Penyusun : Pandita Sasanadhaja Dokter R. Surya Widya, psikiater,
Penerbit : Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama
dengan Yayasan Buddha
Sasana, Cetakan Pertama, Mei 1996
Perkawinan
adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam
Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan,
akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting
bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Di
dalam buku ini akan dibahas mengenai azas perkawinan dan upacara perkawinan,
hubungan antara suami dan isteri secara umum, kemudian mengenai kewajiban
seorang suami, kewajiban seorang isteri, kewajiban orang tua terhadap anak,
kewajiban anak terhadap orang tua (dan mertua) dan akhirnya mengenai
perceraian.
Seorang
laki-laki yang beragama Buddha di dalam hidupnya dapat memilih antara hidup
berkeluarga dan tidak berkeluarga. Sebagai orang yang hidup berkeluarga ia
dapat kawin dengan seorang perempuan dan membentuk keluarga, lalu mempunyai
keturunan dan seterusnya; akan tetapi ia juga dapat tidak kawin dan tidak
membentuk keluarga, tentunya dengan berbagai alasan. Apabila ia memilih hidup
tidak berkeluarga juga tidak berumah tangga, maka ia dapat tinggal di vihara
sebagai anagarika, samanera atau bhikkhu.
Sebagai
anagarika maka seorang laki-laki dapat bertekad untuk mematuhi attha (delapan)
sila, sebagai samanera dasa (sepuluh) sila dan sebagai bhikkhu 227 sila. Dalam
konsep Buddhis yang dimaksud dengan sila adalah latihan moral etik, yaitu tekad
yang sungguh sungguh untuk tidak melakukan sesuatu (berpantang), dan apabila
dilanggar akan membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun mahluk lain.
Seperti
juga seorang laki- laki maka seorang perempuan yang beragama Buddha dapat
memilih antara hidup berkeluarga dan hidup tidak berkeluarga. Sebagai orang
yang hidup berkeluarga ia dapat memilih antara hidup bersama dengan laki-laki
sebagai suami isteri dan membentuk keluarga, atau ia tidak kawin dan tidak
membentuk keluarga. Apabila ia memilih hidup tidak berkeluarga juga tidak
berumah tangga maka pada saat ini sesuai dengan Mazhab Theravada, ia dapat
hidup sebagai seorang anagarini yang mematuhi attha sila.
Ada
juga laki-laki, setelah ia mempunyai isteri dan anak-anak, baru pada usia agak
lanjut ia menjadi bhikkhu, menjadi anggota sangha. Kalau ia masih terikat
dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan maka ia harus mendapat izin
tertulis dari isterinya tersebut untuk dapat menjadi seorang bhikkhu.
Tidak
semua laki-laki beruntung mendapatkan seorang perempuan yang baik (dewi)
sebagai isterinya, ia mungkin mendapatkan seorang perempuan yang
jahat/berperangai buruk (chava) sebagai isterinya, sehingga dapat
diramalkan perkawinannya akan merupakan bencana bagi dirinya.
Demikian
pula tidak semua perempuan beruntung mendapatkan seorang laki-laki yang baik (dewa)
sebagai suaminya, ia mungkin saja mendapatkan seorang laki-laki yang
jahat/berperangai buruk (chavo) sebagai suaminya, sehingga perkawinannya
pasti tidak akan membawa kebahagiaan, hanya membawa nestapa belaka.
Seorang
yang jahat dan berperangai buruk adalah orang yang suka melakukan berbagai
kejahatan (melanggar Pancasila Buddhis), mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk,
mementingkan dirinya sendiri, tidak menghormati mereka yang patut untuk
dihormati dan lain sebagainya.
Ada
juga perkawinan antara seorang laki-laki yang jahat (chavo) dengan
seorang perempuan yang jahat (chava), mereka mungkin merasa “bahagia”
menurut ukuran mereka sendiri, akan tetapi itu adalah perkawinan yang buruk
yang hanya akan merugikan keluarga dan handai taulan.
Yang
paling baik adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa)
dengan seorang wanita yang baik (dewi), pasangan terakhir inilah yang
dipuji oleh Sang Buddha.
(Anguttara
Nikaya II, 57)
Persiapan
yang masak adalah penting sekali. Sebelum kawin pihak pria dan wanita
seharusnya melakukan saling pemantauan terhadap pihak lainnya, untuk mengetahui
kelebihan dan kekurangan yang ada. Sehingga kalau ada kekurangan di pihak
lainnya yang tidak dapat ditolerir, masih dapat dilakukan langkah mundur atau
putus hubungan.
Apa
yang harus dinilai dari pihak wanita ? (Apabila tidak ada masalah dengan
penampilan, umur, faktor keturunan atau status sosial)
1.
Keyakinan pada agama
2.
Etika/moral
3.
Pendidikan
4.
Ketrampilan wanita
5.
Kematangan emosional
6.
Kebijaksanaan
Apa
yang harus dinilai dari pihak pria ? (Apabila tidak ada masalah dengan
penampilan, umur, faktor keturunan dan status sosial)
1.
Keyakinan pada agama
2.
Etika/moral
3.
Pendidikan
4.
Pekerjaan
5.
Tanggung jawab
6.
Kebijaksanaan
Keyakinan
pada agama : Sebaiknya suami dan isteri
mempunyai keyakinan yang sama, artinya sama-sama beragama Buddha. Setelah
keduanya beragama Buddha maka sepantasnya keduanya memahami dan melaksanakan
ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari, sehingga diharapkan keluarganya
akan berbahagia, itu yang disebutkan sebagai perkawinan di dalam Dhamma.
Setelah mempunyai keyakinan yang sama, maka selanjutnya dianjurkan untuk
memiliki sila yang yang setara, kemudian memiliki kemurahan hati yang seimbang
dan akhirnya keduanya memiliki kebijaksanaan yang setara.
Etika/Moral : Etika/moral harus menjadi perhatian utama, karena tanpa
moral manusia itu seperti mobil tanpa rem. Alangkah baiknya apabila semua calon
pengantin telah menjadi upasaka/upasika yang handal, yang selalu mentaati
Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Etika/moral tidak dibentuk dalam
satu hari, namun merupakan hasil kumulatif perkembangan kepribadian sejak masih
di dalam kandungan. Apabila si pacar moralnya tidak baik, lebih baik mundur
teratur, daripada sakit hati dan lebih menderita di kemudian hari. Moral akan
mudah sekali rusak karena keserakahan, kebencian dan kebodohan, akan tetapi
pada zaman sekarang ini banyak yang memuji mereka yang berhasil dalam materi,
katanya “Greedy is good”.
Pendidikan: Pada zaman sekarang ini sebaiknya pendidikan formal juga
dijadikan ukuran dalam mencari pasangan hidup, karena pada suatu saat
kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh akan mempengaruhi kerukunan dalam
keluarga. Pendidikan yang cukup tinggi akan memudahkan seseorang menerima
informasi dari manapun, sehingga tidak tertinggal dalam menentukan sikap.
Pendidikan yang baik misalnya, akan memudahkan seorang janda untuk mencari
kerja, apabila keadaan memaksa.
Ketrampilan
wanita: Seorang wanita harus pandai
mengurus rumah tangga sebelum memasuki jenjang perkawinan, kalau tidak tahu ia
harus belajar dari yang lebih tahu. Pengetahuan yang harus dikuasai sangatlah
bervariasi, mulai dari mengurus rumah, mengatur uang belanja, belanja ke pasar,
masak di dapur, cuci pakaian dan lain sebagainya; termasuk bagaimana menjadi
seorang ibu yang baik.
Kematangan
emosional : Hal ini menunjukkan tingkat
kedewasaan seseorang. Seorang wanita yang belum dewasa akan menuntut perhatian
yang berlebih dari suaminya, manja, mudah tersinggung, keras kepala, mau menang
sendiri dan lain sebagainya. Seorang wanita yang matang emosinya akan bersikap
sabar dan mau menunggu dengan bijaksana apabila ada kemelut dalam keluarga, ia
akan berpikir panjang sekali sebelum mengambil keputusan.
Pekerjaan : Pekerjaan bagi laki-laki adalah sangat penting, oleh
karena tidak ada wanita yang mau menikah dengan seorang penganggur. Memang ada
laki-laki anak orang kaya yang tidak tahu bagaimana harus bekerja dan mau
kawin, dan ada juga wanita yang mau kawin dengan laki-laki seperti itu; apakah
itu untuk sepanjang waktu?! Jenis pekerjaan yang ditekuni juga harus sesuai
dengan ajaran Sang Buddha, yaitu tidak termasuk jenis mata pencaharian yang
harus dihindari.
Tanggung
jawab : Hal ini merupakan bagian dari
kepribadian seorang laki-laki yang dipupuk sejak kecil, tidak dibentuk secara
mendadak. Memang ada seorang laki-laki yang tampaknya penuh tanggung jawab,
meskipun di lain saat ia akan berubah menjadi pengecut yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini menjadi penting karena beban seorang laki-laki yang menjadi
kepala keluarga semakin hari semakin berat, tuntutan semakin bervariasi.
Kebijaksanaan : Pengertian yang benar mengenai Buddha Dhamma dan selalu
mengendalikan pikiran adalah hal yang terpuji, namun ini merupakan hal yang
sangat sukar dan langka. Usaha yang sungguh-sungguh untuk memiliki
kebijaksanaan dalam hidup ini adalah sangat menguntungkan hidup selanjutnya di
masa ini dan di masa yang akan datang. Dengan memiliki kebijaksanaan maka
segala keputusan yang diambil bukan karena suka atau tidak suka, bukan karena
ikut-ikutan orang lain, bukan karena takut tidak disukai oleh seseorang, namun
karena baik untuk semua pihak di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.
Masa
pacaran dapat dipergunakan sebagai masa perkenalan atau masa penjajakan bagi
sepasang calon pengantin. Setiap manusia mempunyai corak kepribadian yang
berbeda, dan belum tentu kepribadian seseorang itu cocok dengan kepribadian
orang lain yang dipilihnya sebagai pasangan hidup; oleh karena itu masa pacaran
menjadi sangat penting sebagai persiapan. Bersikap pura-pura atau menutupi
keburukan yang ada seringkali berhasil mengelabui si calon pasangan, sehingga
akhirnya akan membawa akibat yang tidak menyenangkan bagi yang dikelabui karena
tidak ada orang yang dapat dibohongi sepanjang masa.
Apabila
ada yang ragu-ragu dengan kepribadian si calon pasangan hidupnya, selidikilah
dahulu dengan seksama, bila perlu diperiksa oleh para ahli. Untuk memeriksa
kondisi fisiknya dapat diminta pertolongan seorang dokter dengan bantuan
pemeriksaan laboratorium dan alat-alat kedokteran yang canggih lainnya, untuk
mengetahui corak kepribadiannya dapat diminta pertolongan seorang psikiater
(dokter spesialis jiwa) atau seorang psikologi (ahli jiwa) yang berpengalaman.
Pemeriksaan fisik adalah sangat penting, akan tetapi pemeriksaan jiwa untuk
mendeteksi corak kepribadiannya lebih penting lagi !
Saat
ini ilmu kedokteran sudah sangat maju, sehingga tidak begitu banyak lagi
penyakit fisik yang sukar atau tidak dapat disembuhkan; akan tetapi apabila.
seseorang itu mengalami gangguan atau kelainan kepribadian maka kemungkinannya
untuk “sembuh” adalah sangat kecil.
Setiap
orang dalam memilih pasangan hidupnya mempunyai kriteria yang tidak sama,
demikian pula dengan skala prioritas dari kriteria-kriteria tersebut. Ada yang
tidak mau hidup melarat karena itu ia memilih calon pasangan yang kaya raya.
Ada juga yang ingin menjadi orang terkenal, karena itu ia memilih calon
pasangan hidup yang sudah punya nama, seperti bintang film, bintang sinetron,
bintang olah raga, tokoh politik atau tokoh masyarakat. Mereka yang ingin hidup
bahagia akan memilih pasangan hidup yang luhur budi, bermoral, bertanggung
jawab, rajin bekerja, setia dan bijaksana.
PERSIAPAN
MEMASUKI HIDUP PERKAWINAN
Sampai
disini maka sudah jelas untuk memasuki hidup perkawinan tidaklah mudah dan
sederhana. Sesuatu yang tampak indah dari kejauhan belum tentu tetap indah
setelah didekati.
Bagi
seorang laki-laki yang ingin menjadi sesuai sebaiknya telah memenuhi kondisi
sbb :
1) Mempunyai identitas sebagai laki-laki
2) Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang wanita
3) Dapat mempercayai calon isterinya
4) Mempunyai integritas kepribadian yang matang
5) Mempunyai mental dan fisik yang sehat
6) Mempunyai mata pencaharian yang benar
7) Bersedia membagi kebahagiaan dengan calon isteri
8) Siap menjadi ayah yang bertanggung jawab
Bagi
seorang wanita kondisinya adalah sbb:
- Mempunyai identitas sebagai wanita
- Dapat memberikan kasih sayang kepada seorang pria
- Dapat mempercayai calon suaminya
- Mempunyai integritas kepribadian yang matang
- Mempunyai mental dan fisik yang sehat
- Bersedia mengabdikan diri kepada calon suami
- Bersedia menyesuaikan diri dengan adat kebiasaan suami
- Siap menjadi ibu yang bijaksana
PERKAWINAN DAN UPACARA PERKAWINAN
AZAS PERKAWINAN
“Sebagai
warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan
peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di
dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum,
haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di
dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang
laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh
mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang
ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Di
dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan
bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat
apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun
ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan
bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama
yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai
Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan
yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun
di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut,
tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas,
yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang
laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi),
maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu
dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat
kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana,
apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan
menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada
seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha,
maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan
isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha
sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA
PERKAWINAN
I.
PERSIAPAN UPACARA
A.
Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka
calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha
(misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan
untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
- Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan
kedua calon mempelai.
- Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal
Lahir dari kedua calon mempelai.
- Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang
status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
- Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21
tahun.
- Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B.
Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya,
maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman
selama 10 hari kerja.
C.
Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat
Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat
Kecamatan).
II
PELAKSANAAN UPACARA
A.
TEMPAT UPACARA
Upacara
perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara, cetiya
atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
upacara perkawinan.
B.
PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan
peralatan upacara :
- Altar dimana terdapat Buddharupang.
- Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
- Tempat dupa
- Dupa wangi 9 batang
- Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga
(untuk dipercikkan)
- Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk
dipersembahkan oleh kedua mempelai
- Cincin kawin
- Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
- Pita kuning sepanjang 100 cm
- Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai,
dan bhikkhu (apabila hadir)
- Surat ikrar perkawinan
- Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat
berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C.
PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
1) Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
2) Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan
altar.
3) Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman
atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut
tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
4) Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari
kedua mempelai.
5) Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
6) Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin
namaskara *)
7) Pernyataan ikrar perkawinan**)
8) Pemasangan cincin kawin.
9) Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
10) Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua
mempelai dan pandita.
11) Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
12) Wejangan oleh pandita.
13) Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
14) Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa] BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi) (Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna; aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa] BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi) (Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna; aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo] DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi] (Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo] DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi] (Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho] SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi] (Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna, aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho] SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi] (Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna, aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA [Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa] (tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
SAMMA SAMBUDDHASSA [Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa] (tiga kali)
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan
:
Menurut
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Menurut
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut
tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri
oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai
pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila
upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat
dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang
diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila
upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan
mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa
upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat
tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung lainnya dibawa ke Kantor Catatan
Sipil untuk dicatatkan.
HUBUNGAN
ANTARA SUAMI DAN ISTRI
Di
zaman yang modern ini semakin sulit bagi sepasang suami istri untuk membina
keluarga yang harmonis, karena aspek-aspek yang mempengaruhi sebuah keluarga
semakin lama semakin banyak dan semakin bervariasi. Seorang suami tidak hanya
menjadi suami, tetapi juga harus mencari uang, menjadi teman yang menyenangkan
bagi isteri, menjadi ayah yang bijaksana bagi anak-anaknya dan lain sebagainya.
Demikian pula seorang isteri tidak hanya melayani suami, ia juga harus mengurus
rumah tangga, menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, turut menambah
penghasilan keluarga dan segudang tanggung jawab lainnya.
Tidak
jarang perkawinan yang diharapkan akan menjadi surga dalam kehidupan ini
ternyata berubah menjadi neraka yang mengerikan. Karena itu sebuah perkawinan
harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar keluarga yang terbentuk adalah
keluarga yang harmonis, bukan, keluarga yang berantakan.
Proses
kelangsungan hubungan suami isteri :
I.
Sejajar, artinya sejak awal perkawinan jarak hubungan antara suami dan isteri
tetap stabil, tidak menjadi lebih dekat atau lebih jauh.
II.
Ketika masih baru kawin hubungan agak jauh, namun semakin lama semakin dekat
III.
Ketika baru kawin hubungan sangat dekat, namun semakin lama semakin menjauh
IV. Ketika baru kawin jarak antara kedua suami istri jauh, kemudian setelah itu saling mendekat, akan tetapi kemudian saling menjauh lagi
IV. Ketika baru kawin jarak antara kedua suami istri jauh, kemudian setelah itu saling mendekat, akan tetapi kemudian saling menjauh lagi
V.
Ketika baru kawin hubungan antara suami dan isteri cukup dekat, kemudian
menjauh, namun setelah beberapa saat saling mendekat lagi.
HIDUP
PERKAWINAN
Banyak
orang tidak berani memasuki hidup perkawinan, takut akan kegagalan. Memang
tidak sedikit bahtera perkawinan yang kandas di karang tajam penghalang, karena
itu agar dapat mencapai tujuan perkawinan maka setiap orang yang ingin kawin
harus mempelajari dan akhirnya dapat menguasai serta mengendalikan bahtera
perkawinannya; ia harus mempunyai kompas yang bekerja dengan baik sehingga ia
tidak akan tersesat, ia tahu kapan hujan badai akan menjelang dan tahu
bagaimana bersikap apabila dilanda badai tersebut, ia harus tahu bagaimana
menghindari karang-karang tajam dan bukit-bukit es yang menghadang diluar
pandangan mata, demikian pula ia harus dapat mengatasi mabuk laut yang
menyerang !
Dalam
minggu pertama perkawinan, semua terasa manis dan menyenangkan, semua kesalahan
si kekasih sudah dimaafkan sebelum dilakukan. Dunia ini sepertinya adalah milik
si pengantin baru! Sepertinya bulan madu janganlah berakhir, karena kenikmatan
belum dirasakan semuanya.
Dalam
tujuh minggu pertama perkawinan mulailah tampak cacad cela si pasangan, akan
tetapi maaf masih mudah diberikan. Mulai terasa bahwa “mengalah” harus
dilakukan agar tetap rukun akan tetapi mengalah terus menerus akan menimbulkan
rasa tertekan. Tidak jarang pertengkaran mulai menjelma pada masa krisis
pertama ini. Ada yang tidak dapat melewati masa krisis ini, tetapi setelah
melewatinya bukan berarti sudah aman. lbarat bahtera baru saja keluar dari pelabuhan,
belum ada gelombang besar yang menganggu.
Pada
akhir bulan ke tujuh setelah upacara perkawinan, mulailah belang semakin jelas
terlihat, cacad semakin nyata. lbarat gunung yang tampak indah kebiruan apabila
dilihat dari jauh, setelah didekati ternyata tidaklah seindah itu. Sebelum
kawin dibayangkan bahwa perkawinan itu adalah surga, tetapi kemudian ternyata
bahwa surga itu adalah palsu belaka. Perlu usaha yang luar biasa untuk
memelihara kedamaian dalam rumah tangga, karena watak asli dan kebiasaan-kebiasaan
yang buruk mulai terkuak nyata. Bulan madu sudah lama berlalu, bahtera sudah
berada di laut lepas, itu berarti gelombang sebesar apapun harus dihadapi,
badai seganas apapun harus di tantang. Menyesuaikan diri dengan orang lain
tidaklah mudah, mengalah terus menerus lebih sulit lagi, apalagi kalau sudah
dianggap, keterlaluan.
Sampai
tahun ke tujuh dari perkawinan adalah masa yang penuh dengan pertentangan
batin, baik bagi si suami maupun si isteri. Watak asli semakin jelas terlihat,
yang menjadi masalah adalah mau bertahan atau menyerah! Menyerah berarti pulang
ke rumah orang tua atau pisah yang kemudian dilanjutkan dengan bercerai.
Bertahan berarti berusaha hidup bersama si pasangan hidup tidak perduli ia itu
baik atau buruk perilakunya. Banyak wanita yang sudah siap menjadi isteri,
tetapi tidak banyak yang siap untuk menjadi ibu, demikian pula banyak pria yang
sudah siap untuk menjadi suami akan tetapi belum siap untuk menjadi ayah.
Sehingga kehadiran si kecil bukanlah sesuatu yang diharapkan atau didambakan,
akan tetapi hanya menjadi si pengganggu belaka. Kehamilan akan membuat si
isteri menjadi semakin manja, egosentrisme semakin nyata, selalu berusaha
menjadi pusat perhatian suaminya. Karena itu si suami harus memahami kondisi
yang mudah memancing ketegangan di dalam rumah tangga, dan secara bijaksana
berusaha mengemudikan perahunya ke arah yang benar.
Melahirkan
untuk pertama kali merupakan trauma yang sangat besar bagi si isteri yang belum
berpengalaman. Biasanya ia menuntut agar ditemani oleh ibunya ketika menghadapi
peristiwa yang menakutkan tersebut. Rasa aman sangat penting bagi si calon ibu,
karena sering ia dengar bahwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang sangat
berbahaya, karena maut suka mendekat. Dengan pemeriksaan selama hamil yang
seksama, dan dengan kondisi kesehatan jiwa maupun fisik yang prima, maka pada
saat ini melahirkan anak bukanlah hal yang perlu ditakuti lagi.
Yang
menjadi masalah serius adalah apabila setelah sekian lama si isteri tidak juga
berisi, atau hamil. Dimulai dari rasa heran, lalu berlanjut dengan rasa curiga
dan mungkin diteruskan dengan pertengkaran. Banyak pihak suami yang tidak
bersedia pergi ke dokter untuk diperiksa kesuburannya setelah si isteri
bolak-balik pergi ke dokter spesialis kandungan tanpa hasil, karena ia merasa
bahwa kejantanannya diragukan! Tujuh tahun adalah waktu yang cukup lama untuk
menunggu kehadiran seorang anak, karena itu tidak jarang bila ada suami yang
ingin cepat punya anak lalu berpikir untuk menikah lagi dengan wanita lain. Hampir
semua wanita tidak suka dimadu, akan tetapi kalau keadaan terpaksa ya apa boleh
buat.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENOPANG KELUARGA BAHAGIA
SALING
SETIA
Kesetiaan
adalah masalah yang sangat penting. Saling setia merupakan salah satu pilar
yang menopang keutuhan bangunan perkawinan. Perlu suatu kejujuran yang tulus
untuk memelihara kesetiaan dalam perkawinan, karena banyak orang yang tidak
setia selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan nyelewengnya.
Setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah disesali oleh si pelaku dan ia
harus bertekad untuk tidak mengulanginya, selanjutnya perlu dimaafkan oleh
pihak lain; karena apabila tidak demikian maka hanya keruntuhanlah yang akan
terjadi. Merasa puas dengan isteri atau suami sendiri akan sangat menunjang
dalam memelihara aspek kesetiaan di dalam keluarga yang harmonis.
SALING
PERCAYA
Semakin
lama semakin sukar mencari orang yang jujur, mungkin mencari orang yang pandai
jauh lebih mudah. Kejujuran adalah landasan dari sikap saling percaya diantara
sepasang suami istri. Ada orang yang menganggap bahwa berbohong untuk kebenaran
boleh dilakukan, akan tetapi sikap jujur sebaiknya tetap harus diutamakan.
Kadang-kadang sangat sukar untuk berterus terang, karena menyangkut banyak
faktor lain yang perlu dipertimbangkan, namun di antara sepasang suami istri
seharusnya tidak ada rahasia. Ada yang mengatakan bahwa wanita itu suka
dibohongi, tetapi ungkapan tersebut adalah tidak benar! Pada dasarnya tidak ada
orang yang suka dibohongi atau ditipu, karena apabila di kemudian hari
kebohongan itu terbongkar maka akan timbul rasa sakit hati dan dendam. Tentunya
setiap orang mempunyai alasan masing-masing untuk berdusta, akan tetapi dalam
sebuah keluarga sebaiknya tidak perlu ada dusta.
SALING
MENGHORMATI
Saling
menghormati dan saling menghargai adalah merupakan pilar yang lain. Penghinaan
yang terus menerus akan membuat perasaan terluka dan sakit, karena itu
kebiasaan buruk seperti ini tidak boleh dibiarkan berlama-lama hidup dalam
sebuah keluarga. Ada orang dihina karena berasal dari keluarga miskin, atau
karena sekolahnya kurang tinggi, atau karena cacad fisik atau karena
sebab-sebab lainnya. Perlu disadari bahwa semua orang itu mempunyai kekurangan,
karena itu sebelum menghina atau merendahkan orang lain, apalagi pasangan hidup
kita sendiri, renungkanlah bahwa setiap orang tidak mau dihina atau direndahkan
termasuk diri kita sendiri.
SALING
MENGALAH
Mengalah
bukan berarti kalah, karena itu saling mengalah juga merupakan pilar lain yang
penting untuk dipelihara. Ada saatnya seseorang itu tidak mau dibantah, mungkin
karena ada masalah pelik lain yang sedang mengganggu, karena itu pihak lainlah
yang harus dengan penuh pengertian menyesuaikan diri dengan mengalah. Jarang
sekali dua orang yang keras kepala dapat menjadi pasangan hidup yang rukun,
mereka lebih tepat disebutkan sebagai pasangan anjing dan kucing! Setiap soal,
biarpun soal kecil, menjadi bahan perdebatan sengit.
SALING
MEMBANTU
Setiap
orang memiliki kelemahan, karena itu ia patut dibantu. Adalah hal yang patut
apabila sepasang suami isteri itu saling membantu, saling melengkapi; sehingga
segala kesulitan hidup terasa lebih ringan untuk dipikul. Membantu orang lain,
terutama ketika ia sangat membutuhkan, seperti ketika sedang sakit, adalah hal
yang sangat terpuji, sangat mulia dan sangat luhur. Janganlah karena kebencian
kita mengabaikan hal yang satu ini.
SALING
BERSAHABAT
Pada
dasarnya sepasang suami isteri adalah sepasang sahabat atau teman. Seharusnya
hubungan mereka tidak tergantung pada orang lain, akan tetapi ada pihak-pihak
tertentu yang dapat mengganggu hubungan tersebut, seperti misalnya mertua,
ipar, teman, bekas pacar, dll. Persahabatan perlu dipelihara dengan baik, agar
keharmonisan keluarga dapat tetap dipertahankan dalam waktu yang relatif lama.
Sepasang sahabat baik akan selalu saling percaya, saling membantu, saling
memperingatkan dalam setiap situasi; Sahabat sejati tidak akan meninggalkan
temannya di dalam kesulitan.
SALING
MEMELIHARA KOMUNIKASI
Komunikasi
di dalam keluarga tidak selalu berlangsung dengan mulus, adakalanya
tersendat-sendat, kadang-kadang terputus sama sekali untuk waktu yang sebentar
atau lebih lama. Adalah sukar untuk menyingkirkan semua hal yang mengganggu
lancarnya komunikasi karena jenisnya terlalu banyak dan intensitasnya tidak
menentu, misalnya perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan kegemaran, perbedaan
orientasi, perbedaan nilai, pengaruh emosional, jarak dll.
Apabila
sepasang suami isteri ingin selalu bersama-sama (berjodoh) dalam kehidupan ini
maupun dalam kehidupan yang datang maka ada empat hal yang harus diperhatikan,
yaitu keduanya harus setara dalam keyakinan (saddha), setara dalam sila
(moral), setara dalam kemurahan hati (caga) dan setara dalam
kebijaksanaan/ pengertian (pañña).
(Anguttara
N II, 62)
Yang
dimaksud dengan Saddha adalah keyakinan terhadap Sang Tiratana (Triratna),
yaitu Buddha, Dhamma dan Sangha. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga umat
Buddha hanyalah berlindung kepada Sang Tiratana, tidak kepada obyek lainnya
seperti pohon-pohon, gunung-gunung, gua-gua, batu-batu, alat-alat senjata,
kuburan-kuburan keramat, tempat-tempat pemujaan dan mahluk-mahluk lain.
Setelah
memiliki keyakinan dan berlindung kepada Sang Tiratana, berikutnya adalah
melaksanakan sila sebagai kelanjutannya. Bagi setiap umat Buddha yang hidup
berkeluarga terdapat lima sila yang wajib untuk ditaati, yang merupakan tekad
atau latihan yang sungguh-sungguh sebagai berikut :
- Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak
menghilangkan nyawa dari mahluk lain yang bernafas;
- Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengambil barang yang tidak diberikan;
- Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak
melakukan perbuatan asusila;
- Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengucapkan kata-kata yang tidak benar, tidak berguna, tidak beralasan dan
tidak tepat waktu;
- Tekad melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk tidak
menggunakan segala zat yang dapat melemahkan kesadaran. (misalnya alkohol,
ganja, morfin, heroin, cocain, dll)
Berikutnya
adalah mengembangkan kemurahan hati, suka atau berdana, suka membantu mereka
yang perlu dibantu, merasa gembira dan bahagia melihat orang lain berbahagia
dan damai.
Kebijaksanaan
adalah merupakan landasan dari segala hal baik yang dilakukan oleh seseorang
yang memahami ajaran Sang Buddha dan akan berkembang terus dengan
dilaksanakannya sila pengembangan batin sebagai pengalaman batin dan penalaran
pribadi. Tanpa kebijaksanaan maka seseorang akan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya hanya karena ikut-ikutan atau karena disuruh.
pribadi. Tanpa kebijaksanaan maka seseorang akan melakukan perbuatan-perbuatan baiknya hanya karena ikut-ikutan atau karena disuruh.
KEWAJIBAN
SEORANG SUAMI
Di
dalam agama Buddha tidak dibahas hak seorang suami, yang ada hanyalah kewajiban
seorang suami sebagai kepala keluarga. Dalam Mangala Sutta terdapat sebuah bait
yang bunyinya sebagai berikut :
MATAPITU UPATTHANAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
PUTTADARASSA SANGAHO
ANAKULA CA KAMMANTA
ETAMMANGALAMUTTAMAM
artinya :
Menyokong dan merawat ayah dan ibu
Membahagiakan anak dan istri
Pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Itulah Berkah utama
Menyokong dan merawat ayah dan ibu
Membahagiakan anak dan istri
Pekerjaan yang bebas dari keruwetan
Itulah Berkah utama
(Khuddaka Patha halaman 3)
Seorang
suami sebagai kepala keluarga wajib memiliki penghasilan yang secukupnya agar
dapat memenuhi segala kebutuhan keluarganya. Ia wajib membahagiakan anak dan
isterinya di samping menyokong dan merawat kedua orang tuanya yang masih hidup.
Kepada orang tua dan leluhur yang sudah meninggal maka ia wajib melakukan
Pattidana (Melakukan perbuatan-perbuatan jasa yang kemudian dilimpahkan kepada
para almarhum tersebut)
Agar
seorang suami tidak dibenci oleh isterinya maka ia wajib rajin bekerja agar
tidak jatuh miskin, wajib memelihara kesehatan agar tidak sakit-sakitan, wajib
menghindarkan minuman keras agar tidak mabuk-mabukan, wajib banyak belajar agar
tidak bodoh, wajib bersikap telaten dan perduli agar tidak mengabaikan
isterinya, jangan terlalu sibuk dan dapat membagi waktunya untuk isteri, wajib
berhemat dan tidak meng-hambur-hamburkan uang
(Jataka
V, 433)
Di
dalam Sigalovada Sutta terdapat 5 kewajiban seorang suami terhadap isterinya
sebagai berikut :
1.
Menghormati isterinya;
2.
Bersikap lemah lembut terhadap
isterinya;
3.
Bersikap setia terhadap isterinya;
4.
Memberikan kekuasaan tertentu kepada
isterinya;
5.
Memberikan atau menghadiahkan
perhiasan kepada isterinya.
(Digha
Nikaya III, 190)
Dalam
Khuddaka Patha (halaman 138) disebutkan bahwa seorang suami harus bersikap
ramah terhadap isterinya, membantu istrinya dalam segala bentuk pekerjaan,
mengajak isterinya untuk menghadiri upacara-upacara dan pesta-pesta, mendorong
isterinya melakukan perbuatan-perbuatan yang baik.
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib menghindarkan empat macam apayamukha, yaitu sebab-sebab, yang akan membawa keruntuhan, yaitu :
Seorang suami sebagai kepala keluarga wajib menghindarkan empat macam apayamukha, yaitu sebab-sebab, yang akan membawa keruntuhan, yaitu :
1) Suka menggoda wanita lain;
2) Suka bermabuk-mabukan
3) Suka berjudi
4) Suka bergaul dengan orang jahat dan akrab dengan orang
jahat.
(Anguttara
Nikaya IV, 283)
Terdapat
empat macam Ditthadhammikatthapayojana, yaitu hal-hal yang berguna pada
kehidupan sekarang :
a. Utthanasampada : rajin dan bersemangat dalam bekerja mencari
nafkah.
b. Arakkhasampada : bersikap penuh hati-hati, menjaga harta
yang telah diperoleh,
tidak membiarkannya hilang atau dicuri, menggunakannya dengan hemat. Menjaga cara kerja yang baik sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
tidak membiarkannya hilang atau dicuri, menggunakannya dengan hemat. Menjaga cara kerja yang baik sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
c. Kalyanamitta: memiliki teman-teman yang baik, dan tidak
bergaul dengan orang-orang dungu dan jahat.
d. Samajivita : menempuh hidup sesuai dengan penghasilan, tidak
terlalu kikir dan tidak terlalu boros
(Anguttara
Nikaya IV, 281)
Bagi
seorang kepala rumah tangga terdapat empat Dhamma yang wajib untuk dimiliki,
yaitu :
- Sacca : Kejujuran dan selalu menepati janji kepada
orang lain
- Dama : Pengendalian pikiran yang baik
- Khanti : Kesabaran dalam menghadapi setiap persoalan
sulit
- Caga : Kemurahan hati terhadap mereka yang pantas untuk
diberi
(Samyutta
Nikaya I, 215)
Berikut
ini terdapat 38 hal yang akan membawa Berkah Utama (Mangala), yang wajib
diperhatikan oleh seorang kepala keluarga :
- Tidak bergaul dengan orang dungu
- Bergaul dengan orang bijaksana
- Menghormati mereka yang patut dihormati
- Hidup di tempat yang sesuai
- Telah melakukan kebajikan dalam kehidupan lampau
- Menuntun diri ke arah yang benar
- Memiliki pengetahuan yang tinggi
- Memiliki keterampilan yang memadai
- Memiliki tatasusila yang baik
- Ramah tamah dalam tutur kata
- Menyokong ayah dan ibu
- Membahagiakan anak
- Membahagiakan isteri
- Mempunyai pekerjaan yang bebas dari keruwetan
- Suka berdana
- Hidup sesuai dengan Dhamma
- Menolong sanak keluarga yang perlu ditolong
- Perbuatan tanpa cela
- Menjauhi kejahatan
- Menghindari minuman keras
- Tekun melaksanakan Dhamma
- Selalu menghormat
- Selalu rendah hati
- Merasa puas dengan apa yang telah diterima
- Berterima kasih menerima kebaikan orang lain
- Mendengarkan Dhamma pada saat-saat tertentu
- Memiliki kesabaran
- Rendah hati apabila diberi peringatan
- Sering mengunjungi para bhikkhu/pertapa
- Membahas Dhamma pada saat-saat yang sesuai
- Hidup sederhana
- Bersemangat menjalani Hidup Suci
- Menembus Empat Kesunyataan Mulia
- Mencapai Nibbana
- Batin tidak tergoyahkan meskipun digoda oleh hal-hal
duniawi
- Batin tiada susah
- Batin tanpa noda
- Batin penuh damai
KEWAJIBAN
SEORANG ISTRI
Atas
perlakuan yang diterimanya dari seorang suami yang baik, berdasarkan Sigalovada
Sutta maka seorang isteri yang mencintai suaminya mempunyai kewajiban sebagai
berikut:
- Melakukan semua tugas kewajibannya dengan baik
- Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
- Setia kepada suaminya
- Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa oleh
suaminya
- Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
(Digha
Nikaya III, 190)
Adalah
merupakan hal yang pantas dipuji apabila setiap isteri berusaha untuk memenuhi
5 ciri isteri yang sempurna, yaitu :
- Bangun lebih dahulu dari suaminya
- Pergi tidur setelah suami tertidur
- Selalu mematuhi perintah suaminya
- Selalu bersikap ramah dan sopan
- Dari mulutnya hanya keluar kata-kata yang ramah.
(Anguttara
Nikaya IV, 265)
Telah
dicatat bahwa disamping menjadi isteri dengan 5 ciri di atas, Ratu Mallika juga
bertekad agar batinnya terbebas dari iri hati dan cemburu.
(Anguttara
Nikaya II, 205)
Kepada
Sujata, adik perempuan dari Maha Upasika Visakha, yang menjadi menantu dari
Maha Upasaka Andthapindika, Sang Buddha telah berkotbah mengenai tujuh jenis
isteri dari segala zaman sebagai berikut :
- Seorang isteri yang jahat, mempunyai keinginan buruk,
kejam/bengis mencintai pria lain, suka melacur, selalu berbeda pendapat
dengan suaminya, selalu mencari alasan untuk bertengkar disebut sebagai
isteri yang menyusahkan (vadhakhabhariya)
- Seorang isteri yang suka menghamburkan kekayaan yang
diperoleh suaminya dengan susah payah, tidak mau berpikir, suka
menggelapkan harta benda suaminya untuk kepentingannya sendiri, untuk
berjudi dan bermabuk-mabukan, disebut sebagai isteri pencuri (corabhariya)
- Seorang isteri yang tidak mau berbuat apapun, malas,
rakus, kasar, suka mencaci maki, selalu ingin berkuasa, ingin menguasai
suaminya, mengambil kesempatan dari kedudukan suaminya untuk menonjolkan
dirinya, selalu ingin menang sendiri, disebut sebagai isteri penguasa (ayyabhariya);
- Seorang isteri yang ramah dan penuh welas asih, merawat
suaminya seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, menjaga harta yang
telah dikumpulkan oleh suaminya dengan teliti dan hati-hati, disebut
sebagai isteri keibuan (matubhariya);
- Seorang isteri yang menghormati suaminya seperti
seorang adik perempuan yang patuh terhadap kakaknya, bersikap rendah hati,
hidup sesuai dengan keinginan suaminya, disebut sebagai isteri saudara (bhaginibhariya)
- Seorang isteri yang bergembira ketika melihat suaminya
bertemu dengan teman baik yang lama tidak berjumpa, terhormat, baik hati,
selalu menolong dan suci, sebagai isteri sahabat (sakhibhariya);
- Seorang isteri yang tidak marah dan tetap sabar/tenang
meskipun diancam dengan siksaan dan hukuman, mengerjakan semua tugas yang
diberikan suaminya tanpa mengeluh, bebas dari kebencian, hidup sesuai
dengan kehendak suaminya, disebut sebagai isteri yang melayani (dasibhariya).
(Anguttara
Nikaya IV, 92)
Sang
Buddha menjelaskan bahwa para isteri dari tiga jenis yang pertama adalah buruk
dan tidak dikehendaki oleh suami manapun dan kelak akan terlahir di neraka,
akan mengalami penderitaan yang tidak terhingga, terpanggang oleh api neraka.
Sedangkan empat jenis isteri yang berikutnya adalah baik dan patut dipuji,
mereka akan berbahagia dalam kehidupan sekarang ini dan setelah kematian akan
terlahir di alam-alam surga yang berbahagia.
Ketika
Visakha ingin menikah, ayahnya memberikan nasehat sebagai berikut (Lihat
Dhammapada Atthakatha, Buddhist Legends jilid II halaman 72-73) :
- Jangan membawa keluar api yang berada di dalam rumah
(Api di sini berarti fitnah. Seorang isteri seharusnya tidak menceritakan keburukan suami atau mertuanya kepada orang lain, demikian pula tidak menceritakan kekurangan-kekurangan atau pertengkaran dalam keluarga kepada orang lain) - Jangan memasukkan api dari luar ke dalam rumah
(Seorang isteri seharusnya tidak mendengarkan hasutan-hasutan atau gosip dari keluarga-keluarga lain dan membawanya ke dalam rumah) - Memberi hanya kepada mereka yang memberi
(Hanya meminjamkan sesuatu kepada mereka yang mau mengembalikan) - Jangan memberi kepada mereka yang tidak memberi
(Jangan meminjamkan sesuatu kepada mereka yang tidak akan mengembalikan barang yang dipinjam) - Memberi kepada mereka yang memberi dan tidak memberi
(Menolong orang-orang miskin atau kawan-kawan tanpa memperdulikan apakah mereka akan mengembalikan atau tidak) - Duduk dengan bahagia
(Duduk pada posisi yang sesuai, apabila mertua datang menghampiri ia harus berdiri untuk menghormat) - Makan dengan bahagia
(Sebelum makan seorang isteri terlebih dahulu mempersiapkan segala hidangan untuk mertua dan suaminya, di samping memperhatikan juga kebutuhan makanan dari para pembantu rumah tangga) - Tidur dengan bahagia
(Sebelum tidur memeriksa dahulu apakah pintu-pintu dan jendela-jendela sudah ditutup atau belum, apakah masih ada api yang menyala di dapur, apakah ada bahaya yang mungkin mengancam keselamatan keluarga, apakah para pembantu telah menyelesaikan tugasnya, apakah mertua dan suaminya sudah tidur atau belum. Kemudian bangun pagi-pagi sekali dan tidak akan tidur siang kecuali sedang sakit) - Rawatlah api dalam rumah
(Rawatlah mertua dan suami dengan baik, seperti merawat api di dapur dan api merawat kita di dapur) - Hormatilah dewata keluarga
(Mertua dan suami dipandang sebagai dewata yang patut untuk dihormati)
Menurut
tradisi timur, seorang isteri wajib memandang suami sebagai “yang dipertuan”.
Sang Buddha pernah bersabda bahwa isteri juga adalah sahabat karib dan dewa
penolong dari suaminya, oleh karena itu ia pantas untuk diperlakukan dengan
baik dan dicintai oleh suaminya
KEWAJIBAN
ORANG TUA TERHADAP ANAK
Adalah
kewajiban dari orang tua untuk membuat anaknya menjadi besar dalam
kesejahteraan, dalam kenyataannya para orang tua akan melakukannya dengan penuh
tanggung jawab dan kerelaan. Meskipun adakalanya terdapat anak atau anak-anak
yang tidak menghargai jerih payah orang tuanya dan tidak tahu membalas budi,
akan tetapi, orang tua dengan sedikit pengharapan seringkali tetap
memperhatikan segala kepentingan anaknya, meskipun anak tersebut telah dewasa,
kawin dan pergi dari rumah. Orang tua akan berbahagia apabila anak-anaknya
dapat melebihi mereka dalam, segala aspek, atau paling sedikit sama dengan
mereka; mereka akan merasa tidak puas apabila kehidupan anak-anaknya lebih
rendah dari mereka. Agar dapat mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar
orang tua pertama-tama harus memberi contoh tauladan dan memperlihatkan cara
hidup yang ideal.
Adalah
suatu kekeliruan yang sangat besar apabila orang tua membiarkan anak atau
anak-anaknya tidak memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (Buddha, Dhamma
dan Sangha), karena kemungkinan besar anak atau anak-anak tersebut akan memilih
keyakinannya lain atau agama lain sebagai pegangan hidupnya. Sebenarnya
bukanlah hal yang kebetulan seorang anak terlahir dalam keluarga yang beragama
Buddha, itu berarti dalam kehidupan yang lalu anak tersebut pasti sudah
beragama Buddha dan ingin meneruskan keyakinannya tersebut dalam kehidupan yang
sekarang. Hanya orang tua yang lalai atau karena disebabkan oleh hal-hal
tertentu misalnya pendidikan di sekolah yang beragama lain, seorang anak dapat
beralih ke agama lain. Memiliki keyakinan terhadap Sang Tiratana (saddha)
adalah sangat penting, karena merupakan landasan dari proses beragama Buddha
untuk selanjutnya, misalnya mematuhi sila mengembangkan kasih sayang,
meningkatkan kemurahan hati dan memperoleh kebijaksanaan. Oleh karena itu
setiap orang tua yang beragama Buddha harus senantiasa menanamkan keyakinan
terhadap Sang Tiratana pada diri anak atau anak-anaknya, agar tetap beragama
Buddha sampai akhir hayatnya. Perlu diingat bahwa anak atau anak-anak yang
beragama lain tidak akan melakukan kewajiban yang sangat penting bagi
leluhurnya yang sudah meninggal dunia, yaitu melakukan pattidana atau
pelimpahan jasa; perbuatan baik yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka yang
kebetulan terlahir di alam Peta (sengsara).
Sesuai
dengan Sigalovada Sutta maka orang tua mempunyai kewajiban terhadap anaknya
sebagai berikut :
- Mencegah anak berbuat jahat
- Menganjurkan anak berbuat baik
- Memberikan pendidikan profesional kepada anak
- Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
- Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang
tepat
(Digha
Nikaya III, 189)
Mencegah
anak berbuat jahat
Mencegah
anak berbuat jahat adalah sangat penting, karena akan percuma saja si anak
memiliki kecerdasan dan pandai serta kaya apabila selalu berbuat kejahatan dan
merugikan orang lain atau masyarakat.
Rumah
adalah sekolah yang pertama bagi anak, dan orang tua merupakan guru yang
pertama bagi anak. Anak biasanya belajar dari orang tua tentang baik dan buruk,
tentang budi pekerti pada umumnya. Adalah tidak bijaksana apabila orang tua
membohongi anak, mempermainkan anak, menipu anak, menakut-nakuti anak, apalagi
menyiksa anak. Hal tersebut akan memberi bekas yang sangat dalam pada diri
anak. Orang tua wajib bertingkah laku yang baik agar anak-anak patuh dan
menjadikan orang tuanya sebagai suri tauladan.
Orang
tua wajib menanamkan perasaan malu dan takut pada diri si anak. Malu melakukan
perbuatan yang salah, takut kepada akibat dari perbuatan yang jahat. Untuk
menjauhkan anak dari perbuatan jahat orang tua harus rajin memberi petunjuk
atau nasehat, rajin memberi hukuman apabila anaknya berbuat salah, dan yang
paling penting adalah memberi contoh tauladan. Laranglah anak-anak melakukan
perbuatan tercela, seperti menyiksa atau membunuh binatang, balas dendam,
mengambil barang-barang yang tidak diberikan, berbohong dan minum minuman
keras. Tetapi sebelum melarang si orang tua harus menunjukkan contoh terlebih
dahulu!
Menganjurkan
anak berbuat baik
Orang
tua adalah guru di rumah, dan guru adalah orang tua di sekolah. Orang tua dan
guru sama-sama bertanggung jawab untuk hari depan anak. Menganjurkan anak
berbuat baik adalah hal yang sangat bermanfaat bagi diri si anak maupun bagi
lingkungannya. Ajarkan agar anak menyayangi mahluk-mahluk lain, ajarkan anak
untuk suka memberi, ajarkan anak untuk berteman dengan anak-anak lainnya,
ajarkan anak untuk menghibur mereka yang patut dihibur, ajarkan anak untuk
membantu orang lain, ajarkan anak untuk menghormati para bhikkhu, ajarkan anak
untuk menghormati Buddharupang dan banyak hal lain yang tidak dapat disebutkan
satu persatu disini. Sebelumnya berilah contoh yang benar.
Anak-anak
sebaiknya tidak ditinggalkan di bawah asuhan pengasuh (baby-sitter) atau
pembantu yang bodoh, seringkali anak lebih dekat kepada pengasuh atau pembantu
daripada dengan orang tuanya sendiri.
Sebaiknya
anak diberikan dasar-dasar dari Pancasila Buddhis, bangkitkanlah perasaan kasih
sayang dalam diri anak, tanamkan kecintaan pada kejujuran dan kebenaran dalam
batin anak, ajarkan anak untuk bersikap sopan dan santun kepada orang lain,
ajarkan anak untuk mengakui kesalahannya dengan berani dan memperbaiki
kesalahan tersebut dengan bijaksana, dan jauhkanlah anak dari rokok dan minuman
keras serta zat-zat berbahaya lainnya.
Selalu
dijaga agar anak tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat, dan pulang ke
rumah sebelum malam hari. Anjurkanlah agar anak bergaul dengan orang-orang yang
baik dan patut untuk dihormati. Ajarkan anak untuk berbicara sopan dan ramah,
bersikap lemah lembut terhadap sesama mahluk.
Jangan
lupa untuk memberikan pujian, bila perlu memberikan hadiah apabila anak
melakukan perbuatan yang baik.
Memberikan
pendidikan profesional kepada anak
Pendidikan
yang baik sebenarnya adalah warisan yang paling berharga yang dapat diberikan
orang tua kepada anak. Melatih dan mengajarkan anak memiliki kepandaian dan
ketrampilan agar mempunyai profesi yang dapat diandalkan, sebagai modal untuk
mandiri adalah sangat penting, karena suatu saat ia harus mencari nafkah
sendiri.
Setelah
anak jauh dari perbuatan jahat dan gemar berbuat baik maka ia harus memiliki
kepandaian dan ketrampilan yang setinggi-tingginya sebagai bekal untuk mencari
nafkah kalau ia sudah dewasa.
Banyak
orang tua yang lebih mementingkan hal yang ketiga ini dari padapada dua hal
sebelumnya, itu adalah sikap yang keliru. Karena akan terbentuk seorang manusia
yang pandai dan trampil, namun tidak bermoral, hanya mementingkan dirinya
sendiri dan tidak berguna bagi orang banyak. lbarat sebuah pedang yang sangat
tajam namun tidak ada gagangnya.
Doronglah
anak untuk belajar dengan rajin, secara formal disekolah dapat ditambah dengan
pendidikan nonformal dalam bentuk kursus-kursus disamping pendidikan informal
yang diberikan keluarga di rumah.
Perhatikan
dan jangan melalaikan pendidikan agama Buddha untuk anak. Usahakan agar setelah
dewasa anak tetap menjadi umat Buddha yang baik. Pendidikan yang mengarah ke
profesionalisme harus diiringi dengan pendidikan moral-etik yang sama
banyaknya.
Mencarikan
pasangan yang sesuai untuk anak
Mencarikan
pasangan yang sesuai untuk anak adalah bagi mereka yang ingin berumah tangga.
Carilah yang memiliki saddha yang sama, artinya yang sama-sama beragama Buddha
dan berlindung kepada Sang Tiratana; carilah yang berperangai baik dan
berkelakuan baik, carilah yang murah hati dan tidak kikir namun tidak boros
carilah yang memiliki kebijaksanaan yang cukup. Menilai seseorang dari
penampilan luar saja tidaklah cukup, perlu observasi lebih lama dan penilaian
yang lebih seksama.
Menurut
Maha Mangala Jataka, pedoman memilih menantu perempuan agar ia kelak menjadi
isteri yang membawa berkah adalah sebagai berikut: ia harus seorang perempuan
yang ramah tamah, usia sepadan, setia, baik hati dan subur (dapat melahirkan
banyak anak), memiliki keyakinan, memiliki sila serta berasal dari keluarga
baik-baik.
(Jataka
X. No. 453)
Untuk
memilih menantu laki-laki perlu dihindarkan laki-laki yang hidung belang,
pemabuk, penjudi dan pemboros.
(Parabhava
Sutta, No. 16, lihat lampiran 2)
Menyerahkan
harta warisan kepada anak pada saat yang tepat.
Orang
tua yang baik tidak hanya mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dalam suasana
kasih sayang dan damai, tetapi juga mempersiapkan agar anak-anaknya kelak dapat
hidup dalam kesenangan dan kebahagiaan setelah dewasa. Adalah kewajiban bagi
orang tua untuk memberikan atau membagikan harta kekayaan kepada anak atau
anak-anaknya setelah mereka siap untuk menerimanya, harta kekayaan tersebut
akan dapat dipergunakan sebagai modal usaha untuk hidup mandiri dalam
masyarakat. Walaupun orang tua telah mengumpulkan harta kekayaannya dengan
susah payah, namun dengan suka rela mereka akan mewariskannya kepada anak atau
anak-anaknya. Harta kekayaan tersebut akan menjadi harta warisan bagi anak atau
anak-anaknya setelah orang tua tersebut meninggal dunia.
Harta
warisan diberikan kepada anak apabila sudah tiba waktunya, itu artinya setelah
si anak dianggap dapat mengelola atau menggunakannya dengan sebaik-baiknya.
Alangkah baiknya apabila semua orang tua meninggalkan harta warisan kepada
anaknya, bukan hutang yang menjerat. Ada sebagian orang tua yang baru
meninggalkan warisannya setelah mereka meninggal dunia.
Pengertian
menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat adalah menyerahkan
harta benda orang tua yang kelak akan menjadi bagian dari warisan, semasa orang
tuanya masih hidup pada saat yang tepat, yaitu saat anak atau anak-anaknya sendiri
benar-benar siap untuk memanfaatkannya demi hari depannya. Ajaran yang
ditentukan sebagai suatu kewajiban bagi orang tua ini adalah merupakan sikap
moral yang luhur dan berpandangan sangat jauh ke depan karena akan mencegah
terjadinya perselisihan di antara anak-anak sebagai ahliwaris orang tuanya dan
mencegah terjadinya pemborosan yang tidak berguna. Ajaran Sang Buddha ini
berlaku umum, yaitu untuk setiap orang tanpa membedakan usia, jenis kelamin,
golongan atau derajat dan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari.
KEWAJIBAN
ANAK TERHADAP ORANG TUA (DAN MERTUA)
Menurut
Sang Buddha terdapat empat lapangan yang utama untuk menanam jasa kebajikan,
yang pertama adalah para Buddha, yang kedua adalah para Arahat, yang ketiga
adalah ibu dan terakhir adalah ayah.
(Anguttara
Nikaya II, 4)
Para
Buddha jarang sekali muncul di alam dunia ini, demikian pula para Arahat. Akan
tetapi ibu dan ayah yang baik dan tercinta adalah biasa terdapat dalam setiap
rumah tangga. Mereka benar-benar merupakan tanah ladang yang subur untuk
menanam kebajikan bagi anak yang berbakti dan tahu balas budi. Sungguh beruntung,
bagi anak laki-laki atau anak perempuan yang masih memiliki ibu dan ayahnya
yang terkasih, sehingga mereka dapat setiap saat mempersembahkan kasih sayang
dan ungkapan terima kasih kepada orangtuanya.
Barang siapa yang memperlakukan
dengan buruk,
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.
ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit penderitaan,
Karena siapapun yang mengabaikan orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dicela oleh para bijaksana,
Dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan menderita sengsara di alam neraka.
Barang siapa yang telah
memperlakukan dengan baik,
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.
Ibu, ayah dan Sammasambuddha,
Sang Tathagata serta para pengikutnya,
sebenarnya telah menimbun banyak bibit kebajikan,
Karena siapapun yang berbuat bajik kepada orang tuanya dalam hidup ini,
Akan dipuji oleh para bijaksana,
dan dalam kelahiran-kelahiran selanjutnya
Ia akan hidup berbahagia di alam-alam surga.
(Anguttara
Nikaya II, 4)
Hanyalah
orang yang bodoh, jahat, rendah dan tidak tahu membalas budi yang akan
memperlakukan ibu dan ayahnya dengan buruk; sedangkan mereka yang bijaksana,
bajik, mulia dan tahu balas budi akan memperlakukan ibu dan ayahnya dengan
baik. Di dalam budaya timur, adalah suatu hal yang wajib bagi seorang anak
untuk berbakti kepada orang tuanya, juga kepada mertuanya. Seorang anak masih
tetap berhubungan erat dengan kedua orang tuanya meskipun ia telah dewasa,
kawin dan mempunyai keturunan. Berbakti kepada orang tua sendiri mungkin tidak
ada masalah, akan tetapi banyak menantu yang sulit untuk berbakti kepada
mertuanya. Meskipun agama Buddha lahir dalam budaya India lebih dari 2500 tahun
yang lalu, akan tetapi apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kiranya masih
relevan untuk disimak dan dilaksanakan oleh umat Buddha.
Di
dalam Sigalovada Sutta tertera: “Dengan lima cara seorang memperlakukan orang
tuanya sebagai arah timur :
- Dahulu aku telah dipelihara/dibesarkan oleh mereka,
sekarang aku akan menyokong mereka
- Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap
mereka
- Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi
keluarga.
- Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan.
- Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak
keluargaku yang telah meninggal dunia.”
(Digha
Nikaya III, 189)
Ad.
1. Setiap anak pasti mempunyai orang tua, sejak berada didalam kandungan telah
menerima kasih sayang dari kedua orang tua. Sungguh beruntung seorang anak yang
lahir di tengah-tengah keluarga yang harmonis, memiliki ibu yang penuh kasih
sayang, memiliki ayah yang penuh tanggung jawab, memiliki saudara kandung yang
rukun dan memiliki sanak keluarga yang penuh simpati. Ibu dan ayah merupakan,
orang-orang yang sangat berjasa bagi anak, yang telah melindungi anaknya dari
segala mara bahaya pada saat anaknya tidak berdaya, memberi makan, minum dan tempat
berteduh kepada anak yang belum dapat mencari nafkahnya sendiri, mengajarkan
anak untuk melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk,
mendidik dan menyekolahkan anak agar mempunyai kepandaian dan ketrampilan
sehingga kelak bisa mandiri dalam mencari nafkah, memberikan hiburan dan
dorongan pada saat anak berputus asa, dan lain sebagainya. Orang tua yang telah
membesarkan anaknya dengan sebaik-baiknya menurut ukuran mereka, adalah sangat
pantas untuk disokong oleh anak-anaknya, sebagai balas jasa; meskipun
sebenarnya jasa orang tua itu tidak akan pernah dapat terbalas oleh
anak-anaknya.
Ayah
dan ibu mertua juga harus dipandang sebagai orang tua sendiri, harus dipandang
sebagai dewata keluarga yang layak dihormati. Memang sejak zaman dahulu telah
menjadi bahan pembicaraan bahwa mertua dan menantu lebih sering bertengkar
daripada rukun, apalagi mertua perempuan dan menantu perempuan. Diharap dalam
keluarga Buddhis hal seperti itu tidak terjadi, karena masing-masing pihak
berusaha untuk menahan diri, memiliki tenggang rasa dan menaruh simpati, tidak
mengembangkan rasa benci dan iri hati kepada pihak lainnya.
Ad.
2. Melakukan tugas-tugas kewajiban terhadap orang tua adalah hal yang sangat
penting untuk dilaksanakan oleh anak atau menantu. Setiap anak atau menantu
seharusnya mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan melaksanakan hal-hal
tersebut dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan orang tua atau mertuanya.
Adalah
kewajiban bagi anak untuk menyenangkan dan membahagiakan orang tua mereka, bila
perlu mengorbankan, kesenangan atau kepentingan sendiri demi orang tua.
“Mereka
yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita,
Kebaikannya akan diperhatikan oleh para dewa, dan para dewa tersebut akan
datang untuk mengobati penyakitnya.
Mereka
yang patuh pada Dhamma dan merawat orang tuanya yang sedang menderita,
Kebaikannya akan dipuji oleh para dewa di dunia ini, Dalam kelahiran berikut ia
akan memperoleh kebahagiaan di surga.”
(Temiya
Jataka)
Anak
dan menantu seharusnya tidak hanya memperhatikan kebutuhan materi dari orang
tua atau mertuanya saja, namun wajib memperhatikan kebahagiaan batin mereka.
Doronglah agar mereka mengembangkan kemurahan hati, moral etik, kebajikan,
kebijaksanaan dan lain sebagainya. Kalau mampu dan keadaan memungkinkan,
ajaklah mereka berziarah ke tempat-tempat suci (Buddha Gaya, Taman Isipatana,
Taman Lumbini dan Kusinara), dan doronglah agar mereka banyak melakukan
perbuatan jasa yang kelak akan menguntungkan bagi mereka sendiri dalam kehidupan
selanjutnya.
Ad.
3. Menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga merupakan kewajiban
seorang anak untuk melakukannya. Kalau bukan anak yang memelihara garis
keturunan (silsilah) dan tradisi keluarga, lalu siapa lagi? Tradisi keluarga
yang baik, tidak bertentangan dengan Dhamma, sebaiknya dipelihara secara
seksama. Memperhatikan sanak keluarga dan membantu mereka yang perlu ditolong
adalah hal yang membawa berkah. Memelihara garis silsilah dan tradisi keluarga
juga berarti tidak menghamburkan harta benda keluarga, memulihkan atau
memperbaiki integritas dan kehormatan keluarga, serta tetap mempersembahkan
dana untuk kepentingan keagamaan. Mempersembahkan dana secara rutin, menyokong
institusi keagamaan, menyokong dunia pendidikan, membantu yayasan sosial,
menolong para fakir miskin dan korban bencana alam, yang telah dilakukan oleh
orang tua, wajib untuk dilanjutkan terutama setelah mereka meninggal dunia.
Ad.
4. Seorang anak yang baik akan selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan
Dhamma, menghindari hal-hal yang buruk, tidak bergaul dengan orang jahat,
bergaul dengan para bijaksana, bersikap dewasa dalam berpikir dan bertindak,
sehingga kedua orang tuanya menilai bahwa anak tersebut layak menerima warisan
dari mereka. Demikianlah, setelah warisan itu diterima oleh si anak, lalu
dikelola dengan baik, tidak dihambur-hamburkan, digunakan untuk modal usaha,
atau untuk mengembangkan usaha yang sudah ada, sehingga membawa manfaat bagi
dirinya sendiri, bagi keluarganya, maupun bagi lingkungan masyarakatnya atau
negaranya.
Ad.
5. Seorang anak yang baik akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluarga
yang telah meninggal dunia. Yang dimaksud disini adalah melakukan pattidana.
Anak yang baik akan banyak melakukan perbuatan jasa, misalnya
- Mempersembahkan makanan, jubah, obat-obatan kepada
anggota Sangha;
- Banyak berdana kepada korban bencana alam, anak yatim
piatu, para tuna netra atau orang jompo
- Melepaskan binatang-binatang yang akan mati disembelih;
- Mencetak buku-buku Dhamma yang kemudian dibagikan kepada
mereka yang membutuhkan;
- Berdana untuk pembangunan atau pemeliharaan vihara;
- Bermeditasi dan lain sebagainya.
Setelah
melakukan banyak perbuatan jasa, lalu berdoa atau bersembahyang semoga para
leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal dunia turut berbahagia atau
turut bersimpati mengetahui keturunannya gemar berbuat kebajikan. Diharapkan
mudita citta (pikiran yang penuh simpati dan turut bergembira) muncul dalam
batin leluhur atau sanak keluarga yang telah meninggal itu, dan mudah-mudahan hal
tersebut akan membuat mereka meninggal di alam yang menyedihkan lalu terlahir
kembali di alam-alam yang bahagia. Berdana secara rutin atas nama orang tua
yang telah meninggal adalah sangat terpuji untuk dilakukan oleh anak yang
berbakti, untuk mengenang jasa-jasa almarhum, dan juga untuk kebaikan almarhum.
Memang
ada orang tua dan mertua yang kurang baik, yang suka menyiksa atau menghina
anak dan menantunya. Ada yang semakin tua semakin sukar dilayani, semakin
cerewet dan semakin keras kepala. Anak harus bersikap sabar dan menahan diri,
anggaplah hal tersebut sebagai buah dari perbuatan buruk yang telah dilakukan
dalam masa yang lampau.
Anak
yang baik wajib melayani orang tuanya dengan kasih dan telaten, sama seperti
orang tuanya membesarkan dirinya dengan kasih sayang ketika ia masih kecil dan
sukar diatur (nakal). Berkorban kepentingan untuk orang tua atau mertua adalah
hal yang terpuji.
Memang
ada seorang ibu yang kebetulan hanya memiliki seorang putera, menganggap
menantunya sebagai saingan dalam rangka merebut perhatian anaknya; apalagi
kalau ia sudah menjadi janda. Ia selalu mencampuri keluarga anaknya, selalu
ikut mengatur apa yang baik untuk anaknya, tanpa mekikirkan bahwa anaknya itu
sudah dewasa dan telah menikah. Si menantu harus siap untuk bersabar dan
bersabar lagi, karena apabila ia juga “melayani” sikap negatif dari ibu
mertuanya, yang akan susah adalah suami dan dirinya sendiri. Banyak suami yang
sukar untuk menentukan sikap, apabila terjadi masalah di antara ibu dan
isterinya. Adalah bijaksana untuk semua pihak mengendalikan diri dengan baik,
selalu memegang teguh ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari.
Menurut
Sang Buddha di dalam dunia ini terdapat dua orang yang tidak dapat dibayar lunas
jasa-jasa baiknya, yaitu ibu dan ayah. Meskipun seseorang memanggul ibu dan
ayahnya diatas kedua bahunya sampai 100 tahun lamanya, memberikan tunjangan
kepada ibu dan ayahnya, membalur tubuh mereka, dengan obat gosok, memijit,
membersihkan dan mengurut kaki mereka, dan kadang-kadang mereka mengotorinya
dengan air seni dan tinja, ia tetap tidak dapat membayar lunas jasa-jasa
kebaikan orang tuanya. Selanjutnya, meskipun ia menempatkan orang tuanya
menjadi pejabat tinggi, menjadi orang yang sangat kaya dan berkuasa, ia tetap
belum dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya. Karena orang tua
telah berbuat banyak sekali kepada anak, yaitu membesarkan, memberi makan,
mendidik dan memperkenalkan dunia luar kepada anak mereka.
Apabila
ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang tidak memiliki keyakinan, agar
memiliki dan mengembangkan keyakinannya terhadap Dhamma; apabila ada anak yang
dapat mendorong orang tuanya yang tidak bermoral, agar memiliki dan
mengembangkan moral sesuai dengan Dhamma; apabila ada anak yang dapat
mempengaruhi orang tuanya yang sangat kikir, agar memiliki dan mengembangkan
sikap murah hati; apabila ada anak yang dapat mendorong orang tuanya yang bodoh
atau dungu, agar memiliki dan mengembangkan kebijaksanaan, dengan berbuat
demikian, barulah ia dapat membayar lunas jasa-jasa kebaikan orang tuanya,
bahkan lebih daripada, itu.
(Anguttara
Nikaya I, 61)
PERCERAIAN
Di
dalam agama Buddha tidak diajarkan tentang perceraian, yang ada adalah
perceraian dengan alasan keagamaan, misalnya seorang suami yang ingin menjadi anagarika,
atau menjadi samanera atau menjadi bhikkhu dan diizinkan oleh
isterinya; atau sebaliknya seorang isteri ingin menjadi anagarini dan
diizinkan oleh suaminya. Yang pasti terjadi adalah perceraian karena salah satu
meninggal dunia.
Dalam
hal seorang suami mempunyai seorang isteri yang jahat (chava) dan tidak
tahan lagi hidup bersama dengan perempuan itu dalam sebuah ikatan perkawinan,
maka ia dapat mengajukan cerai ke Pengadilan. Sebaliknya apabila seorang isteri
mempunyai suami yang jahat (chavo) dan tidak tahan lagi hidup bersama
dengan laki-laki tersebut dalam ikatan perkawinan iapun dapat mengajukan
gugatan cerai ke Pengadilan.
Dalam
hal perceraian, maka umat Buddha mengikuti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Bab VIII tentang Putusnya
Perkawinan serta Akibatnya, pasal 38 berbunyi bahwa perkawinan dapat putus
karena :
- Kematian
- perceraian dan
- atas keputusan Pengadilan
Dalam
pasal 39 disebutkan bahwa :
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
c. Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
d. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Bab V tentang Tatacara Perceraian pasal 19 disebut
bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
e. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
f. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya;
g. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
h. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
i. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
j.
Antara suami dan isteri
terus-menerus; terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Setelah
diperoleh keputusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum mengikat pasti,
dalam pengertian apabila tidak dilakukan upaya permohonan banding atau kasasi
atau setelah upaya-upaya hukum itu selesai ditempuh, berdasarkan surat
keputusan Pengadilan yang memutus perceraian tersebut, selanjutnya dilakukan
Pencatatan di tempat dimana perkawinan itu semula dicatatkan untuk dapat
dikeluarkan atau diperoleh Akte Perceraian bagi suami isteri sudah bercerai
tersebut.
Catatan
:
Seperti
telah diuraikan diatas, ternyata di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku
dewasa ini serta juga dalam peraturan pelaksanaannya, hanya ditentukan mengenai
keabsahan perkawinan yaitu harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu serta harus dicatat menurut peraturan perundangan yang
berlaku. Akan tetapi di dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di
hadapan Pengadilan Agama bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya
keabsahan perceraian harus memenuhi hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, dalam hal ini misalnya agama Buddha.
Di
dalam agama Buddha sendiri, tidak diajarkan kepada umat Buddha mengenai apakah
perceraian itu merupakan hal yang dilarang menurut Dhamma; oleh sebab itu
seorang suami atau seorang isteri yang merasa dirinya sudah tidak dapat
melanjutkan lagi kehidupan bersama pasangannya sebagai suami isteri dengan
alasan-alasan tersendiri, dituntut dengan segala pertimbangan yang didasarkan
kepada ajaran moral yang tinggi berdasarkan Buddha Dhamma, untuk
mempertimbangkan dengan penuh kesadaran baik buruknya kalau mereka bercerai,
apalagi apabila di dalam perkawinan itu sudah dilahirkan anak atau anak-anak,
yang pada umumnya justru anak-anaklah yang paling menderita akibat dari suatu
perceraian.
Dengan
mengambil panutan yang dilakukan oleh Pangeran Siddharta Gotama sendiri,
walaupun untuk kepentingan yang demikian besar, yaitu mencari Jalan untuk
membebaskan semua mahluk dari belenggu kebodohan, Beliau pergi meninggalkan
isteri dan anakNya, demikian juga istanaNya, namun Beliau tidak menceraikan
isteriNya, bahkan setelah mencapai Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha,
Beliau mengajarkan Dhamma kepada isteri dan anakNya tersebut.
Seperti
telah diuraikan di muka, umat Buddha di Indonesia wajib untuk mentaati hukum
Negara, termasuk juga dalam masalah perkawinan dan masalah perceraian. Apabila
seorang suami atau seorang isteri atas dasar pertimbangannya sendiri yang masak
dan telah bulat hati memilih jalan perceraian, maka dari segi agama Buddha hal
itu sudah merupakan keputusan, dalam pengertian bahwa perceraian tersebut
merupakan perbuatan yang akan dipetik hasilnya kelak di kemudian hari, entah
baik atau buruk, merupakan sesuatu yang harus diterimanya; sedangkan dari hukum
Negara wajiblah ditempuh ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti diatur dalam
pasal 39 Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah No 9
Tahun 1975 tersebut di atas.
SIGALOVADA
SUTTA
(Digha
Nikaya III, 180-193)
Demikianlah
telah kudengar :
1.
Pada suatu hari Sang Bhagava berdiam
di Kalandakanivapa (tempat pemeliharaan tupai), Veluvana (Hutan Bambu), dekat
kota Rajagaha. Ketika itu seorang pemuda bernama Sigala, bangun pagi-pagi
sekali, pergi keluar kota dengan rambut dan pakaian basah menyembah dengan
merangkapkan tangannya ke atas, keenam arah langit dan bumi: arah timur, arah
selatan, arah barat, arah utara, arah bawah dan arah atas.
2.
Dan Sang Bhagava pagi hari itu, setelah selesai berkemas, membawa mangkuk dan
jubahNya memasuki kota Rajagaha untuk pindapata (mengumpulkan dana makanan).
Ketika Beliau melihat pemuda Sigala sedang memuja dengan caranya tersebut
Beliau bertanya :”Mengapa, anak muda, engkau bangun pagi-pagi sekali, membasahi
rambut dan pakaianmu kemudian menyembah ke enam arah langit dan bumi ?’
“Yang
Mulia, ayahku ketika mau meninggal dunia telah meninggalkan pesan, “Anakku yang
tercinta, engkau harus memuja ke enam arah langit dan bumi.” Karena saya ingin
menaati pesan ayahku yang kujunjung tinggi, yang kuhormati dan kuanggap suci,
maka saya bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke luar Rajagaha dan memuja
secara begini.”
“Tetapi
dalam agama Ariya, anak muda, memuja enam arah langit dan bumi bukan begitu
caranya. ” Ujar Sang Buddha.
“Kalau
begitu, bagaimanakah cara memuja enam arah langit dan bumi dalam agama Ariya ?
Alangkah baiknya, apabila Yang Mulia berkenan memberikan pelajaran kepada saya,
bagaimana seharusnya enam arah langit dan bumi itu dipuja menurut ajaran agama
Ariya. ”
“Kalau
begitu, dengarlah anak muda, perhatikanlah baik-baik apa yang akan Kukatakan. ”
”
Baiklah, Yang Mulia. ”
3.
“Anak muda, apabila seorang siswa Ariya telah menyingkirkan empat cacad dalam
tingkah laku, apabila ia tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena
dorongan dari empat sebab, apabila ia tidak melakukan enam jalan untuk
menghabiskan harta, dengan demikian ia menjauhkan diri dari empat belas
kejahatan; ia adalah pemuja dari enam arah langit dan bumi.
Ia
melakukan hal-hal tersebut untuk menaklukkan dua dunia (alam), ia akan
menikmati hasilnya baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Pada
saat badan jasmaninya hancur, setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam
surga yang berbahagia.
Apakah
empat cacad dalam tingkah laku yang telah ia singkirkan ?’
a.
Memusnahkan mahluk hidup
b.
Mengambil apa yang tidak diberikan
c.
Melakukan perbuatan asusila
d.
Mengucapkan kata-kata yang tidak
benar
Inilah
empat cacad dalam tingkah laku yang telah ia singkirkan. ”
4.
Kemudian Sang Bhagava melanjutkan :
“Untuk
pembunuhan, pencurian, dusta dan perzinahan, tidak sepatah kata pujianpun
pernah diberikan oleh para Bijaksana. “
5.
“Apakah empat sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan?” “Perbuatan
jahat dilakukan atas dorongan : hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan.
Karena seorang siswa Ariya tidak lagi dapat dipengaruhi, maka ia tidak akan
melakukan perbuatan jahat karena dorongan empat sebab tersebut diatas.”
6.
Selanjutnya Sang Bhagava bersabda :
“Barang siapa yang melanggar Dhamma,
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baiknya akan menjadi suram,
Bagaikan bulan sabit pada waktu gelap bulan.
Barang siapa yang tidak melanggar Dhamma,
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baik dan kemashurannya akan meningkat,
Bagaikan bulan purnama pada waktu terang bulan.”
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baiknya akan menjadi suram,
Bagaikan bulan sabit pada waktu gelap bulan.
Barang siapa yang tidak melanggar Dhamma,
Karena hawa nafsu, kebencian, kebodohan dan ketakutan,
Nama baik dan kemashurannya akan meningkat,
Bagaikan bulan purnama pada waktu terang bulan.”
7.
“Apakah yang dimaksud dengan enam jalan untuk menghabiskan harta ?”
“Yang
dimaksud dengan enam jalan untuk menghabiskan harta adalah :
a.
Ketagihan minuman keras (alkohol)
b.
Sering mengunjungi tempat hiburan
c.
Sering berkeliaran di jalan pada
waktu yang tidak layak
d.
Gemar berjudi
e.
Pergaulan dengan orang jahat
f.
Kebiasaan bermalas-malasan. “
8. “Terdapat enam bahaya, anak muda,
bagi mereka yang ketagihan minuman keras.”
a.1. Harta cepat habis
a.2. Sering bertengkar dengan orang lain
a.3. Mudah terserang penyakit
a.4. Kehilangan watak yang baik
a.5. Penampilan diri menjadi tidak pantas
a.6. Kecerdasan berkurang
a.2. Sering bertengkar dengan orang lain
a.3. Mudah terserang penyakit
a.4. Kehilangan watak yang baik
a.5. Penampilan diri menjadi tidak pantas
a.6. Kecerdasan berkurang
9. “Terdapat enam bahaya, anak muda,
bagi orang yang sering berkeliaran di jalan pada, waktu yang tidak layak. ”
Enam bahaya itu adalah :
Enam bahaya itu adalah :
b.1. Dirinya tidak terjaga dan tidak
terlindungi dengan baik
b.2. Anak dan isterinya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.3. Hartanya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.4 Sering dituduh melakukan kejahatan (yang belum terungkap)
b.5. Mengalami banyak kesulitan lain
b.2. Anak dan isterinya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.3. Hartanya juga tidak terjaga dan tidak terlindungi dengan baik
b.4 Sering dituduh melakukan kejahatan (yang belum terungkap)
b.5. Mengalami banyak kesulitan lain
10. “Terdapat enam bahaya, anak
muda, bagi mereka yang sering mengunjungi tempat-tempat hiburan. ”
Didalam pikirannya selalu bertanya-tanya :
Didalam pikirannya selalu bertanya-tanya :
c.1. Dimanakah ada tari-tarian ?
c.2. Dimanakah ada nyanyi-nyanyian?
c.3. Dimanakah ada musik ?
c.4. Dimanakah ada pertunjukan ?
c.5. Dimanakah ada pukulan tabuh-tabuhan ?
c.6. Dimanakah ada pukulan gendang ?
c.2. Dimanakah ada nyanyi-nyanyian?
c.3. Dimanakah ada musik ?
c.4. Dimanakah ada pertunjukan ?
c.5. Dimanakah ada pukulan tabuh-tabuhan ?
c.6. Dimanakah ada pukulan gendang ?
11. “Terdapat enam bahaya, anak
muda, bagi orang yang gemar berjudi”
Enam bahaya itu adalah :
Enam bahaya itu adalah :
d.1. Jika ia menang, maka ia akan
dibenci orang yang kalah
d.2. Jika ia kalah, ia hanya dapat meratapi hartanya yang hilang
d.3. Menghambur-hamburkan harta kalau menang judi
d.4. Di pengadilan, kata-katanya tidak dipercaya
d.5. Dipandang rendah oleh kawan-kawan dan para pejabat
d.6. Tidak dicari oleh para orang tua yang sedang mencari menantu, karena mereka beranggapan bahwa seorang penjudi tidak akan mampu mempunyai seorang isteri.
d.2. Jika ia kalah, ia hanya dapat meratapi hartanya yang hilang
d.3. Menghambur-hamburkan harta kalau menang judi
d.4. Di pengadilan, kata-katanya tidak dipercaya
d.5. Dipandang rendah oleh kawan-kawan dan para pejabat
d.6. Tidak dicari oleh para orang tua yang sedang mencari menantu, karena mereka beranggapan bahwa seorang penjudi tidak akan mampu mempunyai seorang isteri.
12. “Terdapat enam bahaya, anak
muda, bagi orang yang mempunyai pergaulan dengan orang-orang jahat. ”
Enam bahaya itu adalah :
Enam bahaya itu adalah :
e.1. Setiap penjudi adalah kawannya
e.2. Setiap orang yang cabul (pelaku asusila) adalah kawannya
e.3. Setiap pemabuk adalah kawannya
e.4. Setiap pembohong adalah kawannya
e.5. Setiap penipu adalah kawannya
e.6. Setiap pembuat keributan adalah kawannya
e.2. Setiap orang yang cabul (pelaku asusila) adalah kawannya
e.3. Setiap pemabuk adalah kawannya
e.4. Setiap pembohong adalah kawannya
e.5. Setiap penipu adalah kawannya
e.6. Setiap pembuat keributan adalah kawannya
13. “Terdapat enam bahaya, anak
muda, bagi orang yang mempunyai kebiasaan suka bermalas-malasan.”
Enam bahaya itu adalah :
Enam bahaya itu adalah :
f.1. Dengan alasan terlalu dingin,
ia tidak mau bekerja
f.2. Dengan alasan terlalu panas, ia tidak mau bekerja
f.3. Dengan alasan terlalu pagi, ia tidak mau bekerja
f.4. Dengan alasan terlalu siang, ia tidak mau bekerja
f.5. Dengan alasan terlalu lapar, ia tidak mau bekerja
f.6. Dengan alasan terlalu kenyang, ia tidak mau bekerja
f.2. Dengan alasan terlalu panas, ia tidak mau bekerja
f.3. Dengan alasan terlalu pagi, ia tidak mau bekerja
f.4. Dengan alasan terlalu siang, ia tidak mau bekerja
f.5. Dengan alasan terlalu lapar, ia tidak mau bekerja
f.6. Dengan alasan terlalu kenyang, ia tidak mau bekerja
Sehingga semua pekerjaan yang harus
ia kerjakan tidak dilakukan. Harta yang ada akan semakin menyusut dan habis,
sedangkan harta yang baru tidak ia dapatkan. Demikianlah apa yang disabdakan
oleh Sang Buddha.
14. Setelah itu Sang Bhagava
melanjutkan :
“Beberapa orang adalah kawan
minum-minum,
Beberapa lagi mengaku sebagai kawan baikmu,
Tetapi mereka yang membuktikan menjadi kawanmu,
Sewaktu kamu berada dalam kesulitan,
Merekalah sesungguhnya kawanmu yang sejati.
Beberapa lagi mengaku sebagai kawan baikmu,
Tetapi mereka yang membuktikan menjadi kawanmu,
Sewaktu kamu berada dalam kesulitan,
Merekalah sesungguhnya kawanmu yang sejati.
Bangun tidur terlampau siang,
berzinah,
Bertengkar, melakukan perbuatan jahat,
Bergaul dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang
mengalami keruntuhan.
Bertengkar, melakukan perbuatan jahat,
Bergaul dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang
mengalami keruntuhan.
Berkawan dengan orang jahat,
Hidup dengan cara yang tidak baik,
Baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang,
Orang ini akan menderita dengan menyedihkan.
Hidup dengan cara yang tidak baik,
Baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang,
Orang ini akan menderita dengan menyedihkan.
Berjudi dan main perempuan,
minum-minuman keras,
menonton tari-tarian dan nyanyi-nyanyian,
Tidur di waktu siang dan berkeliaran di waktu malam,
Berkawan dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang mengalami keruntuhan.
menonton tari-tarian dan nyanyi-nyanyian,
Tidur di waktu siang dan berkeliaran di waktu malam,
Berkawan dengan orang jahat, berhati kejam,
Inilah enam sebab yang membuat orang mengalami keruntuhan.
Bermain judi, minum minuman keras,
Melakukan perbuatan asusila dengan isteri orang,
Mengikuti orang yang dungu, tidak mengikuti orang yang bijaksana,
Ia akan mejadi suram seperti bulan sabit pada waktu gelap bulan.
Melakukan perbuatan asusila dengan isteri orang,
Mengikuti orang yang dungu, tidak mengikuti orang yang bijaksana,
Ia akan mejadi suram seperti bulan sabit pada waktu gelap bulan.
Peminum minuman keras, miskin
melarat,
Tidak pernah puas minum minuman keras,
pengunjung setia kedai minum,
Bagaikan batu ia tenggelam dalam hutang,
Cepat sekali ia membawa nista kepada keluarganya.
Tidak pernah puas minum minuman keras,
pengunjung setia kedai minum,
Bagaikan batu ia tenggelam dalam hutang,
Cepat sekali ia membawa nista kepada keluarganya.
Siapa yang tidur di siang hari,
Dan bergadang di malam hari,
Orang yang selalu tidak bertanggung jawab,
minum minuman keras tanpa batas,
Tentu tidak pantas menjadi kepala keluarga.
Dan bergadang di malam hari,
Orang yang selalu tidak bertanggung jawab,
minum minuman keras tanpa batas,
Tentu tidak pantas menjadi kepala keluarga.
Terlalu dingin ! Terlalu panas !
Terlalu siang!
Begitulah keluhannya,
Dengan demikian ia mengelakkan diri dari
pekerjan yang menunggu,
Kesempatan lewat untuk selama-lamanya.
Tetapi orang yang menganggap hawa dingin
atau hawa panas sama saja,
Tidak menghiraukannya dan tetap melakukan
pekerjaannya sebagaimana mestinya,
Ia tidak akan kehilangan kebahagiaannya
dengan cara apapun juga.
Begitulah keluhannya,
Dengan demikian ia mengelakkan diri dari
pekerjan yang menunggu,
Kesempatan lewat untuk selama-lamanya.
Tetapi orang yang menganggap hawa dingin
atau hawa panas sama saja,
Tidak menghiraukannya dan tetap melakukan
pekerjaannya sebagaimana mestinya,
Ia tidak akan kehilangan kebahagiaannya
dengan cara apapun juga.
15. Empat macam manusia, anak muda,
yang harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
a.
Orang yang sangat serakah
b.
Orang yang banyak bicara, tetapi
tidak berbuat apa-apa
c.
Seorang penjilat
d.
Seorang pemboros
16. Atas dasar empat hal “orang yang
sangat serakah” harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi
sahabatmu :
a. 1. Sangat tamak
a. 2. Memberi hanya sedikit, mengambil banyak
a. 3. Melakukan kewajiban karena takut
a. 4. Hanya mengingat kepentingannya sendiri saja
a. 2. Memberi hanya sedikit, mengambil banyak
a. 3. Melakukan kewajiban karena takut
a. 4. Hanya mengingat kepentingannya sendiri saja
17. Atas dasar empat hal “orang yang
banyak bicara, tetapi tidak berbuat apa-apa” harus dianggap sebagai musuhmu
yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
b.1. Ia membuat pernyataan yang
menyenangkan tentang hal-hal yang telah lalu
b.2. Ia membuat pernyataan yang menyenangkan tentang hal-hal yang akan datang
b.3 Ia berusaha disukai olehmu dengan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dan tidak ada isinya
b.4. Tetapi, apabila sudah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu untukmu, ia akan menyatakan tidak sanggup dengan mengemukakan berbagai alasan yang dicari-cari.
b.2. Ia membuat pernyataan yang menyenangkan tentang hal-hal yang akan datang
b.3 Ia berusaha disukai olehmu dengan mengucapkan kata-kata yang menyenangkan dan tidak ada isinya
b.4. Tetapi, apabila sudah tiba saatnya untuk melakukan sesuatu untukmu, ia akan menyatakan tidak sanggup dengan mengemukakan berbagai alasan yang dicari-cari.
18. Atas dasar empat hal “seorang
penjilat” dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
c.1. Ia membiarkan anda berbuat
kesalahan
c.2. Ia tidak menganjurkan anda untuk berbuat kebajikan
c.3. Didepanmu anda dipuji-puji
c.4. Dibelakangmu ia mencela dirimu.
c.2. Ia tidak menganjurkan anda untuk berbuat kebajikan
c.3. Didepanmu anda dipuji-puji
c.4. Dibelakangmu ia mencela dirimu.
19. Atas dasar empat hal “seorang
pemboros” harus dianggap sebagai musuh yang berpura-pura menjadi sahabatmu :
d.1. Ia menjadi sahabatmu, apabila
anda suka minum-minuman keras
d.2. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
d.3. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering mengunjungi tempat pelesiran
d.4. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda gemar bejudi.
d.2. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering berkeliaran di jalan pada waktu yang tidak pantas
d.3. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda sering mengunjungi tempat pelesiran
d.4. Ia menjadi sahabatmu, apabila anda gemar bejudi.
20. Setelah itu Sang Bhagava
melanjutkan :
“Kawan yang hanya mencari sesuatu
untuk diambil,
Kawan yang ucapannya berlainan dengan perbuatannya,
Kawan yang pandai menjilat untuk membuat engkau merasa senang,
Kawan yang gembira di jalan yang sesat,
Keempat orang tersebut sebenarnya adalah musuhmu;
Kawan yang ucapannya berlainan dengan perbuatannya,
Kawan yang pandai menjilat untuk membuat engkau merasa senang,
Kawan yang gembira di jalan yang sesat,
Keempat orang tersebut sebenarnya adalah musuhmu;
Setelah dapat mengenalinya dengan
baik,
Seyogyanya orang Bijaksana menghindarinya jauh-jauh,
Bagaikan menghindari jalan yang berbahaya dan menakutkan.”
Seyogyanya orang Bijaksana menghindarinya jauh-jauh,
Bagaikan menghindari jalan yang berbahaya dan menakutkan.”
21. Empat macam manusia, anak muda,
yang harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
a.
Sahabat yang suka menolong
b.
Sahabat di waktu senang dan di waktu
susah
c.
Sahabat yang suka memberi nasehat
yang baik
d.
Sahabat yang selalu memperhatikan
keadaanmu
22. Atas dasar empat hal “sahabat
yang suka menolong” harus dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
a. 1. Ia menjaga dirimu ketika kamu
sedang lengah
a. 2. Ia menjaga milikmu ketika kamu sedang tidak waspada
a. 3. Ia akan melindungimu ketika kamu sedang ketakutan
a. 4. Apabila kamu mau melakukan sesuatu, ia akan membantu kamu lebih dari yang kamu butuhkan
a. 2. Ia menjaga milikmu ketika kamu sedang tidak waspada
a. 3. Ia akan melindungimu ketika kamu sedang ketakutan
a. 4. Apabila kamu mau melakukan sesuatu, ia akan membantu kamu lebih dari yang kamu butuhkan
23.
Atas dasar empat hal “sahabat di waktu senang dan di waktu susah” harus
dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus :
b.1. Ia mempercayakan rahasianya
kepadamu
b.2. Ia juga menjaga rahasiamu
b.3. Apabila kamu dalam kesulitan, ia tidak akan meninggalkan kamu sendirian
b.4. Bahkan ia rela mengorbankan dirinya untuk membela kamu
b.2. Ia juga menjaga rahasiamu
b.3. Apabila kamu dalam kesulitan, ia tidak akan meninggalkan kamu sendirian
b.4. Bahkan ia rela mengorbankan dirinya untuk membela kamu
24. Atas dasar empat hal “sahabat
yang suka memberikan nasehat yang baik” harus
dipandang sebagai sahabat yang
berhati tulus :
c.1. Ia mencegah kamu berbuat
kesalahan
c.2. Ia menganjurkan kamu berbuat baik
c.3. Ia memberitahukan apa yang kamu belum pernah dengar
c.4. Ia menunjukkan kamu jalan ke surge
c.2. Ia menganjurkan kamu berbuat baik
c.3. Ia memberitahukan apa yang kamu belum pernah dengar
c.4. Ia menunjukkan kamu jalan ke surge
25. Atas dasar empat hal “sahabat
yang selalu memperhatikan keadaanmu” harus dipandang sebagai sahabat yang
berhati tulus :
d.1. Ia tidak bergembira melihat
kamu mendapat bencana
d.2. Ia turut bergembira melihat keberhasilanmu
d.3. Ia mencegah orang lain berbicara buruk tentang dirimu
d.4. Ia menyetujui setiap orang yang mernuji dirimu.
d.2. Ia turut bergembira melihat keberhasilanmu
d.3. Ia mencegah orang lain berbicara buruk tentang dirimu
d.4. Ia menyetujui setiap orang yang mernuji dirimu.
26. Kemudian Sang Bhagava
melanjutkan :
“Sahabat yang suka menolong dirimu,
Sahabat di waktu senang dan di waktu susah,
Ia yang suka memberikan nasehat yang baik,
Dan ia selalu memperhatikan keadaanmu,
Orang Bijaksana menganggap empat jenis manusia tersebut
Sebagai sahabat sejati dan wajib menjaganya dengan baik
Seperti seorang ibu menjaga anak kandungnya sendiri.
Sahabat di waktu senang dan di waktu susah,
Ia yang suka memberikan nasehat yang baik,
Dan ia selalu memperhatikan keadaanmu,
Orang Bijaksana menganggap empat jenis manusia tersebut
Sebagai sahabat sejati dan wajib menjaganya dengan baik
Seperti seorang ibu menjaga anak kandungnya sendiri.
Orang yang bajik dan cerdas,
Bercahaya seperti api yang menyala
di puncak bukit,
Baginya menimbun harta bagaikan kumbang,
Yang menjelajah mengumpulkan madu tanpa menyakiti siapapun juga
Hartanya menumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi,
Jika harta dikumpulkan secara demikian,
Ia akan sanggup menolong sanak keluarganya,
di puncak bukit,
Baginya menimbun harta bagaikan kumbang,
Yang menjelajah mengumpulkan madu tanpa menyakiti siapapun juga
Hartanya menumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi,
Jika harta dikumpulkan secara demikian,
Ia akan sanggup menolong sanak keluarganya,
Seyogyanya ia membagi empat hartanya,
Yang sangat disukai dalam kehidupan,
Sebagian ia pakai untuk dinikmati,
Dua bagian lain untuk menjalankan usahanya,
Bagian
keempat ia simpan dan timbun,Yang sangat disukai dalam kehidupan,
Sebagian ia pakai untuk dinikmati,
Dua bagian lain untuk menjalankan usahanya,
Sehingga tersedia cadangan jika suatu saat ia memerlukannya.”
27. Dengan cara bagaimanakah, anak
muda, siswa yang Ariya menjaga enam arah? Keenam arah itu harus dipandang
sebagai berikut :
a.
Kedua orang tua sebagai arah timur
b.
Guru sebagai arah selatan
c.
Isteri dan anak sebagai arah barat
d.
Sahabat dan kenalan sebagai arah
utara
e.
Pelayan dan karyawan sebagai arah
bawah
f.
Para guru agama dan pertapa sebagai
arah atas
28. Dengan lima cara seorang anak
memperlakukan orang tuanya sebagai arah timur
a.1. Dahulu aku telah
dipelihara/dibesarkan oleh mereka, sekarang aku akan menyokong mereka
a.2. Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
a.3. Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga
a.4. Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan
a.5. Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia
a.2. Aku akan melakukan tugas-tugas kewajibanku terhadap mereka
a.3. Aku akan menjaga baik-baik garis keturunan dan tradisi keluarga
a.4. Aku akan membuat diriku pantas untuk menerima warisan
a.5. Aku akan mengurus persembahyangan kepada sanak keluargaku yang telah meninggal dunia
Dengan lima cara orang tua
menunjukkan kasih sayangnya kepada anak sebagai arah timur :
a. 1. Mencegah anak berbuat jahat
a. 2. Menganjurkan anak berbuat baik
a. 3. Memberikan pendidikan profesional kepada anak
a. 4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
a. 5. Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
a. 2. Menganjurkan anak berbuat baik
a. 3. Memberikan pendidikan profesional kepada anak
a. 4. Mencarikan pasangan yang sesuai untuk anak
a. 5. Menyerahkan harta warisan kepada anak pada saat yang tepat
Dengan demikian ia terlindungi dari
arah timur, aman dan terjamin
29. Dengan lima cara seorang murid
memperlakukan gurunya sebagai arah selatan
b. 1. Bangun dari duduk (apabila
guru datang menghampiri sebagai tanda hormat)
b. 2. Melayani guru dengan hormat
b. 3. Bertekad untuk belajar sungguh-sungguh
b. 4. Memberikan jasa-jasa kepadanya (memberikan makanan dan kebutuhan lainnya)
b. 5. Memperhatikan dengan baik segala uraian guru ketika diberi pelajaran
b. 2. Melayani guru dengan hormat
b. 3. Bertekad untuk belajar sungguh-sungguh
b. 4. Memberikan jasa-jasa kepadanya (memberikan makanan dan kebutuhan lainnya)
b. 5. Memperhatikan dengan baik segala uraian guru ketika diberi pelajaran
Dengan lima cara guru memperlakukan
muridnya, sebagai arah selatan
b’.1. Melatih muridnya dengan baik
sesuai dengan keahlian yang dimilikinya
b’.2. Membuat muridnya menguasai pelajaran yang diberikan
b’.3. Ia mengajarkan secara mendalam semua ilmu pengetahuan yang dimilikinya
b’.4. Ia berbicara yang baik-baik tentang muridnya kepada sahabat dan kenalannya
b’.5. Ia menjaga murid dari segala ancaman
b’.2. Membuat muridnya menguasai pelajaran yang diberikan
b’.3. Ia mengajarkan secara mendalam semua ilmu pengetahuan yang dimilikinya
b’.4. Ia berbicara yang baik-baik tentang muridnya kepada sahabat dan kenalannya
b’.5. Ia menjaga murid dari segala ancaman
Dengan cara demikian ia terlindungi
dari arah selatan, aman dan terjamin.
30. Dengan lima cara suami
memperlakukan isterinya sebagai arah barat:
c.1. Dengan menghormati isterinya
c.2. Dengan bersikap lemah lembut
c.3. Dengan setia kepada isterinya
c.4. Dengan memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya
c.5. Dengan memberikan perhiasan kepada isterinya
c.2. Dengan bersikap lemah lembut
c.3. Dengan setia kepada isterinya
c.4. Dengan memberikan kekuasaan tertentu kepada isterinya
c.5. Dengan memberikan perhiasan kepada isterinya
Dengan lima cara seorang isteri
memperlakukan suaminya sebagai arah barat :
c’.1. Melakukan semua tugas
kewajibannya dengan baik
c’.2. Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
c’.3. Setia kepada suaminya
c’.4. Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa suaminya
c’.5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
c’.2. Bersikap ramah kepada keluarga dari kedua belah pihak
c’.3. Setia kepada suaminya
c’.4. Menjaga baik-baik barang-barang yang dibawa suaminya
c’.5. Pandai dan rajin dalam melaksanakan semua pekerjaannya
Dengan cara demikian arah barat
telah terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
31. Dengan lima cara orang wajib
memperlakukan sahabat atau kenalannya sebagai arah utara :
d.1. Dengan bermurah hati kepada
mereka
d.2. Dengan bersikap ramah tamah kepada mereka
d.3. Dengan berbuat baik kepada mereka
d.4. Dengan memperlakukan mereka seperti memperlakukan diri sendiri
d.5. Menepati janji kepada mereka
d.2. Dengan bersikap ramah tamah kepada mereka
d.3. Dengan berbuat baik kepada mereka
d.4. Dengan memperlakukan mereka seperti memperlakukan diri sendiri
d.5. Menepati janji kepada mereka
Dengan lima cara sahabat atau
kenalan akan memperlakukannya sebagai arah utara :
d’.1. Mereka akan melindunginya
dikala ia tidak siaga
d’.2. Mereka juga akan menjaga harta-bendanya dikala ia tidak siaga
d’.3. Mereka akan melindunginya dalam bahaya
d’.4. Ketika berada dalam kesusahan, mereka tidak akan meninggalkannya
d’.5. Mereka akan menunjukkan perhatian kepada keluarganya.
d’.2. Mereka juga akan menjaga harta-bendanya dikala ia tidak siaga
d’.3. Mereka akan melindunginya dalam bahaya
d’.4. Ketika berada dalam kesusahan, mereka tidak akan meninggalkannya
d’.5. Mereka akan menunjukkan perhatian kepada keluarganya.
Dengan demikian arah utara telah
terlindungi, aman dan terjamin.
32. Dengan lima cara seorang majikan
memperlakukan pelayan dan karyawannya, sebagai arah bawah :
e.1. Memberi mereka pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuannya
e.2. Memberi mereka makanan dan upah yang sesuai
e.3. Memberi mereka pengobatan dan perawatan di waktu sedang sakit
e.4. Memberi mereka makanan yang enak-enak pada waktu-waktu tertentu
e.5. Memberi mereka libur (cuti) pada waktu-waktu tertentu
e.2. Memberi mereka makanan dan upah yang sesuai
e.3. Memberi mereka pengobatan dan perawatan di waktu sedang sakit
e.4. Memberi mereka makanan yang enak-enak pada waktu-waktu tertentu
e.5. Memberi mereka libur (cuti) pada waktu-waktu tertentu
Dengan lima cara para pelayan atau
karyawan akan memperlakukan majikan mereka sebagai arah bawah :
e’.1. Mereka bangun lebih pagi dari
majikan
e’.2. Mereka pergi tidur setelah majikan tidur
e’.3. Mereka berterima kasih atas upah dan perlakuan yang mereka terima
e’.4. Mereka bekerja dengan baik
e’.5. Mereka memuji dan menjaga nama baik majikannya dimanapun juga
e’.2. Mereka pergi tidur setelah majikan tidur
e’.3. Mereka berterima kasih atas upah dan perlakuan yang mereka terima
e’.4. Mereka bekerja dengan baik
e’.5. Mereka memuji dan menjaga nama baik majikannya dimanapun juga
Dengan cara demikian arah bawah
telah terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
33. Dengan lima cara seorang umat
biasa memperlakukan para pertapa atau bhikkhu,
sebagai arah atas :
sebagai arah atas :
f.1. Memperlakukan mereka dengan
penuh kasih sayang
f.2. Hanya mengucapkan kata-kata yang ramah kepada mereka
f.3. Memikirkan mereka dengan pikiran yang penuh kasih sayang
f.4. Selalu membuka pintu untuk mereka
f.5. Selalu menyediakan segala keperluan hidup mereka
(pakaian, makanan, obat-obatan dan tempat tinggal)
f.2. Hanya mengucapkan kata-kata yang ramah kepada mereka
f.3. Memikirkan mereka dengan pikiran yang penuh kasih sayang
f.4. Selalu membuka pintu untuk mereka
f.5. Selalu menyediakan segala keperluan hidup mereka
(pakaian, makanan, obat-obatan dan tempat tinggal)
Dengan enam cara para pertapa atau
bhikkhu memperlakukan umat biasa, sebagai arah atas :
f’.1. Mencegah mereka berbuat
kejahatan
f’.2. Menganjurkan mereka berbuat kebaikan
f’.3. Memikirkan mereka dengan penuh kasih sayang
f’.4. Mengajarkan sesuatu yang mereka belum ketahui
f’.5. Meluruskan pandangan mereka yang keliru
f’.6. Menunjukkan jalan ke surge
f’.2. Menganjurkan mereka berbuat kebaikan
f’.3. Memikirkan mereka dengan penuh kasih sayang
f’.4. Mengajarkan sesuatu yang mereka belum ketahui
f’.5. Meluruskan pandangan mereka yang keliru
f’.6. Menunjukkan jalan ke surge
Dengan cara demikian arah atas telah
terlindungi dengan baik, aman dan terjamin.
34. Demikianlah apa yang disabdakan
oleh Sang Bhagava, kemudian Beliau
melanjutkan :
melanjutkan :
“Ibu dan ayah adalah arah timur,
Guru adalah arah selatan,
Isteri dan anak adalah arah barat,
Sahabat dan kenalan adalah arah utara
Pelayan dan karyawan adalah arah bawah.
Dan arah atas adalah para guru agama dan para pertapa,
Arah-arah tersebut harus dipuja, sesudah mana
Mereka baru pantas disebut sebagai kepala keluarga yang baik,
Guru adalah arah selatan,
Isteri dan anak adalah arah barat,
Sahabat dan kenalan adalah arah utara
Pelayan dan karyawan adalah arah bawah.
Dan arah atas adalah para guru agama dan para pertapa,
Arah-arah tersebut harus dipuja, sesudah mana
Mereka baru pantas disebut sebagai kepala keluarga yang baik,
Orang yang bijaksana, sering
melakukan perbuatan yang bajik,
Lemah lembut dan biasa melakukan pemujaan ini.
Rendah hati dan patuh, akan memperoleh penghormatan,
Bangun pagi-pagi, tidak bermalas-malasan,
Batinnya tidak tergoyahkan oleh kemalangan, hidup tanpa cacad,
Pandai, bijaksana, akan memperoleh penghormatan,
Semoga namanya harum dan mempunyai banyak sahabat,
Menyambut mereka dengan ramah tamah dan murah hati,
Memberikan mereka petunjuk dan nasehat yang bijaksana,
Dan memberikan bimbingan kepada mereka,
ia akan memperoleh penghormatan.
Lemah lembut dan biasa melakukan pemujaan ini.
Rendah hati dan patuh, akan memperoleh penghormatan,
Bangun pagi-pagi, tidak bermalas-malasan,
Batinnya tidak tergoyahkan oleh kemalangan, hidup tanpa cacad,
Pandai, bijaksana, akan memperoleh penghormatan,
Semoga namanya harum dan mempunyai banyak sahabat,
Menyambut mereka dengan ramah tamah dan murah hati,
Memberikan mereka petunjuk dan nasehat yang bijaksana,
Dan memberikan bimbingan kepada mereka,
ia akan memperoleh penghormatan.
Gemar menolong orang, ramah tamah
dalam ucapan,
Penuh pengabdian, tidak berpihak kepada orang ini
atau orang itu, sebagaimana diminta oleh situasi.
Itulah hal-hal yang membuat dunia berputar,
Sebagai juga pasak yang membuat roda berputar,
Jika tidak demikian halnya, tidak ada seorang ibupun yang akan menerima,
Penghormatan dan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh anaknya,
Juga tidak ada seorang ayahpun yang akan menerimanya,
Tetapi karena hal tersebut benar-benar dipuji oleh para Bijaksana,
Maka patutlah hal-hal tersebut dianggap luhur dan dipuja orang. “
Penuh pengabdian, tidak berpihak kepada orang ini
atau orang itu, sebagaimana diminta oleh situasi.
Itulah hal-hal yang membuat dunia berputar,
Sebagai juga pasak yang membuat roda berputar,
Jika tidak demikian halnya, tidak ada seorang ibupun yang akan menerima,
Penghormatan dan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh anaknya,
Juga tidak ada seorang ayahpun yang akan menerimanya,
Tetapi karena hal tersebut benar-benar dipuji oleh para Bijaksana,
Maka patutlah hal-hal tersebut dianggap luhur dan dipuja orang. “
Setelah Sang Bhagava usai
mengucapkan kata-kata diatas, Sigala memuji dengan mengatakan :
“Sungguh indah Bhante, Sungguh
indah! Bagaikan orang yang menegakkan kembali apa yang telah roboh, atau
memperlihatkan apa yang tersembunyi, atau menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat, atau membawa lampu di waktu gelap gulita, sambil berkata, ‘Siapa yang
punya mata, silahkan melihat.’ Demikianlah Dhamma telah dibabarkan dalam berbagai
cara oleh Sang Buddha. Dan saya, akan selalu mencari perlindungan kepada Sang
Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima saya sebagai upasaka,
sebagai orang yang berlindung kepada Sang Tiratana sejak hari ini sampai akhir
hidup saya.”
PARABHAVA SUTTA
(Khudakka Nikaya, Sutta Nipatta 18)
Demikianlah telah kudengar :
Pada suatu waktu, ketika Sang
Bhagava berdiam di dekati Savatthi dalam hutan Jeta, di taman Anathapindika.
Pada saat lewat malam, seorang dewa menerangi seluruh hutan Jeta dengan
cahayanya yang gilang gemilang, muncul di hadapan Sang Buddha setelah memberi
hormat ia berdiri di satu sisi, dewa itu mengucapkan gatha ini
1.
“Siapakah, duhai Gotama,
yang sedang menghadapi kemerosotan ?
Apakah Sang Bhagava berkenan
untuk menerangkan sebab musabab dari kemerosotan
yang sedang menghadapi kemerosotan ?
Apakah Sang Bhagava berkenan
untuk menerangkan sebab musabab dari kemerosotan
2.
“Orang sedang jaya mudah diketahui,
orang sedang menghadapi kemerosotan mudah diketahui,
barang siapa mencintai Dhamma, jayalah ia,
barang siapa membenci Dharnma, merosotlah ia.
orang sedang menghadapi kemerosotan mudah diketahui,
barang siapa mencintai Dhamma, jayalah ia,
barang siapa membenci Dharnma, merosotlah ia.
3.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab pertama dari kemerosotan.
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kedua dari kemerosotan. “
sebab pertama dari kemerosotan.
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kedua dari kemerosotan. “
4.
“Barang siapa dicintai oleh
orang-orang jahat,
tidak berbuat apapun yang disukai para Bijaksana,
orang yang menyetujui cara-cara para penjahat,
inilah sebab musabab dari kemerosotan”
tidak berbuat apapun yang disukai para Bijaksana,
orang yang menyetujui cara-cara para penjahat,
inilah sebab musabab dari kemerosotan”
5.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab kedua dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab ketiga dari kemerosotan.”
sebab kedua dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab ketiga dari kemerosotan.”
6.
“Orang yang suka mengantuk,
suka berpesta-pora, tidak bersemangat
malas dan mudah marah,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
suka berpesta-pora, tidak bersemangat
malas dan mudah marah,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
7.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab ketiga dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keempat dari kemerosotan.”
sebab ketiga dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keempat dari kemerosotan.”
8.
“Orang yang kaya,
tidak menyokong ayah dan ibunya,
yang sudah tua dan tidak berdaya,
inilah sebab-musabab dari kemerosotan.
tidak menyokong ayah dan ibunya,
yang sudah tua dan tidak berdaya,
inilah sebab-musabab dari kemerosotan.
9.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab keempat dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kelima dari kemerosotan. “
sebab keempat dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kelima dari kemerosotan. “
10.
“Barang siapa menipu dengan
mendustai
para seorang brahmana atau pertapa,
atau orang suci lainnya,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.
para seorang brahmana atau pertapa,
atau orang suci lainnya,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.
11.
“Demikianlah telah diuraikan,
Sebab kelima dari kemerosotan
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keenam dari kemerosotan.
Sebab kelima dari kemerosotan
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keenam dari kemerosotan.
12.
“Orang yang sangat kaya,
memiliki emas dan makanan,
dan menikmati sendiri kekayaannya
yang menyenangkan,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
memiliki emas dan makanan,
dan menikmati sendiri kekayaannya
yang menyenangkan,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
13.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab keenam dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab ketujuh dari kemerosotan. “
sebab keenam dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab ketujuh dari kemerosotan. “
14.
“Orang yang menyombongkan
kelahirannya,
kekayaan dan keluarganya,
merendahkan sanak keluarganya sendiri,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
kekayaan dan keluarganya,
merendahkan sanak keluarganya sendiri,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
15.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab ketujuh dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kedelapan dari kemerosotan.”
sebab ketujuh dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kedelapan dari kemerosotan.”
16.
“Barang siapa menyerahkan diri pada
wanita-wanita penghibur,
pada minuman keras dan pada perjudian,
dan menghambur-hamburkan apa yang
telah diperolehnya,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
wanita-wanita penghibur,
pada minuman keras dan pada perjudian,
dan menghambur-hamburkan apa yang
telah diperolehnya,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
17.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab kedelapan dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesembilan dari kemerosotan.”
sebab kedelapan dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesembilan dari kemerosotan.”
18.
“Barang siapa tidak puas dengan
isterinya sendiri,
terlihat bersama-sama dengan para pelacur dan
isteri-isteri orang lain,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
terlihat bersama-sama dengan para pelacur dan
isteri-isteri orang lain,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
19.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab kesembilan dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesepuluh dari kemerosotan.”
sebab kesembilan dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesepuluh dari kemerosotan.”
20.
“Barang siapa yang sudah tidak muda
lagi,
tetapi mengajak pulang seorang wanita
yang memiliki buah dada seperti buah timbaru,
dan tidak dapat tidur karena menahan cemburu,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
tetapi mengajak pulang seorang wanita
yang memiliki buah dada seperti buah timbaru,
dan tidak dapat tidur karena menahan cemburu,
inilah sebab musabab dari kemerosotan.”
21.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab kesepuluh dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesebelas dari kemerosotan.”
sebab kesepuluh dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab kesebelas dari kemerosotan.”
22.
“Barang siapa memberikan kedudukan
yang tinggi
kepada seorang wanita pemabuk dan pemboros,
atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama,
inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
kepada seorang wanita pemabuk dan pemboros,
atau kepada seorang laki-laki dengan ciri yang sama,
inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
23.
“Demikianlah telah diuraikan,
sebab kesebelas dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keduabelas dari kemerosotan.”
sebab kesebelas dari kemerosotan,
Silahkan Sang Bhagava katakan,
sebab keduabelas dari kemerosotan.”
24.
“Barang siapa mempunyai sedikit
kekayaan,
tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria,
dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja,
inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
tetapi bernafsu besar, terlahir dalam keluarga ksatria,
dan mengidam-idamkan untuk menjadi raja,
inilah sebab musabab dari kemerosotan. “
25.
“Setelah mengetahui sebab-sebab
kemerosotan
di dalam dunia, orang bijaksana dan patut dimuliakan,
diberkati dengan kesadaran Ariya,
Menikmati kebahagiaan surgawi.”
di dalam dunia, orang bijaksana dan patut dimuliakan,
diberkati dengan kesadaran Ariya,
Menikmati kebahagiaan surgawi.”
Samaggi-phala.or.id (Buddhist Information Network)
Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam
Agama Buddha _ Samaggi-Phala.or.id.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^