itu untuk memeriksa, “Apakah aku menjadi orang yang lebih tenang
dibandingkan lima atau sepuluh tahun yang lalu? Apakah aku bisa mengatasi
keadaan yang lebih sulit dan tidak terlalu sedih atau kalah olehnya?” Jika kita
sudah menjadi orang seperti itu, kita telah membuat kemajuan dan itu
mengilhami. Kita masih memiliki masalah, tetapi ini memberi kita kekuatan untuk
maju. Kita tidak menjadi terlalu bersedih dalam keadaan sulit ketika hal-hal
buruk terjadi. Kita mampu pulih secara lebih cepat.
Ketika kita bicara tentang diri kita sebagai sumber ilham,
inti utamanya adalah bahwa ilham ini memberi kita kekuatan untuk terus menapaki
jalan kita. Ini karena kita yakin bahwa kita berjalanke arah yang benar. Dan
kita bisa yakin bahwa kita berjalan ke arah yang benar hanya jika kita memiliki
gagasan yang realistis tentang apa arti berjalan ke arah itu—yaitu bahwa,
ketika berjalan ke arah itu, kita akan terus menerus naik dan turun.
Itulah beberapa gagasan umum tentang bagaimana memadukan
laku Dharma ke dalam kehidupan sehari-hari. Saya harap mereka bermanfaat.
Terima kasih.
Alexander
Berzin Bok, Polandia, 13 Desember 2002
Sumber : integrating_dharma_into_lives.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^