Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang digunakan oleh berbagai sekte
Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon mereka.[1]. Sesuai dengan makna istilah tersebut,
Tripiṭaka pada mulanya mengandung tiga
"keranjang" akan berbagai pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit; Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma
Piṭaka (Sanskrit; Pali: Abhidhamma
Piṭaka).
Sedangkan yang tertulis dalam
bahasa Sanskerta adalah:
4.
Vajracchendika Prajna Paramita Sutra (Kim
Kong Keng), dan lain-lain.
Sejarah
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang
tidak disiplin bernama Subhaddha
berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap,
sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita
apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita
menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan
tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa
Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan
Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha.
Dengan bantuan Raja Ajatasattu
dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni
dekat Rajagaha
untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan
menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang
kembali khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali
mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuan
Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab
Suci Tipitaka ([Pali). Mereka yang mengikuti ajaran
Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali) disebut
Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir:
"Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".
Pada mulanya Tipitaka (Pali) ini diwariskan secara lisan
dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat
sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin
mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama
menyelenggarakan Pesamuan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka
di Vesali,
di mana isi Kitab Suci Tipitaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada,
yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan
kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika,
yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha
Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.
Pesamuan Agung Ketiga diadakan di Pattaliputta
(Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka
Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak
membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah
kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke
dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran
mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar
menyelenggarakan Pesamuan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari
penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke
negeri-negeri lain.
Dalam Pesamuan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tipitaka (Pali)
selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuaan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru
dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.
Pesamuan Agung keempat diadakan di Aluvihara
(Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani
Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tipitaka (Pali)
dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang
mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
Selanjutnya Pesamuan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma)
pada permulaan abad 25
sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon.
Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali)
diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di
bukit Mandalay.
Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha
Puja tahun Buddhis 2498
dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956).
Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tipitaka (Pali) dilakukan ke dalam
beberapa bahasa Barat.
Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada
abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska
dari Afganistan mengadakan Pesamuan Agung yang tidak
dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada
Pesamuaan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India
dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya
kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan
sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali).
Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama
sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan
pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci tipitaka (Pali) sehingga
dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di
Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma
maupun di negara-negara lain.
Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab
Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada,
Kasyapiya,
Mahisasaka,
Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub
mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang
hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama
Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh
negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia
dan negara-negara lain.
Sidang Agung I (Konsili I)
Sidang Agung I diadakan pada tahun 543 SM
(3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin
oleh YA. Maha
Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa
Satapani di kota Rajagaha.
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.
Tujuan dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun
ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang
berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang
Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali
mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.
Kesimpulan dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak
akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus
dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana.
Agama Buddha masih utuh.
Sidang Agung II (Konsili II)
Sidang Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I) dan
berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata
dan dibantu oleh YA. Yasa
serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali.
Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.
Sidang kedua ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika)
menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras
(tetapi gagal).
Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu
dari suku Vajjis
yang melangggar pacittiya
dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang
hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan
nama "Satta
Sati" atau "Yasathera
Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa
dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.
Sidang Agung III (Konsili III)
Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin
oleh Y.A. Tissa
Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta.
Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka
dari Suku Mauriya.
Tujuan sidang ini adalah untuk menertibkan perbedaan
pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa dan menyempurnakan
Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta agar para
Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar
Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.
Sidang ini menghasilkan keputusan untuk menghukum
Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma
diulang tersendiri oleh Y.A. Maha
Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tipitaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma).
Jadi pengertian Tipitaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa
memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang
Buddha untuk
menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tipitaka dan perhimpunan tersebut berlangsung
selama 9 bulan.
Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada)
dan Mahasanghika.
Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan
merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh
Sthaviravada.
Sidang Agung IV (Konsili IV)
Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani
Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. Rakhita
Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu
Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.
Tujuan dari sidang keempat ini adalah mencari
penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam
Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.
Keputusan sidang ini adalah supaya Tipitaka disempurnakan
komentar dan penjelasannya serta menuliskan Tipitaka dan komentarnya di atas
daun lontar.
Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.
Referensi
1.
^ "Buddhist Books and Texts: Canon and
Canonization." Lewis Lancaster, Encyclopedia of Religion, 2nd edition,
pg 1252
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon masukannya... ^^